Pendidikan Zaman Belanda


BAB I

PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang

Pendidikan adalah salah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sebab dengan pendidikan manusia bisa mengelola alam semesta, yakni bumi yang Allah ciptakan ini. Sebab Allah menciptakan manusia adalah sebagai khalifah dimuka bumi, dengan tujuan untuk menyembah kepada Allah SWT, selain itu juga Allah menciptakan manusia untuk menjaga, merawat, memelihara alam semesta ini serta mengenal tuhannya dan bagaimana menyembah Allah pencipta alam semesta. Sesuai dengan firman Allah dalam AL-Qur’an surat AL-An’am ayat 165 yang berbunyi:
uqèdur Ï%©!$# öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚöF{$# yìsùuur öNä3ŸÒ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uyŠ öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB ö/ä38s?#uä 3 ¨bÎ) y7­/u ßìƒÎŽ|  É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur Öqàÿtós9 7LìÏm§ ÇÊÏÎÈ
Artinya :
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S:Al – An’am:165).[1]
(Al-Qur’an dan terjemah, Depag RI)
Indonesia adalah salah satu Negara diantara Negara-negara yang ada di dunia ini .Indonesia adalah bangsa yang mempunyai sumber daya alam yang kaya, sehingga membuat Negara –negara lain, seperti Belanda ,Jepang dan bangsa Eropa lainnya datang ke Indonesia untuk menikmati kekayaan sumberdaya alam yang ada di Indonesia . Kedatangan bangsa Belanda dan bangsa Eropa lainnya ke Indonesia pada mulanya adalah berdagang dan mencari rempah- rempah .Sebab di Asia Barat orang-orang Kristen Eropa dilarang berdagang setelah Konstantinopel dikuasai oleh kerajaan Islam Turki Usmani yang dipinpin oleh Muhammad al –Fatih. Sehingga putuslah hubungan perdagangan antara Eropa dengan Asia Barat.[2]
Dalam sejarahnya Kaum kolonial Belanda berhasil menancapkan kukunya di bumi Nusantara dengan misinya yang ganda (antara imperialis dan kristenisasi) justru sangat merusak dan menjungkir balikkan tatanan yang sudah ada.
Pemerintah Belanda mulai menjajah Indonesia pada tahun 1619 M, yaitu ketika Jan Pieter Zoon Coen menduduki Jakarta, dan dilawan oleh Sultan Agung Mataram yang bergelar Sultan Abdurrahman Khlaifatullah Sayidin Panotogomo.
Sejak dari zaman VOC (Belanda Swasta) kedatangan mereka di Indonesia sudah bermotif ekonomi, politik dan agama. Dalam hak actroi VOC terdapat suatu pasal yang berbunyi sebagia berikut : ”Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan harus memperhatikan perbaikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah”.
Akan tetapi system pendidikan yang mereka buat pun berbeda dengan pendidikan yang ada, sehingga pendidikan tradisional yang dikembangkan Islam menjadi terisisih dan tidak di akui oleh Belanda .Peristiwa tersebut mendapat kecaman dari para ulama yang ada di Indonesia yang akhirnya terjadi permusuhan.[3]

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa tujuan kedatangan Belanda ke Indonesia?
2.      Bagaimana kebijakan pemerintah Belanda dalam bidang pendidikan ?
3.      Bagaimana kondisi pendidikan Islam zaman penjajahan Belanda  ?

C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui tujuan kedatangan Belanda ke Indonesia
2.      Untuk mengetahui kebijakan pemerintah Belanda dalam bidang pendidikan
3.      Untuk mengetahui kondisi pendidikan Islam zaman penjajahan Belanda 





































