Pendidikan Islam Jaman Belanda


PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
PADA ZAMAN BELANDA


A.    PENDAHULUAN
Kedatangan bangsa Belanda seperti juga bangsa Eropa lainnya ke Indonesia pada mulanya adalah untuk berdagang dan mencari rempah-rempah. Di Asia Barat orang-orang Kristen Eropa dilarang berdagang rempah. Konstantinopel dikuasai oleh kerajaan Islam Turki Usmani yang dipimpin Muhammad Al Fatih.1 Dengan demikian putuslah hubungan perdagangan Eropa dengan Asia Barat. Untuk menghadapi kekuasaan Islam, pedagang Kristen yang dipelopori orang-orang Portugis kemudian mencari jalan lain ke Indonesia dengan menempuh jalur baru, yaitu menyusuri pantai barat Afrika.
Keberhasilan Portugis dan Spanyol dalam menemukan “pulau rempah-rempah” membangkitkan minat Belanda dan Inggris. Pada tahun 1595 dimulailah pelayaran pertama di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Armadanya tiba di pelabuhan Banten pada tahun 1596.2
Sikap awak kapal de Houtman yang merendahkan rakyat menyebabkan penguasa-penguasa pelabuhan di Jawa merasa tidak senang. Sebaliknya, di Bali mereka diijinkan berlabuh dan membeli barang dagangan. Mereka kembali ke Belanda dengan keuntungan yang sedikit.
Pelayaran pertama itu dilanjutkan pelayaran berikutnya dengan harapan mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda. Pada tahun 1598, mendaratlah kapal-kapal Belanda di bawah pimpinan Jacob van Neck. Dan pada tahun-tahun berikutnya semakin banyak pedagang-pedagang Belanda yang berdatangan ke Indonesia. Untuk menghindari persaingan di antara mereka, didirikanlah Perserikatan Dagang Hindia Timur yang dikenal dengan nama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1602.3 Penduduk Pribumi menyebut VOC dengan kompeni saja.
Mula-mula VOC hanya menjalankan perdagangan, akan tetapi pada tahun-tahun selanjutnya VOC mulai menjalankan kekuasaan negara. VOC mempunyai tentara dan uang sendiri, mengangkat gubernur dan memaksakan monopoli perdangan rempah-rempah dan berusaha mempeluas wilayah. Peter Both adalah gubernur jendral Belanda pertama di Indonesia.
Raja-raja dan rakyat di Kepulauan Nusantara tentu saja mengadakan perlawanan terhadap VOC. Tetapi pada akhirnya mereka tidak berdaya dan Belanda semakin kuat mencengkramkan kukunya di bumi Nusantara ini.
Orang-orang Belanda beserta keluarganya memerlukan pendidikan dan latihan baik mengenai pengetahuan umum maupun pengetahuan khusus tentang Indonesia. Di samping itu VOC memerlukan juga tenaga-tenaga pembantu (murah) dari penduduk pribumi. Kepada mereka perlu diberikan pendidikan sekadarnya untuk menjalankan tugasnya.4 Hal ini juga dimaksudkan agar kekuasaan dan misionarinya dapat berjalan dengan sukses dan lancar. Sekolah-sekolah tersebut didirikan dengan berbagai kriteria dan variasinya secara diskriminatif yang bertujuan untuk mempertahankan perbedaan sosial, mengkristenkan masyarakat pribumi dan menjadikan rakyat sebagai pegawai, pekerja kasar, yang digaji murah. Hal-hal yang menjadi penghalang dan penghambat niat dan tujuan kompeni, seperti umat Islam dan ajaran-ajarannya termasuk usaha-usaha pendidikan yang dilakukannya, tentu disingkirkan dan kalu perlu dimusnahkan. Kejadian ini terus berlangsung selama kurang lebih dua ratus tahun.
Babak selanjutnya, penjajahan yang dipimpin langsung oleh pemerintah Hindia Belanda setelah VOC dibubarkan karena kemundurannya, sehingga tidak dapat berfungsi sebagai lembaga yang mengatur pemerintahan dan masyarakat di Hindia Belanda.5 Dengan demikian masa penjajahan Belanda dapat dibagi menjadi dua fase, yaitu periode VOC (1600-1800) dan periode pemerintahan Belanda Wilayah Hindia Belanda Timur (1800-1942). Selama dua periode ini kebijakan pendidikan Belanda mengalami beberapa kali perubahan. Tidak berbeda dengan penjajahan Inggris di India, pemerintah Belanda di Indonesa juga menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan hampir tidak sama sekali memperhatikan aspirasi masyarakat pribumi.6 Kebijakan semacam ini didorong oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan sebanyak mungkin dari program-program pendidikan yang dikembangkan.
Kedatangan bangsa Barat memang telah membawa kemajuan teknologi. Tetapi tujuannya adalah untuk meningkatkan hasil penjajahan bukan untuk kemakmuran bangsa yang dijajah. Begitu pula di bidang pendidikan. Mereka memperkenalkan sistem dan metode baru tetapi sekedar untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan mendatangkan tenaga dari barat. Apa yang mereka sebut pembaharuan pendidikan itu adalah westernisasi dan kristenisasi untuk kepentingan Barat dan Nasrani.7
Di balik kegiatan-kegiatan pendidikan yang diselenggarakan terdapat satu keinginan untuk mempertahankan kelestarian kekuasaan. Dalam hal ini Belanda selalu menempatkan diri pada pihak yang lebih tinggi dalam struktur masyarakat demi terpeliharanya rezim kolonial. Untuk itu sistem pendidikan yang diterapkan ditandai dengan diskriminasi sosial, ras dan agama.

