Pendidikan Zaman Belanda
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan
adalah salah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sebab dengan
pendidikan manusia bisa mengelola alam semesta, yakni bumi yang Allah ciptakan
ini. Sebab Allah menciptakan manusia adalah sebagai khalifah dimuka bumi,
dengan tujuan untuk menyembah kepada Allah SWT, selain itu juga Allah
menciptakan manusia untuk menjaga, merawat, memelihara alam semesta ini serta
mengenal tuhannya dan bagaimana menyembah Allah pencipta alam semesta. Sesuai
dengan firman Allah dalam AL-Qur’an surat AL-An’am ayat 165 yang berbunyi:
uqèdur Ï%©!$# öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚöF{$# yìsùuur öNä3Ò÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uy
öNä.uqè=ö7uÏj9 Îû
!$tB
ö/ä38s?#uä
3 ¨bÎ) y7/u ßìÎ|
É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur
Öqàÿtós9 7LìÏm§
ÇÊÏÎÈ
Artinya :
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S:Al – An’am:165).[1]
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S:Al – An’am:165).[1]
(Al-Qur’an dan terjemah, Depag
RI)
Indonesia
adalah salah satu Negara diantara Negara-negara yang ada di dunia ini
.Indonesia adalah bangsa yang mempunyai sumber daya alam yang kaya, sehingga
membuat Negara –negara lain, seperti Belanda ,Jepang dan bangsa Eropa lainnya
datang ke Indonesia untuk menikmati kekayaan sumberdaya alam yang ada di
Indonesia . Kedatangan bangsa Belanda dan bangsa Eropa lainnya ke Indonesia
pada mulanya adalah berdagang dan mencari rempah- rempah .Sebab di Asia Barat
orang-orang Kristen Eropa dilarang berdagang setelah Konstantinopel dikuasai
oleh kerajaan Islam Turki Usmani yang dipinpin oleh Muhammad al –Fatih. Sehingga
putuslah hubungan perdagangan antara Eropa dengan Asia Barat.[2]
Dalam
sejarahnya Kaum kolonial
Belanda berhasil menancapkan kukunya di bumi Nusantara dengan misinya yang
ganda (antara imperialis dan kristenisasi) justru sangat merusak dan menjungkir
balikkan tatanan yang sudah ada.
Pemerintah
Belanda mulai menjajah Indonesia pada tahun 1619 M, yaitu ketika Jan Pieter
Zoon Coen menduduki Jakarta, dan dilawan oleh Sultan Agung Mataram yang
bergelar Sultan Abdurrahman Khlaifatullah Sayidin Panotogomo.
Sejak dari
zaman VOC (Belanda Swasta) kedatangan mereka di Indonesia sudah bermotif
ekonomi, politik dan agama. Dalam hak actroi VOC terdapat suatu pasal yang
berbunyi sebagia berikut : ”Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila
perlu boleh berperang. Dan harus memperhatikan perbaikan agama Kristen dengan
mendirikan sekolah”.
Akan tetapi
system pendidikan yang mereka buat pun berbeda dengan pendidikan yang ada,
sehingga pendidikan tradisional yang dikembangkan Islam menjadi terisisih dan
tidak di akui oleh Belanda .Peristiwa tersebut mendapat kecaman dari para ulama
yang ada di Indonesia yang akhirnya terjadi permusuhan.[3]
B.
Rumusan Masalah
1. Apa tujuan kedatangan Belanda ke
Indonesia?
2. Bagaimana
kebijakan pemerintah Belanda dalam bidang pendidikan ?
3. Bagaimana
kondisi pendidikan Islam zaman penjajahan Belanda ?
C.
Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui tujuan kedatangan
Belanda ke Indonesia
2. Untuk mengetahui kebijakan
pemerintah Belanda dalam bidang pendidikan
3. Untuk mengetahui kondisi
pendidikan Islam zaman penjajahan Belanda
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tujuan Kedatangan Belanda Ke
Indonesia
Pada
tahun 1595 perseroan Amsterdam mengirim armada kapal dagangnya sebanyak empat
buah untuk yang pertama kali ke Indonesia dibawah pinpinan Cornelis de Houtman.