BAB II

PEMBAHASAN



A.    Tujuan Kedatangan Belanda Ke Indonesia

Pada tahun 1595 perseroan Amsterdam mengirim armada kapal dagangnya sebanyak empat buah untuk yang pertama kali ke Indonesia dibawah pinpinan Cornelis de Houtman. Pada tahun 1598 dibawah pinpinan Van Nede, Van Hemskerck dan Van Warwijck untuk kali yang kedua dengan tujuan yang sama yakni berdagang dan mengambil rempah –rempah. Melihat keberhasilan Amsterdam memperoleh rempah-rempah dari Indonesia menimbulkan keinginan perseroan yang lain untuk berdagang dan berlayar ke Indonesia. Melihat banyaknya perseroan yang bermunculan dan berkeinginan berlayar dan berdagang ke Indonesia, melahirkan sebuah kesepakatan tentang hak khusus untuk berdagang bagi perseroan gabungan yang disahkan oleh Staten –General Republik tahun 1602 yang isinya adalah kebebasan dan kekuasaan berdagang dan berlayar dikawasan antara Tanjung Harapan dan kepulauan Salomon ,termasuk kepulauan Nusantara .perseroan tersebut dikenal dengan sebutan Oost Indische Compagnie (VOC).[4]
Setelah VOC terbentuk mereka mulai berdagang namun pada tahun-tahun berikutnya,VOC mulai menjalan kan kekuasa sepeti layaknya Negara,dan membentuk sebuah kekuatan serta mengangkat seorang gubernur, melakukan monopoli perdagangan dan berusaha memperluas wilayah. Melihat keadaan tersebut rakyat Indonesia melakukan perlawanan terhadap VOC,tapi pada akhirnya rakyat Indonesia tidak berdaya, sehingga belanda semakin kuat mencengkramkan kukunya di bumi Nusantara ini .[5]
Selanjutnya pada tahun 1798, VOC dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar 134,7 juta gulden. Kerugian tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain perlakuan yang curang, pegawai yang tidak cakap dan korup, utang besar, sistem monopoli dan sistem paksa dalam pengumpulan bahan - bahan / hasil tanaman penduduk yang menimbulkan kemerosotan moril baik para penguasa maupun penduduk yang sangat menderita.[6]
Setelah VOC resmi dibubarkan Indonesia pindah ke tangan pemerintah Belanda. Pada tahun 1816 pemerintah Belanda memanfaatkan daerah jajahannya untuk memberikan keuntungan sebanyak – banyaknya kepada negeri induk, guna menanggulangi masalah ekonomi Belanda yang sedang mengalami kebangkrutan akibat perang.[7]
Pemerintah Belanda tidak hanya ingin memperoleh keuntungan secara ekonomi, melainkan juga keuntungan secara politik. Dengan dikuasai wilayah Indonesia secara politik sangat mendukung kelancaran pencapaian tujuan yang bersifat ekonomi atau sebaliknya karena untuk mencapai tujuan politik ini sangat membutuhkan ekonomi.[8]
Selanjutnya tujuan ekonomi dan politik, benar – benar telah mencapai tujuan. Tujuan ini ditambah dengan tujuan yang beersifat ideologi dan keagamaan, yaitu menanamkan budaya yang berkembang di Belanda dan Indonesia. Budaya hidup berfoya – foya, dansa – dansa, cara berpakaian, cara berfikir, berbuat dan sikap tidak peduli pada masa depan Indonesia. Dan juga agama yang mereka anut yaitu kristen katolik mereka sebarluaskan di Indonesia dengan cara mengirim misionaris ke berbagai daerah Indonesia dengan didukung dana dan fasilitas yang memadai.[9]
Pada tahun 1819 Gubernur Van den Cappelen merencanakan mendirikan sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu pemerintah Belanda. Dalam surat edarannya yang disampaikan para bupati ia menyatakan bahwa,”dianggap penting untuk secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka lebih mudah untuk mentaati undang – undang dan hukum negara.[10]
Jiwa dari edaran di atas menggambarkan tujuan didirikan sekolah dasar  bertujuan untuk membantu menyebarkan agama kristen, agar bangsa Indonesia bisa membaca dan mematuhi undang – undang negara. Sementara pendidikan agam islam yang dilaksanakan di mushola, masjid, pesanten dan madrasah dianggap tidak ada gunanya, karena sama sekali tidak membantu pemerintah Belanda. Lebih dari itu menganggap bahwa agama Islam justru sebagai penghambat dan penghalang kemajuan dan kepentingan Belanda.[11]
Selanjutnya kolonial Belanda memperlakukan umat Islam sejajar dengan kaum pribumi. Sekolah mereka tebatas hanya sekolah desa dan Vervlog. Padahal Islam adalah agama mayoritas penduduk pribumi. Sedangkan penduduk beragama selain Islam, khususnya kristen diperlakukan sama dengan bangsa Eropa. Keadaan ini membekas dalam hati umat Islam. Keadaan yang dialami penduduk pribumi pada dasarnya adalah keadaan umat Islam. Disamping itu kolonial Belanda selalu menempatkan islam sebagai musuh untuk kolonialisme maupun untuk usaha menyebarkan agama nasrani.[12]