B.     PENGERTIAN PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan dapat diartikan secara sempit, dan dapat pula diartikan secara luas. Secara sempit dapat diartikan: “Bimbingan yang diberikan kepada anak-anak sampai ia dewasa”.8 Sedangkan pendidikan dalam arti luas adalah “segala sesuatu yang menyangkut proses perkembangan dan pengembangan manusia, yaitu upaya menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai bagi anak didik. Sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan itu menjadi bagian dari kepribadian anak yang pada gilirannya ia menjadi orang pandai, baik, mampu hidup dan berguna bagi masyarakat”.9
Definisi di atas mengandung pengertian yang lebih luas, yakni menyakut perkembangan dan pengembangan manusia. Namun demikian, pengertian tersebut masih terbatas pada persoalan-persoalan duniawi (keduniaan). Dengan kata lain, belum memasukkan aspek spiritual religius sebagai bagian terpenting yang mendasari perkembangan dan pengembangan manusia dalam proses pendidikan.
Syed Naquib al Attas dalam hal ini menyatakan, bahwa pendidikan berasal dari kata ta’dib. Memang terdapat kata lain yang berkaitan dengan pendidikan selain ta’dib, yakni tarbiyah, akan tetapi tarbiyah lebih menekankan pada mengasuh, menanggung, memberi makan, memelihara, dan menjadikan bertambah dalam pertumbuhan.10
Selanjutnya Naquib menyatakan bahwa: penekanan pada ‘adab’ yang mencakup dalam amal pendidikan dan proses pendidikan, adalah untuk menjamin bahwa ilmu dipergunakan secara baik dalam masyarakat. Karena alasan inilah maka orang-orang bijak terdahulu mengkombinasikan ilmu dengan amal dan adab, dan menganggap kombinasi harmonis ketiganya sebagai pendidikan.11
Pendidikan memang bukan sekedar transfer pengetahuan, pembinaan mental, jasmani dan intelek semata, akan tetapi bagaimana pengetahuan dan pengalaman yang telah didapatkan dipraktekkan dalam perilaku sehari-hari.
Ki Hajar Dewantara, sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Abuddin Nata, MA., menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia. Pendidikan tidak hanya bersifat pelaku pembangunan tetapi sering merupakan perjuangan. Pendidikan berarti memelihara hidup ke arah kemanjuan, tidak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasas peradaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.12 Menurut Abuddin, rumusan pendidikan ini memberikan kesan dinamis, modern, dan progesif. Pendidikan tidak boleh hanya memberikan bekal untuk membangun, tetapi seberapa jauh didikan yang diberikan itu berguna untuk menunjang kemajuan suatu bangsa. Semangat progresif yang terkandung dalam rumusan pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro tersebut mengingatkan kita kepada pesan Khalifah Umar Ibnu Khatab yang mengatakan bahwa anak-anak muda sekarang adalah generasi di masa yang akan datang. Dunia dan kehidupan yang akan dihadapi berbeda dengan dunia sekarang. Untuk itu apa yang diberikan kepada anak didik harus memperkirakan kemungkinan relevansi dan kegunaanya di masa datang.13
Tokoh pendidikan lain yang menyoroti pendidikan adalah Soegarda Pubakawaca. Menurutnya dalam arti umum, pendidikan mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda untuk melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama sebaik-baiknya.14 Kedua pengertian pendidikan, baik yang dikemukakan Ki Hajar Dewantoro maupun Soegarda Purbakawaca mempunyai dimensi yang cukup luas, meliputi pengetahuan, keterampilan dan kecakapan hidup. Namun sayangnya masih bersifat umum, belum menyentuh aspek-aspek yang bersifat yang bersifat spiritual yang dilandasi oleh ajaran Islam. Untuk itu akan lebih baik jika dipadukan dengan pengertian pendidikan yang dilandasi oleh semangat keislaman, antara lain sebagaimana yang dikemukakan oleh H.M. Arifin. Dengan mengutip rumusan dari seminar Pendidikan Islam se-Indonesia di Cipayung, Bogor tanggal 7 Maei 1960, ia menyatakan bahwa pendidikan (Islam) adalah :

