PARADIGMA PENDIDIKAN
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Paradigma
merupakan konsepsi, model atau pola pemikiran yang sifatnya umum dan mendasar.
Paradigma bukan teori, tetapi merupakan pemikiran yang teoritis yang menuju
kepada pengembangan teori tentang sesuatu, dan pemikiran teoritis ini menjadi
dasar fundamental bagi paraktek.
Paradigma
pendidikan merupakan pemikiran teoritis yang sifatnya mendasar yang dipakai
sebagai latar belakang bagi disusunnya suatu framework untuk pelaksanaan
pendidikan. Biasanya paradigma itu dinyatakan dalam bentuk skema, yang
memperlihatkan hubungan – hubungan antara unsur – unsur yang terlibat
didalamnya. Paradigma bukanlah sistem, tetapi dalam suatu sistem terdapat
sejumlah paradigma, yang merupakan konsep dasar dalam pelaksanaan sistem itu.
Namun sebuah paradigma dapat berkembang menjadi sebuah sistem.
Sebuah paradigma
dapat berubah tergantung sejauhmana kebenaran paradigma itu masih dapat
diterima. Proses pengembangan sains menurut Thomas Kuhn mengikuti paradigma
yang dimulai dengan tahap “pra sains”, diikuti tahap “sains normal” lalu
periode “sains luar biasa”, lalu tahap “sains normal” kembali dst.[1]
Dimana proses itu merupakan lingkaran kegiatan dan demikian terjadi struktur
revolusi ilmu pengetahuan menurut Kuhn. Karena itu sebuah paradigma dapat
berubah menjadi paradigma baru apabila paradigma lama itu mendapatkan dikritik
terhadap kelemahannya.
Seperti telah
dimaklumi bahwa salah satu perubahan penting dalam sistem pemerintahan di
Indonesia di era reformasi adalah perubahan paradigma pemerintahan dari
sentralisasi yang ketat menjadi sentralisasi terbatas yang dikenal dengan
otonomi pemerintah daerah, yang bermakna bahwa pemerintah daerah memiliki
otonomi daerah yang luas untuk membangun daerahnya dalam berbagai bidang
kehidupan, termasuk bidang pendidikan, dimana sistem pendidikan nasional yang
selama ini dilaksanakan secara sentralistis, dengan paradigma pemerintahan
otonomi daerah masing – masing.
Dalam konteks
kehidupan bangsa dan bernegara, Indonesia hanya memiliki sistem pendidikan
yaitu sistem pendidikan nasional, yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa dan mewujudkan tujuan
nasional.[2]
Dikarenakan
paradigma pendidikan merupakan pemikiran yang mendasar tentang pendidikan,
untuk itu penulis tertarik membahas tema ini yang berjudul Paradigma Pendidikan
.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian paradigma pendidikan dan
perkembangan dalam pendidikan ?
2.
Bagaimanakah paradigma teori behavioristik,
kontruktivistik dan sosial kognitif dalam pendidikan ?
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk mengetahui pengertian paradigma
pendidikan dan perkembangan dalam pendidikan
2.
Untuk mengetahui paradigma teori
behavioristik, kontruktivistik dan sosial kognitif dalam pendidikan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Paradigma dan Perkembangan dalam Pendidikan
Kata Paradigma dalam bahasa Inggris adalah "paradigm"
yang berarti “model”.[3] Sedangkan Barker
menyatakan bahwa kata "paradigma" berasal dari bahasa Yunani yaitu
"Paradeigma", yang juga berarti model, pola, dan contoh.[4] Menurut istilah, Adam Smith mendefinisikan
paradigma sebagai cara kita memahami kehidupan, seperti air bagi ikan.
William Harmon menulis bahwa paradigma adalah cara yang mendasar
dalam memahami, berfikir, menilai, dan cara mengerjakan sesuatu yang
digabungkan dengan visi tentang kehidupan tertentu.
Sedangkan Barker sendiri mendifinisikan paradigma sebagai
seperangkat peraturan dan ketentuan (tertulis maupun tidak) yang melakukan dua
hal: (1) ia menciptakan atau menentukan batas-batas; dan (2) ia menjelaskan
kepada anda cara untuk berperilaku di dalam batas-batas tersebut agar menjadi
orang yang berhasil.[5]
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, tampaklah bahwa
paradigma adalah cara dan pola yang mendasari pemahaman, penilaian, peraturan,
dan pedoman dalam mengerjakan sesuatu. Jadi, "paradigma baru" berarti
cara atau pola baru dalam melakukan sesuatu.