B.     Kebijakan Belanda Dalam Bidang Pendidikan

Sikap kolonial Belanda terhadap pendidikan islam bisa dilihat lebih lanjut dari kebijakannya yang sangat diskriminatif, baik secara sosial, ras, anggaran, maupun kepemelukan terhadap agama. Sikap diskriminatif tersebut lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Diskriminatif sosial misalnya pada didirikannya sekolah yang membedakan antara sekolah yang diperuntukkan khusus untuk kaum bangsawan dengan sekolah yang khusus untuk rakyat biasa. Untuk kaum bangsawan, anak – anak raja, bupati tokoh terkemuka didirikan sekolah raja (Hoofdenshcool) pada tahun 1865 dan 1872 di Tondano. Selain itu mendirikan sekolah angka satu untuk anak – anak dari pemuka – pemuka, tokoh – tokoh terkemuka dan orang – orang terhormat bumi putra. Sedangkan untuk rakyat pribumi biasa didirikan sekolah dasar kelas dua (De Schoolen de Tweede Klasse) atau yang sering dikenal dengan istilah sekolah ongko loro.[13]
Selanjutnya diskriminasi ras terlihat dengan jelas pada klasifikasi sekolah di Indonesia. Pada tingkat dasar pemerintah membuka sekolah – sekolah yang dibedakan menurut ras dan keturunan seperti Europeeche Lagere School (ELS) untuk anak – anak Eropa, Hollandsh Chinese School untuk anak – anak China dan keturunan Asia Timur. Hollandsh School  yang kemudian disebut sekolah bumiputra, untuk anak pribumi dari kalangan ningrat dan terakhir adalah Inlandsch School yang disediakan untuk anak – anak pribumi pada umumnya.[14]
Dalam pada itu diskriminasi anggaran terlihat pada pemberian anggaran terlihat pada pemberian anggran yang lebih besar kepada sekolah untuk anak – anak Eropa, padahal jumlah siswa sekolah bumiputra jauh lebih banyak.[15]
Selanjutnya tentang diskriminasi dalah hal kepemelukan agama anatara lain terlihat pada kebijakan pemerintah Belanda yang mengonsentrasikan di wilayah di mana terdapat sejumlah besar penduduk yang beragama kristen sedangkan pesantren yang menjadi basis pendidikan agama masyarakat Muslim tidak mendapat perhatian ssama sekali bahkan cenderung dimusuhi.[16]
 Kebijakan diskriminatif yang ditempuh Belanda terhadap masyarakat pribumi memang dilakukan dengan amat ekstrim. Yaitu dengan mengusahakan pendidikan rendah yang sederhana mungkin bagi anak Indonesia dan memperlambat lahirnya sekolah yang setaraf dengan sekolah untuk anak – anak Eropa.
Selain itu, pemerintah Belanda juga menanamkan diskriminasi dalam pendidikan untuk anak – anak Belanda dengan pendidikan anak pribumi. Selain itu, ada pula perbedaan antara sekolah anak yang mampu dan anak yang kurang mampu, serta sekolah yang memberikan kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dengan sekolah yang tidak memberikan kesempatan untuk melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi, Singkatnya, pendidikan yang diberikan kolonial Belanda hanya di jadikan sebagai alat untuk mempertahankan diskriminasi sosial dan bukan ditujukan agar terjadi proses mobilisasi sosial baik secara horisontal maupun vertikal.[17]
Selanjutnya Belanda juga menerapkan pengawasan dan kontrol secara ketat dan kaku terhadap pendidikan. Kontrol yang ketat dijadikan alat politik untuk menghambat, bahkan menghalang – halangi, pelaksanaan pendidikan islam.tidak hanya itu pemerintah Belanda menerapkan prinsip konkordansi, yaitu prinsip yang  memaksa sekolah agar berorientasi ke Barat dan menghalangi adanya konsep pendidikan yang berbasis pada budaya bangsa Indonesia. Dengan demikian, setiap sekolah dipaksa untuk menjadi agen kebudayaan barat dan dijadikan sebagai alat untuk misionaris Kristen.[18]