Pada tahun 1598 dibawah pinpinan Van Nede, Van Hemskerck dan Van Warwijck untuk
kali yang kedua dengan tujuan yang sama yakni berdagang dan mengambil rempah
–rempah. Melihat keberhasilan Amsterdam memperoleh rempah-rempah dari Indonesia
menimbulkan keinginan perseroan yang lain untuk berdagang dan berlayar ke
Indonesia. Melihat banyaknya perseroan yang bermunculan dan berkeinginan
berlayar dan berdagang ke Indonesia, melahirkan sebuah kesepakatan tentang hak
khusus untuk berdagang bagi perseroan gabungan yang disahkan oleh Staten
–General Republik tahun 1602 yang isinya adalah kebebasan dan kekuasaan
berdagang dan berlayar dikawasan antara Tanjung Harapan dan kepulauan Salomon
,termasuk kepulauan Nusantara .perseroan tersebut dikenal dengan sebutan Oost
Indische Compagnie (VOC).[4]
Setelah
VOC terbentuk mereka mulai berdagang namun pada tahun-tahun berikutnya,VOC
mulai menjalan kan kekuasa sepeti layaknya Negara,dan membentuk sebuah kekuatan
serta mengangkat seorang gubernur, melakukan monopoli perdagangan dan berusaha
memperluas wilayah. Melihat keadaan tersebut rakyat Indonesia melakukan
perlawanan terhadap VOC,tapi pada akhirnya rakyat Indonesia tidak berdaya, sehingga
belanda semakin kuat mencengkramkan kukunya di bumi Nusantara ini .[5]
Selanjutnya
pada tahun 1798, VOC dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar 134,7 juta
gulden. Kerugian tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain
perlakuan yang curang, pegawai yang tidak cakap dan korup, utang besar, sistem
monopoli dan sistem paksa dalam pengumpulan bahan - bahan / hasil tanaman
penduduk yang menimbulkan kemerosotan moril baik para penguasa maupun penduduk
yang sangat menderita.[6]
Setelah
VOC resmi dibubarkan Indonesia pindah ke tangan pemerintah Belanda. Pada tahun
1816 pemerintah Belanda memanfaatkan daerah jajahannya untuk memberikan
keuntungan sebanyak – banyaknya kepada negeri induk, guna menanggulangi masalah
ekonomi Belanda yang sedang mengalami kebangkrutan akibat perang.[7]
Pemerintah
Belanda tidak hanya ingin memperoleh keuntungan secara ekonomi, melainkan juga
keuntungan secara politik. Dengan dikuasai wilayah Indonesia secara politik
sangat mendukung kelancaran pencapaian tujuan yang bersifat ekonomi atau
sebaliknya karena untuk mencapai tujuan politik ini sangat membutuhkan ekonomi.[8]
Selanjutnya
tujuan ekonomi dan politik, benar – benar telah mencapai tujuan. Tujuan ini
ditambah dengan tujuan yang beersifat ideologi dan keagamaan, yaitu menanamkan
budaya yang berkembang di Belanda dan Indonesia. Budaya hidup berfoya – foya,
dansa – dansa, cara berpakaian, cara berfikir, berbuat dan sikap tidak peduli
pada masa depan Indonesia. Dan juga agama yang mereka anut yaitu kristen katolik
mereka sebarluaskan di Indonesia dengan cara mengirim misionaris ke berbagai
daerah Indonesia dengan didukung dana dan fasilitas yang memadai.[9]
Pada
tahun 1819 Gubernur Van den Cappelen merencanakan mendirikan sekolah dasar bagi
penduduk pribumi agar dapat membantu pemerintah Belanda. Dalam surat edarannya
yang disampaikan para bupati ia menyatakan bahwa,”dianggap penting untuk secepat
mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan
membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka lebih mudah untuk
mentaati undang – undang dan hukum negara.[10]
Jiwa