Paradigma ilmu dirumuskan oleh Kuhn
sebagai kerangka teoritis, atau suatu cara memandang dan memahami
alam, yang telah digunakan oleh komunitas ilmuwan sebagai pandangan
dunianya. Paradigma ilmu ini berfungsi sebagai lensa, sehingga melalui
lensa ini para ilmuwan dapat mengamati dan memahami masalah-masalah ilmiah dalam
bidang masing-masing dan jawaban-jawaban ilmiah terhadap masalah-masalah tersebut.[6]
Paradigma diartikan sebagai alam
disiplin intelektual, yaitu cara pandang seseorang terhadap diri dan
lingkungannya yang akan memengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap
(afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti
seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktek yang diterapkan dalam memandang
realitas kepada sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin
intelektual.[7]
Sehingga
paradigma pendidikan adalah suatu cara memandang dan memahami pendidikan, dan
dari sudut pandang ini kita mengamati
dan memahami masalah-masalah pendidikan yang dihadapi dan mencari cara mengatasi permasalahan tersebut.
Dalam ilmu sosial, menurut Ritzer
dan tiga paradigma. Pertama, paradigma
fakta sosial yang berakar pada pemikiran Emile Durkheim sehingga juga populer
disubut dengan Perspektif Durkheimian.
Paradigma ini mendasar kan pada filsafat positime dari Auguste Comte yang
menyatakan segala seauatu serba terukur dan berkembang mengikuti hukum sebab
akibat. Kehidupan ini lalu di bangun menggunakan hukum dan logika ‘jika-maka’.
Tidak ada gejala yang tidak bisa di jelaskan. Gejala yang tidak bisa di ukur
dan tidak bisa di jelaskan, diartikan sebagai tidak ada.[8]
Dalam pradigma fakta sosial,
tindakan seseorang di asumsikan merupakan fungsi dari sistem atau struktur
dalam masyarakat. Mereka lalu mempertanyakan fungsi elemen-elemen dalm sistem
atau struktur tersebut. Elemen tersebut harus memiliki fungsi dan harus
memiliki dan memberi sumbangan bagi upaya membangun harmoni. Pendidikan sebagai
elemen dalam masayrakat misalnya, harus memiliki sumbangn terhadap pemacahan
masalah yang di hadapi masyarakat, dan membantu menciptakan keseimbangan.
Mereka yang berfikir sistemik
seperti ini disebut Ritzer sebagai penganut paradigma fakta sosial. Fakta
sosial yang di maksud tiada lain adalah suatu yang bersifat eksternal di luar
individu dan bersifat memaksa individu, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Tradisi aturan, hukum, sebagai kesepakatan, struktur sosial, kesemua
itu berada di luar dan memaksa individu untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu.[9]
Kedua, paradigma definisi sosial.
Dalam paradigma yang berakar dari gagsan Max Weber ini berangkat dari asumsi
dasar yang mengatakan bahwa tindakan seseorang bukan karena faktor dari luar,
melainkan datang dari dorongan diri sendiri. Tradisi atau budaya yang
berkembang di lingkungannya bukan sebagai pendorong seseorang melakukan
tindakan. Tindakan seseorang merupakan hasil dari keinginan, motivasi,
harapan,nilai-nilai serta berbagai bentuk penafsiran manusia sebagai individu
terhadap dunia dimana ia hidup. Pemikiran inilah yang disubut Ritzer sebagai
paradigma definisi sosial. Individu bertindak atas dasar devinisi atau
pemaknaan yang diberikn atas sesuatu. Oleh karena itu tidak seperti penganut
paradigma fakta sosial yang mengatakan individu produk masyarakat, maka dalam
paradigama definisi sosial justru masyarakat dipandan sebagai hasil dari
tindakan dan penafsiran individu atas dunianya. Pertanyaan yang di anjurkan
biasanya adalah bagaimana seseorang menafsirkan dan memahami sebuah fenomena.
Ketiga, paradigma pertukaran
sosial. Paradigma ini muncul dari gagasan skinner. Dalam hal ini seperti
paradigma fakta sosial, individu bertindak berdasarkan stimulus dari luar.