Sebagai bimbinga terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan Hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.

Istilah membimbing, mengarahkan dan mengasuh serta mengajarkan dan melatih, mengandung pengertian usaha mempengaruhi jiwa anak didik melalui proses setingkat demi setingkat menuju tujuan yang ditetapkan, yakni menanamkan taqwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran, sehingga terbentuklah manusia yang berpribadi dan berbudi luhur sesuai ajaran Islam.15

Setidak-tidaknya ada tiga poin yang dapat disimpulkan dari definisi pendidikan di atas, yaitu: Pertama, Pendidikan Islam menyangkut aspek jasmani dan rohani. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu pembinaan terhadap keduanya harus seimbang.
Kedua, Pendidikan Islam didasarkan konsepsinya pada nilai-nilai religius. Ini berarti bahwa pendidikan Islam tidak mengabaikan faktor teologis sebagai sumber dari ilmu itu sendiri. Sebagaimana firman Allah berikut ini :
zN¯=tæur tPyŠ#uä uä!$oÿôœF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJór'Î/ ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya kemudian mengemukakannya kepada malaikat, lalu berfirman: Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika memang orang-orang yang benar (QS. Al Baqoroh: 31).

Ayat di atas menunjukkan adanya epistomologi dalam Islam, yakni bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari yang satu, Allah SWT. Dialah pendidik yang pertama dan utama. Bedanya dengan orang tua sebagai pendidik pertama utama terhadap anak-anaknya dalam keluarga, sedangkan Allah SWT adalah pendidik pertama dan utama bagi seluruh makhluk bahkan seluruh alam. Tidak ada satu pendidikan yang terjadi dalam keluarga, bahkan alam jagad raya ini, tanpa Allah SWT sebagai pendidik pertama dan utama yang mengajarkan ilmunya kepada manusia, dalam hal ini Adam sebagai manusia pertama.
Ketiga, adanya unsur taqwa sebagai tujuan yang harus dicapai. Sebagaimana kita ketahui, bahwa taqwaa merupakan benteng yang dapat berfungsi sebagai daya dangkal terhadap pengaruh-pengaruh negatif yang datang dari luar.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.16
Pengertian pendidikan seperti yang lazim dipahami sekarang belum terdapat di zaman Belanda. Tetapi usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh umat Islam, khususnya para ulama atau kyai, dalam menyampaikan seruan agama dengan berdakwah, menyampaikan ajaran, memberi contoh, melatih keterampilan berbuat, memberi motivasi dan menciptakan lingkungan sosial yang mendukung pelaksanaan ide dan pembentukan pribadi muslim, telah mencakup arti pendidikan dalam arti sekarang.
Dengan demikian yang dimaksud pendidikan Islam di Indonesia pada zaman Belanda, adalah bimbingan dan pembinaan yang dilakukan para ulama dan kyai ataupun ustad kepada masyarakat, baik secara individu maupun kelompok di rumah-rumah, mushola, masjid maupun pesantren. Tujuannya adalah terwujudnya manusia yang beriman dan bertaqwa, mampu mengamalkan ajarannya dan berakhlak mulia serta memiliki gairah keislaman yang tinggi

C.    KEADAAN PENDIDIKAN ISLAM PADA ZAMAN BELANDA
Sebelum kedatangan bangsa Eropa, termasuk Belanda, pendidikan Islam sudah ada dan mulai berkembang ke seluruh pelosok tanah air. Walaupun pelaksanaannya masih sangat sederhana (tradisional) jika dibandingkan dengan perkembangan setelah kedatangan bangsa Belanda Pendidikan Islam berjalan dan berkembang seiring dengan dakwah dan penyebaran Islam itu sendiri, baik di kalangan masyarakat maupun istana raja-raja. Pendidikan Islam pada saat itu mengambil bentuk halaqah, dan tatap muka perorangan di mushola, masjid, maupun pesantren.