dari edaran di atas menggambarkan tujuan didirikan sekolah dasar bertujuan untuk membantu menyebarkan agama
kristen, agar bangsa Indonesia bisa membaca dan mematuhi undang – undang
negara. Sementara pendidikan agam islam yang dilaksanakan di mushola, masjid,
pesanten dan madrasah dianggap tidak ada gunanya, karena sama sekali tidak
membantu pemerintah Belanda. Lebih dari itu menganggap bahwa agama Islam justru
sebagai penghambat dan penghalang kemajuan dan kepentingan Belanda.[11]
Selanjutnya
kolonial Belanda memperlakukan umat Islam sejajar dengan kaum pribumi. Sekolah
mereka tebatas hanya sekolah desa dan Vervlog. Padahal Islam adalah agama
mayoritas penduduk pribumi. Sedangkan penduduk beragama selain Islam, khususnya
kristen diperlakukan sama dengan bangsa Eropa. Keadaan ini membekas dalam hati
umat Islam. Keadaan yang dialami penduduk pribumi pada dasarnya adalah keadaan
umat Islam. Disamping itu kolonial Belanda selalu menempatkan islam sebagai
musuh untuk kolonialisme maupun untuk usaha menyebarkan agama nasrani.[12]
B.
Kebijakan Belanda Dalam Bidang Pendidikan
Sikap
kolonial Belanda terhadap pendidikan islam bisa dilihat lebih lanjut dari
kebijakannya yang sangat diskriminatif, baik secara sosial, ras, anggaran,
maupun kepemelukan terhadap agama. Sikap diskriminatif tersebut lebih lanjut
dapat dijelaskan sebagai berikut.
Diskriminatif
sosial misalnya pada didirikannya sekolah yang membedakan antara sekolah yang
diperuntukkan khusus untuk kaum bangsawan dengan sekolah yang khusus untuk
rakyat biasa. Untuk kaum bangsawan, anak – anak raja, bupati tokoh terkemuka
didirikan sekolah raja (Hoofdenshcool)
pada tahun 1865 dan 1872 di Tondano. Selain itu mendirikan sekolah angka satu untuk
anak – anak dari pemuka – pemuka, tokoh – tokoh terkemuka dan orang – orang
terhormat bumi putra. Sedangkan untuk rakyat pribumi biasa didirikan sekolah
dasar kelas dua (De Schoolen de Tweede
Klasse) atau yang sering dikenal dengan istilah sekolah ongko loro.[13]
Selanjutnya
diskriminasi ras terlihat dengan jelas pada klasifikasi sekolah di Indonesia.
Pada tingkat dasar pemerintah membuka sekolah – sekolah yang dibedakan menurut
ras dan keturunan seperti Europeeche
Lagere School (ELS) untuk anak – anak Eropa, Hollandsh Chinese School
untuk anak – anak China dan keturunan Asia Timur. Hollandsh School yang kemudian disebut sekolah bumiputra, untuk
anak pribumi dari kalangan ningrat dan terakhir adalah Inlandsch School yang
disediakan untuk anak – anak pribumi pada umumnya.[14]
Dalam
pada itu diskriminasi anggaran terlihat pada pemberian anggaran terlihat pada
pemberian anggran yang lebih besar kepada sekolah untuk anak – anak Eropa,
padahal jumlah siswa sekolah bumiputra jauh lebih banyak.[15]
Selanjutnya
tentang diskriminasi dalah hal kepemelukan agama anatara lain terlihat pada
kebijakan pemerintah Belanda yang mengonsentrasikan di wilayah di mana terdapat
sejumlah besar penduduk yang beragama kristen sedangkan pesantren yang menjadi
basis pendidikan agama masyarakat Muslim tidak mendapat perhatian ssama sekali
bahkan cenderung dimusuhi.[16]
Kebijakan diskriminatif yang ditempuh Belanda terhadap masyarakat pribumi
memang dilakukan dengan amat ekstrim. Yaitu dengan mengusahakan pendidikan
rendah yang sederhana mungkin bagi anak Indonesia dan memperlambat lahirnya
sekolah yang setaraf dengan sekolah untuk anak – anak Eropa.