Namun tidak seperti paradigma fakta sosial yang memendang faktor struktual atau
system yang menjadi acuan tindakan seseorang, maka menurut paradigma memandang
siapa mendapat apa. Mereka berasumsi bahwa stimulus yang bagus akan menghasilkan
respon yang bagus pula. Sebaliknya stimulus yang buruk kan menghasilkan respon
yang buruk pula.
Paradigma sosial yang di gagas
Ritzer tersebut juga berkembang dalam pemikiran tentang pengembangan model
pendidikan. Model pengembangan pendidikan itu termasuk berimplikasi terhadap
pola pengembangan kurukulium dan silabi, kepemimpinan, menejemen sumber daya,
pengelolaan kelas dan tentu juga strategi pembelajaran, disamping cara-cara
melakukan evaluasi pendidikan. Paradigma prilaku sosial mendasarkan pada perspektif
pertukaran dalam pendidikan kemudian melahirkan model behavioristik. Sementara
itu paradigma perilaku sosial melahirkan model konstruktivistik dalam
pendidikan.[10]
B. Paradigma Behavioristik,
Kontruktivistik Dan Sosial Kognitif Dalam Pendidikan
1. Paradigma Behavioristik Dalam
Pendidikan
Dalam dunia pendidikan selama ini
dikenal paradigma klasik yang disebut paradigma behavioristik. Paradigma ini muncul terutama pada tahun
1930-an. Paradigma ini dipelopori oleh Pavlov (1849-1936), Watson (1878-1958),
Skinner dan Thorndike (1874-1949).[11]
Paradigma ini cukup berpengaruh
dalam dunia pendidikan sampai pada tahun 1960-1970-an di barat dan bahkan
sampai 1990-an di Indonesia. Paradigma behavioristik atau perilaku sosial ini
dapat dilihat dalam berbagai bentuk pengembangan menejemen pendidikan yang
mendasarkan pada pemikiran positivisme, empirisme, teknokrasi dan
manajerialisme. Ia merupakan reaksi terhadap model pmbelajaran sebelumnya yang
menganut perspektif gcstalt yang memfokuskan pada cara kerja pemikiran kognitif.
Perspektif yang dikembangkam oleh
Piaget dan Vygotsky ini dianggap oleh penganut paradigma behavioristik memiliki
kelemahan karena tidak memfokuskan langsung kepada gerakan-gerakan tubuh dan
gejala internal tubuh yang bisa diamati.[12]
Pavlov menunjukan hubungan yang
simple antara stimulus dan respon dalam pengajaran untuk membentuk perilaku
organisme.
Sementara itu Watson (1878-1958)
yang memperkenalkan istilah behaviorisme mengembangkan gagasannya berdasarkan
apa yang di rintis Pavlov. Ia mengembangkan pemikiran bahwa bentuk substitusi
satu stimulus terhadap yang lain. Hal ini di lakukan dengan asumsi bahwa cara
berfikir manusia mekanistik, dan bukan merupakan proses kerja mental.
Thorndike (1913-1931) banyak
memberi sumbangan pengembangan paradigma behavioris dengan mengeksplorasi
dampak perilaku tertentu terhadap perilaku tetentu lainnya. Temuannya
menghasilkan rumus yang berlaku secara umum yang disebut dengan hukum pengarih
(law of effect). Dalam hukum pengaruh ini dikatakan bahwa respon kuat akan diberikan
apabila situasi dibuat menyenangkan tetapi respon lemah jika situasi tidak
menyenanglan. Implikasinya tindakan yang menghasilkan hal yang menyenangkan
akan cenderung diulang dengan menggunakan lingkungan dan cara yang sama. Hukum
pengaruh inilah yang dijadikan sebagai batu pijakan dalam tindakan.
Menurut teori ini lingkungan pembelajaran
merupakan faktor yang amat menentukan. Pembelajaran dilihat sebagai pembentukan
respon berdasarkan stimulus dari luar. Hadiah dan sangsi merupakan cara-cara yang diaggap sangat
efektif untuk membentuk dan mengembangkan bakat.