Sejalan dengan misi Belanda yang tidak senang dengan melihat Islam di Indonesia mengalami kemajuan, maka pemerintah Belanda mengeluarkan serangkaian peraturan dan kebijakan guna menghalangi kemajuan dan perkembangan agama islam. Diantaranya kebijakan itu sebagai berikut:
1.      Pada tahun 1882 pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan islam yang mereka sebut dengan nama Priesterrden. Dari nasehat badan inilah pada tahun 1905 pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan baru yang dikenal dengan nama Ordonansi Guru.
2.      Tahun 1925 pemerintah Belanda mengeluarkan Ordonansi Guru yang kedua, yang isinya mewajibkan bagi setiap guru agama untuk melaporkan diri pada pemerintah secara berkala. Kedua ordinasi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah belanda untuk mengawasi sepak terjang para pengajarndan penganjur agama islam di negara ini.
3.      Pada tahun 1932 pemerintah Belanda mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar. Yang berisi kewenangan untuk memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau sekolah yang memberikan pelajan yang tidak disukai oleh Belanda.[19]
Latar belakang munculnya ordonasi tersebut diatas sepenuhnya bersifat politis, yakni untuk menekan pendidikan islam sedemikian rupa, sehingga pendidikan agama tidak menjadi faktor pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah. Pengalaman penjajah yang direpotkan oleh perlawanan rakyat Cilegon tahun 1888, misalnya, perupakan pelajaran serius bagi pemerintah Hindia Belanda untuk menerbitkan ordonansi tersebut. Kibijakan pemerintah Hidia- Belanda yang bersifat diskriminatif dan menekan pendidikan islam ini pada dasarnya disebabkan karena kekhawatiran timbulnya militansi kaum muslim terpelajar.[20]
Keberlanjutan penjajah tentu saja  merupakan hal yang didambakan oleh kolial Belanda. Dalam upaya mewujudkan keadaan yang demikian itu, maka umat islam sering ditempatkan sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan barat dalah hal ini diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia. Pada akhir abad ke-19, Snouk Hurgronye begitu optimis bahwa islam tidak sanggup bersaing dengan pendidikan barat. Agama ini dinilai beku  dan menghalangi kemajuan, sehingga harus diimbangi dengan meningkatnya taraf kemajuan pribumi.
Akan tetapi perkiraan dan ramalan itu kurang memperhitungkan kemampuan umat islam untuk mempertahankan diri di negeri yang sudah biasa hidup sederhana dan tahan penderitaan. Selain itu pemerintah Belanda kurang mempertimbangkan faktor – faktor kesanggupan islam dalam menyerap kekutan dari luar untuk memperkuat diri. Kondisi obyektif pendidikan islam pada waktu itu memang sedemikian rupa dan tidak sebanding dengan kemajuan yang dialami oleh Kristen. Sehingga diperkirakan tidak akan mampu menghadapi superioritas barat, tidak sanggup melawan pendidikan Kristen yang lebih maju dalam segala aspek dan tidak bisa berhadapan dengan sikap diskriminasi pemerintah Belanda. Namun demikian pendidikan islam dapat berkembang sedemikian rupa, sehingga optimesme dan ramalan bahwa islam bakal sirna tidak terbukti. Islam sebagai agama yang mutlak benar dan diturunkan oleh Allah SWT, maka sudah pasti akan dibela dan dilindunginya.[21]