Selain
itu, pemerintah Belanda juga menanamkan diskriminasi dalam pendidikan untuk
anak – anak Belanda dengan pendidikan anak pribumi. Selain itu, ada pula
perbedaan antara sekolah anak yang mampu dan anak yang kurang mampu, serta
sekolah yang memberikan kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih
tinggi dengan sekolah yang tidak memberikan kesempatan untuk melanjutkan
kejenjang yang lebih tinggi, Singkatnya, pendidikan yang diberikan kolonial
Belanda hanya di jadikan sebagai alat untuk mempertahankan diskriminasi sosial
dan bukan ditujukan agar terjadi proses mobilisasi sosial baik secara
horisontal maupun vertikal.[17]
Selanjutnya
Belanda juga menerapkan pengawasan dan kontrol secara ketat dan kaku terhadap
pendidikan. Kontrol yang ketat dijadikan alat politik untuk menghambat, bahkan
menghalang – halangi, pelaksanaan pendidikan islam.tidak hanya itu pemerintah
Belanda menerapkan prinsip konkordansi, yaitu prinsip yang memaksa sekolah agar berorientasi ke Barat
dan menghalangi adanya konsep pendidikan yang berbasis pada budaya bangsa
Indonesia. Dengan demikian, setiap sekolah dipaksa untuk menjadi agen
kebudayaan barat dan dijadikan sebagai alat untuk misionaris Kristen.[18]
Sejalan dengan misi Belanda yang tidak
senang dengan melihat Islam di Indonesia mengalami kemajuan, maka pemerintah
Belanda mengeluarkan serangkaian peraturan dan kebijakan guna menghalangi
kemajuan dan perkembangan agama islam. Diantaranya kebijakan itu sebagai
berikut:
1.
Pada
tahun 1882 pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas
mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan islam yang mereka sebut dengan nama
Priesterrden. Dari nasehat badan inilah pada tahun 1905 pemerintah Belanda
mengeluarkan peraturan baru yang dikenal dengan nama Ordonansi Guru.
2.
Tahun
1925 pemerintah Belanda mengeluarkan Ordonansi Guru yang kedua, yang isinya
mewajibkan bagi setiap guru agama untuk melaporkan diri pada pemerintah secara
berkala. Kedua ordinasi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi
pemerintah belanda untuk mengawasi sepak terjang para pengajarndan penganjur agama
islam di negara ini.
3.
Pada
tahun 1932 pemerintah Belanda mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar. Yang berisi
kewenangan untuk memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada
izinnya atau sekolah yang memberikan pelajan yang tidak disukai oleh Belanda.[19]
Latar belakang munculnya ordonasi tersebut
diatas sepenuhnya bersifat politis, yakni untuk menekan pendidikan islam
sedemikian rupa, sehingga pendidikan agama tidak menjadi faktor pemicu
perlawanan rakyat terhadap penjajah. Pengalaman penjajah yang direpotkan oleh
perlawanan rakyat Cilegon tahun 1888, misalnya, perupakan pelajaran serius bagi
pemerintah Hindia Belanda untuk menerbitkan ordonansi tersebut. Kibijakan
pemerintah Hidia- Belanda yang bersifat diskriminatif dan menekan pendidikan
islam ini pada dasarnya disebabkan karena kekhawatiran timbulnya militansi kaum
muslim terpelajar.[20]
Keberlanjutan penjajah tentu saja merupakan hal yang didambakan oleh kolial
Belanda. Dalam upaya mewujudkan keadaan yang demikian itu, maka umat islam
sering ditempatkan sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan barat dalah
hal ini diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di
Indonesia. Pada akhir abad ke-19, Snouk Hurgronye begitu optimis bahwa islam
tidak sanggup bersaing dengan pendidikan barat. Agama ini dinilai beku dan menghalangi kemajuan, sehingga harus
diimbangi dengan meningkatnya taraf kemajuan pribumi.