Paradigma ini tidak menempatkan
segala sesuatu pikiran, intelegensia, ego dan berbagai bentuk rasa perorangan
yang tak dapat dijelaskan sebagai sesuatu yang diperhitungkan. Mereka
berpandangan ‘tidak ada hantu dalam sebuah mesin.’ Meskipun mereka mengakui
adanya kesadaran dan pemikiran manusia. Namun hal itu bukan merupakan faktor
yang harus diperhitungkan dalam menyusun strategi pembelajaran. Dalam hal
menyusun pembelajaran, mereka merasa cukup dengan segala sesuatu yang dapat
diamati (observable). Dari pemikiran ini, maka prestasi pembelajaran sering
diartikan sebagai akumulasi dari berbagai skill, pembuatan memori terhadap
berbagai fakta dalam wilayah dan kerangka pengetahuan tertentu. Kesemua itu
kemudian membentuk kebiasaan yang memungkinkan dapat menampilkan hasil dengan
cepat.[13]
Pemikiran seperti tergambar diatas,
lalu menimbulkan implikasi terhadap berbagai faktor pemblajaran. Implikasi
terhadap peran guru dalam pembelajaran, misalnya, guru harus bisa melatih skill
siswa dengan tugas-tugas yang benar, jelas dan cepat. Implikasinya terhadap
pengembangan kurikulum, siswa harus diperkenalkan mulai dari skill dasar
terlebih dahulu, baru kemudian diberikan skill dan kompetensi yang lebih rumit dan
kompleks. Pemblajaran bukan dimulai dari yang sulit, melainkan dari yang sederhana.
Pembelajaran berlangsung dalam proses stimulus dan respon. Pembetulan sebuah
kesalahan dilakukan dengan membangun hubungan antara stimulus dan respon.
Implikasinya terhadap peran siswa
antara lain dalam pengorganisasian pembelajaran.
Guna mencapai hasil yang optimal, siswa harus diorganisasikan dalam kelompok
yang homogen dilihat dari latar belakang kemampuan dan tingkat skill yang dimiliki.
Disamping pemberian instruksi dan
program pembelajaran diatur secara hirarkis dengan memperhatikan tingkat
kemajuan pemilihan, kemampuan dan skill siswa.[14]
Implikasi terhadap cara penilain,
disini paradigma behavioristiik mengajarkan agar kemajuan pembelajaran diukur ,melalui
test dengan berbagai item yang ditentukan berdasarkan level atau tingkat
hirarki skill siswa. Hasil belajar biasany dilihat dari sudut benar atau tidak
benar, dan bagi mereka yang hasilnya kurang diberi kesempatan untuk mengulang
lebih intensif lagi pada bagian yang di
anggap kurang tersebut. Kalau tidak melakukan latihan ulang secara lebih
intensif, bisa juga dilakukan dengan cara mulai kembali belajar dari skill
dasar.[15]
Guna menerapkan paradigma
behaviouristic yang juga sering disebut sebagai perspektif Skinnerian ini guru
harus merumuskan tujuan pembelajaran tertentu dalam karangan pembelajaran behaviouristic.
Selanjutnya guna menyusun tahapan-tahapan pembelajaran tersebut secara hirarkis
sehingga pada akhirnya sampai pada tujuan tersebut. Sementara itu siswa ditempatkan
pada situasi yang kondusif untuk mencapai pembentukan perilaku tertentu.
Lingkungan, situasi atau operant
merupakan alat melakukan reinforcement. Alat itu bisa berupa materi, mainan,
perlombaan, kegiatan yang menyenangkan dan dorongn yang bersifat eksternal
lainnya. Oleh karena itu guru harus pandai memilih alat yang tepat sebagi
operant atau pendorong. Hal itu harus dilakukan karena menurut Skinner
pendorong yang baik (positif reinforcement) akan menghasilkan respon yang baik
atau efektif. Sebaliknya pendrong yang jelek (negatif reinforcement) akan
menghasilkan respon yang jelek oleh karena itu tidak efektif.
Untuk menjalankan paradigma
Skinnerian ini, guru memerlukan sejumlah kompetensi yang harus dikuasai. Kopetensi
itu meliputi :
a. Mengetahui
perilaku siswa secara tepat dan mendorong disiplin diri siswa.
b. Menggunakan
pendekatan yang dapat memecahkan perilku yang tidak diinginkan.
c. Menggunakan
berbagai bentuk strategi mengelola perilaku seperti peraturan negosiasi,
penggunaan sanksi yang efektif. Mengembangkan keiatan rutin yang jelas dalam
mengelola perilaku siswa konsisten dengan peraturan sekolah. Melakukan tindakan
yang tepat, tegas, adil dan konsisten.[16]
Guru juga harus memiliki kemampuan
membuat perencanaan untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu, melalui
progam, sasaran tahapan aktifitas, menyediakan contoh, mengkoreksi praktik agar
sesuai dengan rencana, dan tidak melepas siswa belajar sendiri. Untuk itu guru
harus melakukan upaya antara lain :
a.