Ketika Belanda datang, pendidikan Islam mulai mengalami hambatan. Rintangan dan tantangan untuk berkembang lebih maju seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman itu terjadi terutama ketika dihadapkan dengan persaingan melawan kristenisasi yang justru dilakukan oleh kaum penjajah mulai dari bangsa Portugis hingga Belanda. Belanda membuat berbagai peraturan dan kebijakan yang intinya menghambat dan menghalangi perkembangan dan kemajuan pendidikan Islam.
Walaupun pada awalnya kedatangan Belanda hanya untuk berdagang mencari rempah-rempah, namun dalam perjalanan selanjutnya tidak hanya berdagang. Mereka membawa dan menyebarkan misi Kristen sekaligus juga ingin menguasai bumi Nusantara. Motivasi ini sering disebut dengan istilah “Tiga G” (Gold, Gospel dan Glory). Gold (emas) yakni berkaitan dengan ekonomi. Gospel (Injil, kitab suci) yakni berkaitan dengan misi penyebaran agama kristiani, dan Glory (kejayaan) yakni berkaitan dengan politik atau kekuasaan. Kebenaran misi ini dapat kita lihat dalam pernyataan yang terdapat pada hak octroi VOC yang berbunyi: “Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan harus memperhatikan perbaikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah”.17 Sehubungan dengan octroi ini, Gubernur Van Den Capellen pada tahun 1819 M, merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu pemerintahan Belanda. Dalam surat edarannya disampaikan kepada para bupati ia menyatakan, bahwa “Dianggap penting untuk secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintahan yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka lebih mudah untuk di atas menggambarkan tujuan didirikannya sekolah”.18
Jiwa dari edaran di atas menggambarkan tujuan berdirinya sekolah dasar pada zaman itu. Pendidikan agama Islam yang ada di pondok pesantren, masjid, mushola, dan lain sebagainya dianggap tidak membantu pemerintahan Belanda, dan tidak ada kaitannya sama sekali, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan faktor-faktor yang mendorong kemajuan pembangunan. Bagi Belanda, agama (Islam) justru menjadi faktor penghambat dan penghalang bagi kemajuan dan kepentingan Belanda.
Kolonial Belanda memperlakukan umat Islam sejajar dengan kaum pribumi. Sekolah untuk mereka terbatas hanya sekolah desa dan Vervlog. Padahal Islam agama mayoritas penduduk pribumi. Sedangkan penduduk beragama selain Islam khususnya Kristen (Protetan-Katholik) diperlakukan sama dengan bangsa Eropa. Keadaan yang dialami penduduk pribumi pada dasarnya adalah keadaan umat Islam (karena Islam mayoritas). Disamping itu, kolonila Belanda selalu menempatkan Islam sebagai musuh baik itu kolonialisme maupun untuk usaha menyebarkan agama Nasrani.
Keadaan pendidikan umat Islam pada zaman Belanda dari waktu ke waktu demikian memprihatikan karena terus menerus mendapatkan tekanan dan perlakuan yang tidak menggembirakan. Namun demikian, umat Islam secara terus menerus pula tetap berjuang dan melakukan perlawanan, hingga akhirnya pendidikan pendidikan Islam mengalami kebangkitan.
Kebangkitan terseut terinspirasi oleh gerakan yang lahir di Timur Tengah, yang dibawa oleh orang-orang Indonesia yang menunaikan haji ke tanah suci Mekkah.19 Gerakan ini dimulai dari pembaharuan pemikiran dan pendidikan Islam di Minangkabau yang disusul oleh pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia, Perserikatan Ulama Majalengka, Jawa Barat (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta (1927), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Candung Bukit Tinggi (1930),20 dan lain sebagainya.
Dengan munculnya gerakan-gerakan itu keadaan pendidikan Islam mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik dan maju, meskipun Belanda tidak menghendakinya. Bahkan cenderung menghalangi pertumbuhan dan perkembangannya. Perkembangan ke arah yang lebih baik dan maju itu, paling tidak bisa diukur, salah satunya dengan semakin banyaknya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bermunculan sebagaimana disebutkan di atas.