Akan tetapi perkiraan dan ramalan itu
kurang memperhitungkan kemampuan umat islam untuk mempertahankan diri di negeri
yang sudah biasa hidup sederhana dan tahan penderitaan. Selain itu pemerintah
Belanda kurang mempertimbangkan faktor – faktor kesanggupan islam dalam
menyerap kekutan dari luar untuk memperkuat diri. Kondisi obyektif pendidikan
islam pada waktu itu memang sedemikian rupa dan tidak sebanding dengan kemajuan
yang dialami oleh Kristen. Sehingga diperkirakan tidak akan mampu menghadapi
superioritas barat, tidak sanggup melawan pendidikan Kristen yang lebih maju
dalam segala aspek dan tidak bisa berhadapan dengan sikap diskriminasi
pemerintah Belanda. Namun demikian pendidikan islam dapat berkembang sedemikian
rupa, sehingga optimesme dan ramalan bahwa islam bakal sirna tidak terbukti.
Islam sebagai agama yang mutlak benar dan diturunkan oleh Allah SWT, maka sudah
pasti akan dibela dan dilindunginya.[21]
C. Kondisi Pendidikan Islam di Zaman Penjajahan Belanda
Kondisi
pendidikan bagi umat islam pada zaman Belanda dari waktu kewaktu demikian
memprihatinkan, karena terus – menerus mendapatkan tekanan dan perlakuan yang tidak
menggembirakan. Namun demikian, umat islam secara terus menerus pula tetap
berjuang dan melakukan perlawanan, hingga akhirnya pendidikan Islam mengalami
kebangkitan dan kemajuan.[22]
Kemajuan
pendidikan Islam tersebut terinspirasi antara lain oleh gerakan yang lahir di
Timur Tengah, khususnya Saudi Arabia dan Mesir yang dibawa oleh orang – orang
yang pulang dari menuntut ilmu di Makkah dan Mesir.
Kesadaran
bahwa pemerintah kolonial Belanda merupakan pemerintah kafir yang menjajah
agama dan bangsa mereka, sehingga semakin dalam tertanam dibenak para santri.
Pesantren yang pada waktu itu merupakan pusan pendidikan Islam mengambil sikap
anti-Belanda. Dengan berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis yang berisi perintah
memerangi kafir dan tidak boleh mengambil pimpinan dari orang kafir, ditambah
lagi dengan sikap Belanda yang menyengsarakan rakyat Indonesia, membuat kaum
pesantren menaruh sikap curiga dan memusuhi Belanda, dan melarang melakukan
berbagai hal yang berbau Belanda.[23]
Sejalan
dengan sikap non-kooperatif dan non akomodatif tersebut yang dilakukan oleh
kalangan pesantren, mereka selain mengambil jarak dengan pemerintah Belanda,
dengan membangun pesantren di daerah perdesaan, juga membangun sistem
pendidikan tradisional yang antara lain ditandai dan ciri-ciri sebagai berikut
: (1) visinya menjadikan Islam sebagaimana terdapat dalam fiqih sebagai pedoman
hidup yang harus diamalkan dan diajarkan (2) misinya menanamkan dan mengajarkan
agama Islam, memupuk persatuan sesama umat Islam, melakukan jihad dengan segenap
daya dan kemampuan yang dimiliki (3) mencetak para ulama’ Islam untuk diterjunkan di tengah – tengah
masyarakat, dan menjadi pemimpin (4) kurikulumnya meliputi ilmu agama islam (5)
pendekatan yang digunakan yakni berpusat pada guru (6) metode sejalan dengan pendekatan yang
berpusat pada guru (7) guru yang bertugas terdiri dari tiga lapis : kiai, guru
senior, guru junior (8) santri (9) sarana prasarana terdiri dari : masjid,
mushola, pondhokan, tempat tinggal santri, rumah kiai, aula, tempat belajar (10)
pengelolaan tidak berlaku secara formal.[24]
Namun
demikian, terdapat pula sikap akomodatif dan kompromi yang dilakukan para kaum
pembaru, diluar pesantren yang selanjutnya dikenal dengan nama kaum modernis.