Menghubungkan progam pembelajaran dengan
tujuan dan sasaran pendidikan.
b.
Menyusun tujuan yang jelas dalam progam
pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran siswa sebagai mana telah
yang di sepakati sebelumnya.
c.
Pilih dan buat tahapan aktifitas belajar
untuk mencapai tujuan yang telah di rencanakan.
d.
Perhatikan tujuan siswa dan segala
capaian yang telah di raih oleh siswa sebelumnya.
e.
Susunan strategi pembelajaran
behavioristik dengan berupaya mengembangkan pembelajaran, tahap demi tahap,
serta jamin tersedia contoh pada masing-masing tahap, berikan koreksi pada
praktek yang salah, upayakan tidak melepaskan siswa belajar sendri secara
langsung, melainkan bimbing dan kalau hendak melepaskan lakukan sevara
bertahap.
f.
Hubungan proses penilaian atau evaluasi
dengan strategi, tujuan, isi dan tugas pembelajaran.[17]
2. Paradigma Kontruktivistik Dalam
Pendidikan
Paradigma
konstruktutivistik beakar pada filsafat homanisme dan fenomenologi. Namun dalam
perkembangnanya, paradigma ini juga mengambil sejumlah gagasan yang di
kembangkan oleh filsafat rasionalisme dan bahkan juga positivisme, meskipun
tidak sedominan seperti dalam paradigma behavioristik. Paradigma
konstruktivistik ini di kembangkan oleh Chomsky dalam Linguistik, Sinom dalam computer scientists, dan Bruner dalam
pengetahuan kognitif dan belakangan beralih ke pendekatan sosial budaya. Dalam
pendidikan dikaitkan dengan nama-nama seperti Piaget dan Vygotsky. Ahli
psikoanalisis juga bergabung denga pradigma ini dan menambah perspektif ini
menjadi lebih kaya, sehingga kemudian popularitas paradigma ini menggeser
popularitas paradigma behaviolistik pada tahun 1960-an.[18]
Paradigma
konstruktivisme merupakan suatu tuntutan baru di tengah terjadinya perubahan
besar dalam mamaknai proses pendidikan dan pembelajaran. Pergeseran paradigma
pembelajran yang sebelumnya lebih menitikberatkan pada peran guru, fasilitator,
instruktur yang demikian besar, dalam perjalanannya semakin bergeser pada
pemberdayaan peserta didik atau siswa dalam mengambil inisiatif dan partisipasi
di dalam kegiatan belajar. Dalam kajian filsafat, berkembangnya konstruktivisme
tidak terlepas dari perubahan pandangan yang cukup lama yang menempatkan
pengetahuan sebagai representasi ( gambaran atau ungkapan) kenyataan dunia yang
terlepas dari pengamatan (objektivisme). Pandangan yang menganggap bahwa
pengetahuan merupakan kumpulan fakta. Namun akhir-akhir ini berkembang pesat
pemikiran, terlebih dalam bidang sains yang menempatkan bahwa pengetahuan tidak
terlepas dari subjek yang sedang belajar mengerti.[19]
Konstruktivisme
dalam hal ini mengembangkan pembelajaran dengan berbasis kepada ‘pemahaman
siswa’ . Kalau ingin memahami apa yang telah di ketahui siswa dan dapat
memonitor perkembangan prestasi pembelajaran dan pengetahuan siswa maka faktor
pemahaman siswa harus menjadi faktor perhatian guru.
Tugas guru
dengan demikian adalah memahami fakto-faktor instrinik yang ada dalam diri
siswa. Dengan demikian, menciptakan situasi pembelajaran yang menarik dan
kondusif, bukan semata tugas guru. Pada paradima behavioristik, tugas
meciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif adalah tugas guru. Guru harus
bisa menciptakan alat reinforcement yang bagus. Sebaliknya, dalam paradigma
konstruktifistik, siswa juga memiliki
potensi intrinsik dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.[20]
Dalam pendidikan
konstruktivistik, pembelajaran di pandang sebagai proses yang dikendalikan
sendiri oleh siswa. Pembelajaran mengembangkan pengetahuan yang dimiliki oleh
siswa yang dilakukan di tempat dimana siswa sebagai partisipan. Perspektif ini
menekankan pada proses pembelajaran kolaburatif, sehingga proses
pembelajarannya dilakukan bersama, siswa diberi fasilitas untuk berinteraksi
dengan lingkungannya disertai dengan proses refleksi diri. Dengan pendekatan
seperti ini pendidikan konstruktifisik menegaskan bahwa sumber balajar bukan
hanya ber sumber dari guru, melainkan juga dari kawan sepergaulan dan
orang-orang di sekitarnya.