D.    SIKAP BELANDA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan di suatu negara sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor budaya, ilmu pengetahuan, corak masyarakat-agraris, industri maupun informasi, faktor politik dan pengaruh globalisasi. Pada zaman Belanda pendidikan sangat dipengaruhi oleh faktor politik yang ditentukan oleh kebijakan penguasa, yaitu Belanda baik semasa VOC maupun pemerintahan Hindia Belanda. Dengan demikian, politik pendidikan bukan hanya bagian dari politik kolonial, akan tetapi merupakan inti politik kolonial. Jenis pendidikan yang disediakan oleh pemerintah Belanda bagi anak-anak Indonesia banyak ditentukan oleh tujuan-tujuan politik Belanda terutama dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi.21
Sikap Belanda terhadap pendidikan setidaknya dapat dikategorikan ke dalam empat hal, yaitu: Pertama, pendidikan diselenggarakan dengan tujuan untuk kemajuan dan kemampuan yang berkualitas bagi orang-orang Belanda. Kedua, pendidikan diselenggarakan dengan maksud untuk menghasilkan tenaga-tenaga atau pekerja yang murah untuk membantu kepentingan Belanda. Ketiga, pendidikan diselenggarakan dengan tujuan menanamkan misi Kristen dan mengkristenkan orang-orang pribumi. Keempat, pendidikan diselenggarakan dengan maksud untuk memelihara dan mempertahankan perbedaan sosial.
Oleh karena itu, kalaulah akhirnya Belanda membuka kesempatan pendidikan bagi rakyat pribumi, tujuannya tidak lain “membentuk kelas elite dan menyiapkan tenaga terdidik sebagai buruh rendahan / kasar”.22 Sedangkan terhadap pendidikan Islam, Belanda cenderung menghambat dan menghalangi karena dinilai sebagai salah satu faktor yang akan mengancam keberlangsungan kolonial. Hambatan dan halangan yang dibuat oleh Belanda antara lain dari adanya peraturan-peraturan yang diterapkan oleh pihak kolonial. Pemerintah dapat mebubarkan sekolah-sekolah yang tidak mempunyai izin atau yang tidak disukai yang disebut sebagai Wilde School Ordonantie atau Ordonansi Sekolah Liar. Disamping itu juga mengeluarkan Ordonantie yang isinya melarang para guru, kyai atau ulama untuk mengajar jika tidak mempunyai izin.
Dengan demikian sebagai bangsa penjajah Belanda telah melakukan diskriminasi terhadap bangsa pribumi, baik secara sosial, ras, politik, maupun agama. Diskriminasi itu tercermin dari hal-hal sebagai berikut :
1.      Diskriminasi Sosial
Diskriminasi sosial ini terlihat dari didirikannya sekolah yang membedakan antara sekolah yang dikhususkan untuk kaum bangsawan dengan sekolah untuk rakyat biasa. Untuk kaum bangsawan / anak-anak raja, bupati, dan tokoh-tokoh terkemuka didirikan Sekolah Raja (Hoofdeenschool) pada tahun 1865 dan 1872 di Tondano. Kemudian pada tahun 1878 didirikan di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Bahasa pengantarnya adalah bahasa melayu dan Belanda. Selain itu Belanda juga mendirikan sekolah angka satu (De Scholen de Eerste Klasse) untuk anak-anak dari pemuka-pemuka, tokoh-tokoh terkemuka, dan orang-orang terhormat bumiputra. Sedangkan untuk sekolah rakyat pribumi biasa didirikan Sekolah Dasar Kelas Dua (De Scholen de Tweede Klasse) atau yang sering dikenal dengan istilah Sekolah Ongko Loro.23