Kaum modernis ini mengambil sikap yang akomodatif yang proporsional. Yakni,
tidak antipasi atau menolak tetapi juga tidak terlalu dekat dengan Belanda,
karena dalam pandangan mereka, umat Islam harus banyak belajar kepada orang
barat agar pintar dan berwawasan luas, sehingga tidak dibodohi dan dijajah terus
menerus.
Mereka yang
tergolong mengambil pelajaran dari Belanda secara selektif dan proporsional ini
antara lain dari kalangan umat Islam Muhammadiyah dan sebagian tamatan
perguruan tinggi dari Mesir yang terpengaruh gagasan dan pemikiran modernis
Islam. Sikap kooperatif ini ditandai dengan memperlakukan Belanda sebagai
mitra, bukan sebagai musuh yang harus ditakuti, sehingga bisa diajak kerjasama
dalam membangun dan meningkatkan kualitas pendidikan kaum pribumi yang
mayoritas beragama Islam. Salah satu hasil dari pendekatan kooperatif ini antara lain adanya sekolah – sekolah yang
berada dibawah naungan Muhammadiyah dan Adabiyah School yang didirikan Abdullah
Ahmad di Padang yang mendapatkan bantuan biaya dan tenaga guru dari pemerintah
Belanda.[25]
Selain itu,
terdapat pula kelompok umat Islam yang sepenuhnya mengambil model pendidikan
Belanda, dan kurang memperhatikan nilai – nilai ajaran agama. Mereka itu adalah
orang – orang yang terpengaruh oleh gagasan dan pemikiran sekularisme dari
Kemal Attaturk di Mesir . Upaya yang dilakukan oleh kelompok kedua ini
mengambil bentuk gerakan mendirikan lembaga pendidikan formal yang lebih
sistematik sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah Belanda. Dalam kaitan
inilah, maka dikalangan umat Islam terdapat gerakan pembaruan pendidikan Islam
yang secara sistematik dan teknis meniru pola pendidikan Belanda, tetapi secara
jiwa dan muatannya dijiwai oleh ajaran Islam dan semangat modernisasi.[26]
Gerakan
pembaruan pendidikan tersebut mengambil bentuk mendirikan madrasah yang
terdapat di Jawa yang relatif lebih baik maju. Lembaga pendidikan Islam yang
mengambil corak pembaruan antara lain Adabiyah School (1909 M), Diniyah School
Lanai al-Yunusi (1915 M) dan Sumatra Tawalib di Sumatra Barat dan diikuti oleh
Madrasah Nahdlatul Ulama’ di Jawa Timur, Madrasah Muhammadiyah di Yogyakarta.[27]
Dalam
perkembangannya lembaga pendidikan Islam (madrasah) mulai terpengaruh oleh
sistem pendidikan modern, yaitu sekolah, baik dalam sistem maupun bentuknya dan
lain sebagainya, disamping memuat ajaran agama, juga memuat pelajaran umum.
Dalam perkembangannyakelompok tradisional yang semula mengelola pendidikan yang
sepenuhnya agama, sebagaimana pesantren juga mendirikan madrasah.[28]
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat dikemukakan beberapa
catatan kesimpulan sebagai berikut :
1.
Kedatangan
Belanda di Indonesia pada mulanya untuk tujuan berdagang dan kemakmuran para
pengusaha dan negaranya. Namun setelah mereka mendapatkan keuntungan yang
melimpah, dilanjutkan dengan tujuan politik dan misionaris Kristen. Yakni
mengusai pemerintahan Indonesia serta menyebarkan Agama Kristen.
2.