Paradigma konstruktivisme mengembagkan inisiatif
yang kreatifitasnya individu dan kreatifitas pemikiran individu dalam
pembelajaran. Sementara dalam paradigma behavioristik, memberi kesempatan
sedikit saja bagi individu dan muncuknya kreatifitas siswa secara perorangan.
Paradigma
kontruktivistik menekankan kepada pemahaman, serta memecahkan persoalan dalam
konteks pemaknaan yang dimiliki oleh siswa. Proses strategis yang dilakukan
mulai cara pemikiran yang deduktif dan digabung dengan pemikiran induktif.[21] Ada dua jenis
pendidikan kontruktivisme yaitu :
a.
Kontruktivisme Psikologi
Dalam
hal ini pendidikan difokuskan kepada siswa sebagai individu dan bagaimana
mereka mengkonstruk pengetahuan, keyakinan dan identitasnya sendiri selama
proses pembelajaran.
b.
Kontruktivisme Sosial
Dalam
hal ini pendidikan difokuskan kepada peran faktor sosial dan budaya dalam
mengembangkan pembelajaran. Interaksi sosial ini yang dapat membentuk
perkembangan kognisi. Interaksi sosial dengan demikian merupakan kunci dalam
proses pembelajaran.[22]
Selebihnya paradigma kontruktivistik seperti
dirinci dengan baik oleh Mclnerney dan Mclnerney dapat dilihat dari cara
menyampaikan materi, metodologi, motivasi dan perumusan tujuan dan cara
evaluasi sebagai berikut :[23]
a.
Alat menyampaikan materi
1)
Penyampaian materi merupakan
bagian tidak terpisahkan dari pilihan yang dilakukan oleh siswa tentang proyek,
aktivitas atau apa yang dikerjakan.
2)
Pembelajaran merupakan
proses menghubungkan materi dengan pengalaman yang menjadi minat siswa
3)
Siswa menentukan sendiri
dalam mengatur materi dan waktu
4)
Menyediakan banyak pilihan
bahan pembelajaran yang menarik.
b.
Aktivitas dan metodologi
1)
Aktivitas pembelajaran dan metodologi
dilakukan dengan memperhatikan kepribadian siswa
2)
Kegiatan pembelajaran
dilakukan secara terpadu dan nyata dan relevan dengan minat siswa
3)
Menekankan pada proses
pembelajaran daripada materi pembelajaran
4)
Bukan hanya meningkatkan
skill tetapi pemikiran dan pemahaman siswa
c.
Motivasi dan tujuan
1)
Motivasi, kepuasan dan
pemuhan diri datang dari siswa
2)
Pembelajaran bertujuan
mendorong pengembangan kehidupan personal dan sosial, kemampuan komunikasi
3)
Mendorong tumbuhnya
kemampuan belajar dengan sendiri dan tanggung jawab
4)
Menumbuhkan sikap
kepribadian dan evaluasi berbasis evaluasi diri
d.