C.     Kondisi Pendidikan Islam di Zaman Penjajahan Belanda
Kondisi pendidikan bagi umat islam pada zaman Belanda dari waktu kewaktu demikian memprihatinkan, karena terus – menerus mendapatkan tekanan dan perlakuan yang tidak menggembirakan. Namun demikian, umat islam secara terus menerus pula tetap berjuang dan melakukan perlawanan, hingga akhirnya pendidikan Islam mengalami kebangkitan dan kemajuan.[22]
Kemajuan pendidikan Islam tersebut terinspirasi antara lain oleh gerakan yang lahir di Timur Tengah, khususnya Saudi Arabia dan Mesir yang dibawa oleh orang – orang yang pulang dari menuntut ilmu di Makkah dan Mesir.
Kesadaran bahwa pemerintah kolonial Belanda merupakan pemerintah kafir yang menjajah agama dan bangsa mereka, sehingga semakin dalam tertanam dibenak para santri. Pesantren yang pada waktu itu merupakan pusan pendidikan Islam mengambil sikap anti-Belanda. Dengan berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis yang berisi perintah memerangi kafir dan tidak boleh mengambil pimpinan dari orang kafir, ditambah lagi dengan sikap Belanda yang menyengsarakan rakyat Indonesia, membuat kaum pesantren menaruh sikap curiga dan memusuhi Belanda, dan melarang melakukan berbagai hal yang berbau Belanda.[23]
Sejalan dengan sikap non-kooperatif dan non akomodatif tersebut yang dilakukan oleh kalangan pesantren, mereka selain mengambil jarak dengan pemerintah Belanda, dengan membangun pesantren di daerah perdesaan, juga membangun sistem pendidikan tradisional yang antara lain ditandai dan ciri-ciri sebagai berikut : (1) visinya menjadikan Islam sebagaimana terdapat dalam fiqih sebagai pedoman hidup yang harus diamalkan dan diajarkan (2) misinya menanamkan dan mengajarkan agama Islam, memupuk persatuan sesama umat Islam, melakukan jihad dengan segenap daya dan kemampuan yang dimiliki (3) mencetak para ulama’ Islam  untuk diterjunkan di tengah – tengah masyarakat, dan menjadi pemimpin (4) kurikulumnya meliputi ilmu agama islam (5) pendekatan yang digunakan yakni berpusat pada guru (6)  metode sejalan dengan pendekatan yang berpusat pada guru (7) guru yang bertugas terdiri dari tiga lapis : kiai, guru senior, guru junior (8) santri (9) sarana prasarana terdiri dari : masjid, mushola, pondhokan, tempat tinggal santri, rumah kiai, aula, tempat belajar (10) pengelolaan tidak berlaku secara formal.[24]
Namun demikian, terdapat pula sikap akomodatif dan kompromi yang dilakukan para kaum pembaru, diluar pesantren yang selanjutnya dikenal dengan nama kaum modernis. Kaum modernis ini mengambil sikap yang akomodatif yang proporsional. Yakni, tidak antipasi atau menolak tetapi juga tidak terlalu dekat dengan Belanda, karena dalam pandangan mereka, umat Islam harus banyak belajar kepada orang barat agar pintar dan berwawasan luas, sehingga tidak dibodohi dan dijajah terus menerus.
Mereka yang tergolong mengambil pelajaran dari Belanda secara selektif dan proporsional ini antara lain dari kalangan umat Islam Muhammadiyah dan sebagian tamatan perguruan tinggi dari Mesir yang terpengaruh gagasan dan pemikiran modernis Islam. Sikap kooperatif ini ditandai dengan memperlakukan Belanda sebagai mitra, bukan sebagai musuh yang harus ditakuti, sehingga bisa diajak kerjasama dalam membangun dan meningkatkan kualitas pendidikan kaum pribumi yang mayoritas beragama Islam. Salah satu hasil dari pendekatan kooperatif  ini antara lain adanya sekolah – sekolah yang berada dibawah naungan Muhammadiyah dan Adabiyah School yang didirikan Abdullah Ahmad di Padang yang mendapatkan bantuan biaya dan tenaga guru dari pemerintah Belanda.[25]
Selain itu, terdapat pula kelompok umat Islam yang sepenuhnya mengambil model pendidikan Belanda, dan kurang memperhatikan nilai – nilai ajaran agama. Mereka itu adalah orang – orang yang terpengaruh oleh gagasan dan pemikiran sekularisme dari Kemal Attaturk di Mesir . Upaya yang dilakukan oleh kelompok kedua ini mengambil bentuk gerakan mendirikan lembaga pendidikan formal yang lebih sistematik sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah Belanda. Dalam kaitan inilah, maka dikalangan umat Islam terdapat gerakan pembaruan pendidikan Islam yang secara sistematik dan teknis meniru pola pendidikan Belanda, tetapi secara jiwa dan muatannya dijiwai oleh ajaran Islam dan semangat modernisasi.[26]
Gerakan pembaruan pendidikan tersebut mengambil bentuk mendirikan madrasah yang terdapat di Jawa yang relatif lebih baik maju. Lembaga pendidikan Islam yang mengambil corak pembaruan antara lain Adabiyah School (1909 M), Diniyah School Lanai al-Yunusi (1915 M) dan Sumatra Tawalib di Sumatra Barat dan diikuti oleh Madrasah Nahdlatul Ulama’ di Jawa Timur, Madrasah Muhammadiyah di Yogyakarta.[27]
Dalam perkembangannya lembaga pendidikan Islam (madrasah) mulai terpengaruh oleh sistem pendidikan modern, yaitu sekolah, baik dalam sistem maupun bentuknya dan lain sebagainya, disamping memuat ajaran agama, juga memuat pelajaran umum. Dalam perkembangannyakelompok tradisional yang semula mengelola pendidikan yang sepenuhnya agama, sebagaimana pesantren juga mendirikan madrasah.[28]

