Keadaan
pendidikan Islam di Indonesia selama penjajahan Belanda pada umumnya dalam
keadaan memprihatinkan, sebagai akibat dari kebijakan pemerintah Belanda yang
sangat diskriminatif. Pendidikan Islam yang ada di zaman Belanda sebagian besar
berbentuk pesantren tradisional yang kurang memperhatikan ilmu modern dan
keduniaan dan sebagian kecil dalam bentuk madrasah yang sudah menerapkan model
dan sistem pendidikan Belanda
3.
Kehadiran
Belanda di Indonesia selain mendatangkan malapetaka dan menyengsarakan rakyat
Indonesia , juga telah menyadarkan bangsa Indonesia untuk bangkit dari
ketertinggalannya dari segala bidang. Upaya ini dilakukan dengan mendirikan lembaga pendidikan yang unggul dan modren dan
juga menimbulkan respon bangsa Indonesia terhadap pemerintah Belanda dengan
tiga respon : respon non kooperatif (menjahui, memusuhi, mencurigai), respon
kooperatif ( menerima hal – hal positif dan meninggalkan yang negatif dari
Belanda), Respon menerima sepenuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam ,Angkasa Bandung 2003
Abudin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana, 2011
Abudin Nata, Pemikiran
Para Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2008, cet 1
Al-Quran
dan Terjemah, Depag RI
Badri Yatim, Sejarah
Peradapan Islam Dirasat Islamiah II, Jakarta Raja Grafindo Persada, 1994
Badri. Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Rajawalli Pers, 2002
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam Logos, Wacana Ilmu, 1999
Ki Hajar Dewantara, Bagian
Pertama Pendidikan, Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1962
Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta : Mutiara Sumber Ilmu, 1995, cet V
Rohidin
Wahab,Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
,Bandung:Alfabeta,2004
[2] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam , Bandung :Angkasa, 2003, hal 8
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Rajawalli Pers, 2002, hal
234-235
[5] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam , Bandung, Angkasa, 2003, hal 4
[6] Abudin
Nata, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta : Kencana, 2011, hal 276-277
[7] Ibid, hal 277
[8] Badri
Yatim, Sejarah Peradapan Islam Dirasat
Islamiah II, Jakarta Raja Grafindo Persada, 1994, hal 235
[9] Abudin
Nata, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta:Kencana, 2011, hal 278
[10] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam , Bandung, Angkasa, 2003, hal
123-125
[11] Op cit, hal 279
[12] Abudin
Nata, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta:Kencana, 2011, hal 279-280
[13] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam , Bandung : Angkasa, 2003, hal 135
[14] Op cit, hal 281
[15] Ibid, hal 281
[16]
Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama
Pendidikan, Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1962, hal 163
[17] Abudin
Nata, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta:Kencana, 2011, hal 283-284
[18] Ibid, hal 284
[19] Ibid, hal 285
[20] Ibid, hal 286
[21] Ibid, hal 287-288
[22] Ibid, hal 288
[23]
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam
Indonesia, Jakarta : Mutiara Sumber Ilmu, 1995, cet V, hal 136
[24] Op cit, hal 289-290
[25]
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh
Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2008, cet 1, hal 46-48
[26] Abudin
Nata, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta:Kencana, 2011, hal 294
[27] Ibid, hal 294
[28]
Berdirinya madrasah di Indonesia memiliki perbedaan dengan berdirinya madrasah di Timor Tengah.
Madrasah yang didirikan di Indonesia bukan mengadopsi madrasah yang ada di
Timor Tengah, melainkan sebagai respon terhadap modernisasi pendidikan Islam
yang saat itu tertinggal dibandingkan dengan pendidikan yang dilakukan oleh
colonial Belanda. Adapun madrasah di Timor Tengah didirikan selain sebagai
upaya memelihara tradisi Sunni juga dalam rangka mempertahankan kelangsungan
kekuasaan pemerintah Abbasiyah yang beraliran Sunni
Komentar
Posting Komentar