Evaluasi
1)
Evaluasi dengan membuat
daftar isian observasi
2)
Memilih sendiri tugas dan
kegiatan yang memperkaya pembelajaran
3)
Kegiatan yang dilakukan
berdasarkan kontrak yang dibuat
4)
Diskusi dengan guru, daftar
isian skill, catatan harian
5)
Interaksi efektif dengan
orang lebih dewasa
3. Paradigma Sosial Kognitif Dalam
Pendidikan
Bredo
(1997) mengembangkan paradigma ini dengan memanfaatkan psikologi fungsional dan
filsafat pragmatisme dari karya James, Deway dan Mead. Ia juga mengaitka dengan
nilai – nilai demokratik serta pemikiran behavioristik. Asumsi dasarnya
dibangun berdasarkan prinsip bahwa individu selalu berdialog dengan
lingkungannya.[24]
Dalam
paradigma social kognitif, pembelajaran disetting sedemian rupa sehingga siswa
bisa menggunakan sistem pengetahuan yang dimlikinya dan digunakan untuk
berdialog dengan lingkungan. Pembelajaran atau pemikiran dilakukan melalui
tindakan yang bisa mengubah situasi. Situasi yang berubah mengubah cara pembelajaran
yang dilakukan siswa. Gagasan yang terpenting dalam hal ini adalah bahwa
pembelajaran adalah aktifitas yang difasilitasi yang didalamnya terdapat bentuk
– bentuk ragam budaya yang ada menjadi faktor penting.[25]
Dengan
demikian pembelajaran dalam perspektif ini dapat diartikan sebagai aktifitas
sosial dan kolaborasi. Didalamnya siswa mengembangkan pemikirannya bersama –
sama. Kelompok kerja bukan soal pilihan tambahan. Pembelajaran dilakukan secara
parsipatoris. Apa yang dipelajari bukan hanya yang dimiliki individu namun
sesuatu yang bisa dibagikan dengan orang lain, dan oleh karena itu paradigma
ini disebut dengan ‘distributed cognition’
pemikiran yang terbagikan.[26]
Selebihnya,
paradigma sosial kognitif dirinci dengan baik oleh Mclnerney dan Mclnerney
sebagai berikut :[27]
a.
Alat penyampaian materi
1)
Melakukan display model
2)
Berfokus pada siswa
b.
Aktivitas/metodologi
1)
Metode rinci, tahap demi tahap mengikuti model
2)
Penjelasan dan pemberian informasi verbal
3)
Bahan instruksional disusun secara teratur dan menarik
4)
Memberikan kesempatan siswa untuk memahami dan menyajikan kembali
materi pembelajaran
c.
Motivasi dan tujuan
1)
Membuat instrumen reinforcement
2)
Menekan dorongan instrinsik maupun reinforcement
3)
Menguasai perilaku yang ditentukan dan mentransformasikannya dalam
situasi baru
d.
Evaluasi
1)
Melakukan evaluasi formative
secara terus menerus dan memberi respon terhadap umpan balik secara langsung
2)
Mereproduksi pendorong kepuasan yang diperlukan untuk membentuk
perilaku
3)
Menggunakan skill yang diperlukan dalam situasi yang sama maupun
yang baru melalui transformasi
Didalam praktik di
kelas, selanjutnya menyusun strategi pembelajaran yang menurut Krause ada tiga
strategi :[28]
a.
Mendorong pembelajaran terpusat pada pengalaman dan kegiatan siswa
Pengalaman, pengetahuan,
dan minat siswa harus menjadi titik awal guru mengemas pembelajaran di kelas.
Dengan demikian pembelajaran lebih bermakna bagi siswa. Oleh karena latar
belakang pengetahuan dan minat mereka beragam, maka guru sangat dianjurkan
untuk belajar tentang multikultur.
b.
Memberikan kesempatan siswa belajar bekerja
sama
Kerjasaman adalah kunci
dimata kontruksionis. Strategi pembelajarannya dengan demikian harus didesain
dalam bentuk pembelajaran kelompok sehingga siswa memiliki kesempatan
memperoleh pengalaman bekerja sama, berbagi ide dan belajar satu sama lainnya.
c.
Bantu siswa baru mengembangkan
keahliannya
Pembelajaran
merupakan perspektif kontruksionis, harus bisa membantu siswa baru
mengembangkan keahlihan dalam bidang ilmu tertentu sehingga mereka bisa
mandiri, dan mengatur sendiri kegiatan belajar mereka.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat
disimpulkan bahwa :
1.
Paradigma
pendidikan adalah suatu cara memandang dan memahami pendidikan, dan
dari sudut pandang ini kita mengamati
dan memahami masalah-masalah pendidikan yang dihadapi dan mencari cara mengatasi permasalahan tersebut. Dan
juga dalam pendidikan terdapat sejumlah paradigma berfikir. Paradigma
behavioristik, kontruktivistik dan sosial kognitif yang memiliki rpengaruh
dalam pendidikan.
2.