BAB III
KESIMPULAN


Berdasarkan  uraian diatas dapat dikemukakan beberapa catatan kesimpulan sebagai berikut :
1.      Kedatangan Belanda di Indonesia pada mulanya untuk tujuan berdagang dan kemakmuran para pengusaha dan negaranya. Namun setelah mereka mendapatkan keuntungan yang melimpah, dilanjutkan dengan tujuan politik dan misionaris Kristen. Yakni mengusai pemerintahan Indonesia serta menyebarkan Agama Kristen.
2.      Keadaan pendidikan Islam di Indonesia selama penjajahan Belanda pada umumnya dalam keadaan memprihatinkan, sebagai akibat dari kebijakan pemerintah Belanda yang sangat diskriminatif. Pendidikan Islam yang ada di zaman Belanda sebagian besar berbentuk pesantren tradisional yang kurang memperhatikan ilmu modern dan keduniaan dan sebagian kecil dalam bentuk madrasah yang sudah menerapkan model dan sistem pendidikan Belanda
3.      Kehadiran Belanda di Indonesia selain mendatangkan malapetaka dan menyengsarakan rakyat Indonesia , juga telah menyadarkan bangsa Indonesia untuk bangkit dari ketertinggalannya dari segala bidang. Upaya ini dilakukan dengan mendirikan  lembaga pendidikan yang unggul dan modren dan juga menimbulkan respon bangsa Indonesia terhadap pemerintah Belanda dengan tiga respon : respon non kooperatif (menjahui, memusuhi, mencurigai), respon kooperatif ( menerima hal – hal positif dan meninggalkan yang negatif dari Belanda), Respon menerima sepenuhnya.




DAFTAR PUSTAKA


Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam ,Angkasa Bandung 2003
Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana, 2011
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008, cet 1
Al-Quran dan Terjemah, Depag RI
Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam Dirasat Islamiah II, Jakarta Raja Grafindo Persada, 1994
Badri. Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Rajawalli Pers, 2002
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam Logos, Wacana Ilmu, 1999
Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1962
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta : Mutiara Sumber Ilmu, 1995, cet V
Rohidin Wahab,Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia ,Bandung:Alfabeta,2004



[1] Al-Quran dan Terjemah, Depag RI
[2] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam , Bandung :Angkasa, 2003, hal 8
[3] Ibid, hal 153
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Rajawalli Pers, 2002, hal 234-235
[5] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam , Bandung, Angkasa, 2003, hal 4
[6] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana, 2011, hal 276-277
[7] Ibid, hal 277
[8] Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam Dirasat Islamiah II, Jakarta Raja Grafindo Persada, 1994, hal 235
[9] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Kencana, 2011, hal 278
[10] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam , Bandung, Angkasa, 2003, hal 123-125
[11] Op cit, hal 279
[12] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Kencana, 2011, hal 279-280
[13] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam , Bandung : Angkasa, 2003, hal 135
[14] Op cit, hal 281
[15] Ibid, hal 281
[16] Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1962, hal 163
[17] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Kencana, 2011, hal 283-284
[18] Ibid, hal 284
[19] Ibid, hal 285
[20] Ibid, hal 286
[21] Ibid, hal 287-288
[22] Ibid, hal 288
[23] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta : Mutiara Sumber Ilmu, 1995, cet V, hal 136
[24] Op cit, hal 289-290
[25] Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008, cet 1, hal 46-48
[26] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Kencana, 2011, hal 294
[27] Ibid, hal 294
[28] Berdirinya madrasah di Indonesia memiliki perbedaan  dengan berdirinya madrasah di Timor Tengah. Madrasah yang didirikan di Indonesia bukan mengadopsi madrasah yang ada di Timor Tengah, melainkan sebagai respon terhadap modernisasi pendidikan Islam yang saat itu tertinggal dibandingkan dengan pendidikan yang dilakukan oleh colonial Belanda. Adapun madrasah di Timor Tengah didirikan selain sebagai upaya memelihara tradisi Sunni juga dalam rangka mempertahankan kelangsungan kekuasaan pemerintah Abbasiyah yang beraliran Sunni

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Landasan Religius Pendidikan

PARADIGMA PENDIDIKAN

Teknik-teknik supervisi pendidikan