2.      Diskriminasi Ras
Diskriminasi ini sangat jelas terlihat pada klasifikasi sekolah di Indonesia. Pada tingkat dasar pemerintah membuka sekolah-sekolah yang dibedakan menurut ras dan keturunan seperti Europeesche Lagere School (ELS) untuk anak-anak Eropa, Hollandasch Chinese School untuk anak-anak Cina dan Keturunan Asia Timur, Hollandasch Inlandsche  School yang kemudian disebut Sekolah Bumiputra untuk anak-anak pribumi dari kalangan ningrat dan terakhir adalah Inlandsche  School yang disediakan untuk anak-anak pribumi pada umumnya.24

3.      Diskriminasi Anggaran
Bentuk lain dari diskriminasi pemerintah penjajah berkaitan dengan prndidikan di Indonesia dilihat pada alokasi anggaran. Anggaran pendidikan lebih banyak diberikan kepada sekolah-sekolah untuk anak-anak Eropa, padahal jumlah siswa di sekolah-sekolah Bumiputra terdapat 162.000 siswa, sementara di sekolah Eropa hanya 2.500 siswa. Tetapi sangat ironis, uang yang dialokasikan untuk sekolah Bumiputra hanya f. 1.359.000 sementara yang diberikan pada sekolah-sekolah Eropa dua kali lipat lebih banyak yakni f. 2.677.000. Pada tahun 1915, ketika siswa di Bumiputra telah mencapai 321.000 siswa anggaran yang disediakan berjumlah f. 1.493.000. Pada tahun yang sama, siswa di sekolah Eropa hanya bertambah menjadi 32.000 tetapi uang yang dialokasikan mencapai f. 6.300.000.25 Suatu Perbandingan yang sangat tidak seimbang dan terus berlanjut, sehingga tidaklah mengherankan jika terdapat pernyataan bahwa Belanda memelihara dan membiarkan strata berkembang dalam ketidakberdayaan.