Paradigma
behavioristik, kontruktivistik dan sosial kognitif dalam pendidikan dapat
dijelaskan :
a. Paradigma
behavioristik menekankan faktor eksternal sebagai penentu efektifitas
pembelajaran. Strategi pembelajaran difokuskan kepada upaya menyediakan faktor
eksternal yang positif dan kondusif untuk mencapai tujuan pembelajaran
b. Paradigma
kontruktivistik yang menegaskan pembelajaran hanya akan efektif jika ada
dorongan instrinsik dari siswa. Dan strategi pembelajarannya difokuskan pada
aktifitas dan inisiatif siswa.
c. Paradigma
sosial kognitif merupakan model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan
asumsi bahwa individu atau siswa dengan sistem pengetahuan yang dimilikinya
selalu berinteraksi dengan struktur atau lingkungan sekitarnya. Strategi
pembelajaran dengan demikian lebih difokuskan kepada dialog individu dengan
dunia atau struktur disekitarnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmad Fathoni, Pengantar Sosiologi Pendidikan, diktat
Dennis McInerney dan
Valentina McInerney, Psychological
Education, (NSW:Prentice Hall,2002)
Farid
Anfasa Moeloek, dkk, Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI, (Jakarta:BSNP,2010), ver-01
Kerri – Lee Krause, et.
All, Education Psychology for Learning
and Teaching, (Australia: Nelson Australia Pty Lmtd, 2007)
Kuhn, T,S, The
Structure of Scientific Revolutions, (Chicago:UCP,1962)
Joel Arthur Barker, Paradigma Upaya
Menemukan Masa Depan. (Batam:Interajsar,1999)
J. Bruner, 1996, kutip
James dalam John Gradner, Assessment and
Learning, 2006
M.John Echols dan Shadily. Kamus Inggris
Indonesia, (Jakarta:Gramedia,1992)
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan,
(Yogyakarta:Kanisius,1997)
UU RI Nomor 20 Tahun
2003, Sisdiknas, (Jakarta:Depag
RI,2006)
Zainuddin Maliki, Sosiologi Pendidikan, (Yogyakarta:Gadjah
Mada University Press, 2010), cet. 2
[1]Kuhn, T,S, The
Structure of Scientific Revolutions, (Chicago:UCP,1962), hlm. 51
[2]UU RI Nomor 20 Tahun 2003, Sisdiknas, (Jakarta:Depag RI,2006), hlm.
49
[6]Farid Anfasa Moeloek,
dkk, Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI, (Jakarta:BSNP,2010), ver-01, hlm. 6
[8]Zainuddin Maliki, Sosiologi Pendidikan, (Yogyakarta:Gadjah
Mada University Press, 2010), cet. 2, hlm. 17
[9] Achmad Fathoni, Pengantar Sosiologi Pendidikan, diktat, hlm. 8
[11]Zainuddin Maliki, Sosiologi Pendidikan, (Yogyakarta:Gadjah
Mada University Press, 2010), cet. 2, hlm. 19
[12]Dennis McInerney dan Valentina
McInerney, Psychological Education,
(NSW:Prentice Hall,2002), hlm. 126
[13]Zainuddin Maliki, Sosiologi Pendidikan … hlm 20 - 21
[15]Gardner, Assessment and Learning, 2006, hlm. 54-55
[16]Achmad Fathoni, Pengantar Sosiolo gi Pendidikan, diktat
,hlm 11
[18]J. Bruner, 1996, kutip James
dalam John Gradner, Assessment and
Learning, 2006, hlm. 55
[19]Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan,
(Yogyakarta:Kanisius,1997), hlm. 18
[20]Zainuddin Maliki, Sosiologi Pendidikan … hlm. 26
[22]Kerri – Lee Krause, et. All, Education Psychology for Learning and
Teaching, (Australia: Nelson Australia Pty Lmtd, 2007), hlm. 183
[23]Dennis McInerney dan Valentina
McInerney, Psychological Education,
(NSW:Prentice Hall,2002), hlm. 153
[24]Zainuddin Maliki, Sosiologi Pendidikan … hlm. 31
[25]LS. Vigotsky, 1978, kutip James
dalam John Gardner,…. hlm. 57
[26]Solomon, 1993, kutipan James
dalam John Gardner, ibid
[27]Dennis McInerney dan Valentina
McInerney, Psychological Education,
(NSW:Prentice Hall,2002), hlm. 153
[28]Achmad Fathoni, Pengantar Sosiologi Pendidikan, diktat ,
hlm. 15-16
Syukron katsiron...
BalasHapustulisan yang sangat super. . sangat membantu.
Mantap...
BalasHapusKlik: biblemu.blogspot.com