4.      Diskriminasi dalam Hal Kepemelukan Agama
Kepemelukan terhadap suatu agama tertentu juga menjadi dasar kebijakan pendidikan Belanda. Program pendidikan pemerintah dikonsentrasikan di wilayah-wilayah di mana terdapat sejumlah besar penduduk yang beragama Kristen, seperti Batak, Manado, dan Kalimantan. Pesantren yang menjadi basis pendidikan agama masyarakat Muslim tidak mendapatkan perhatian sama sekali, bahkan cenderung dimusuhi. Dalam hal ini Belanda lebih memihak kepada Kristen, dan inilah yang menjadi misi Belanda di Indonesia selain mencari rempah-rempah dan keuasaan (kejayaan), walaupun mereka telah menetapkan kebijakan untuk “NETRAL” terhadap agama. Tetapi dalam pelaksanaanya, mereka melindungi dan mengembangkan Kristen dan menghalangi perkembangan Islam.
Kebijakan yang diskriminatif ini sejalan dengan prinsip-prinsip kolonial yang dicanangkan oleh mereka, yakni :
1.      Pemerintah kolonial berusaha tidak memihak salah satu agama tertentu;
2.      Pendidikan diarahkan agar para tamatannya menjadi pencari kerja, terutama demi kepentingan kaum penjajah;
3.      sistem persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat;
4.      Pendidikan diarahkan untuk membentuk golongan elite sosial Belanda;
5.      Dasar pendidikannya adalah pendidikan Barat dan berorientasi pada pengetahuan dan kebudayaan barat.26 Sehubungan dengan hal ini, S. Nasution menyatakan bahwa politik kolonial erat hubungannya dengan mereka pada umumnya, suatu politik yang didominasi oleh golongan yang berkuasa dan tidak didorong oleh nilai-nilai etis denganb maksud untuk membina kematangan politik dan praktik pendidikan jajahannya. Menurut Nasution, ciri politik dan praktik pendidikan kaum kolonialis, khususnya Belanda adalah sebagai berikut :
a.       Gradualisme yang luar biasa dalam penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia.
b.      Dualisme dalam pendidikan dengan menekankan perbedaan yang tajam antara pendidikan Belanda dan pendidikan pribumi.
c.       Kontrol sentral yang kuat.
d.      Keterbatasan tujuan sekolah pribumi dan peranan sekolah untuk menghasilkan pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan pendidikan.
e.       Prinsip konkordansi yang menyebabkan sekolah di Indonesia sama dengan di Negeri Belanda.
f.       Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk pendidikan anak pribumu.27

Graudalisme yang diterapkan Belanda untuk masyarakat pribumi memang dengan ekstrim. Yaitu dengan mengusahakan pendidikan rendah yang sederhana mungkin bagi anak Indonesia dan memperlambat lahirnya sekolah yang setaraf dengan ELS. Padahal penjajah lain seperti di Spanyol telah mendirikan universitas di Filipina pada permulaan abad ke-16 untuk masyarakat pribumi, Inggris membuka Universitas di India pada abad ke-17, sedangkan orang Belanda baru mendirikan sekolah tinggi pada dekade ke-2 abad ke-20. Inipun terjadi atas tekanan keadaan darurat yang disebabkan oleh Perang Dunia I.
Pemerintah Belanda juga menanamkan dualisme dalam pendidikan. Dengan membedakan sekolah untuk anak Belanda dan untuk anak pribumi. Selain itu, ada perbedaan sekolah untuk orang berada dan yang tak berada, sekolah yang memberi kesempatan untuk melanjutkan pelajaran dan yang tidak memberi kesempatan. Pendeknya pendidikan hany dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan perbedaan sosial, bukan untuk mobilitas sosial.
Belanda juga menerapkan pengawasan dan kontrol yang sangat ketat dan kaku. Kontrol yang ketat ini dijadikan alat politik untuk menghambat dan bahkan menghalang-halangi pelaksanaan pendidikan Islam.
Pemerintah juga menerapkan prinsip konkordasi, yakni suatu prinsip yang memaksa sekolah berorientasi Barat dan menghalangi dalam penyesuaian pendidikan dengan kondisi di Indonesia. Dengan demikian setiap sekolah dipaksa menjadi agen kebudayaan Barat dan dijadikan sebagai alat untuk misionaris Kristen.
Yang tak kalah memprihatinkan juga, mereka dijadikan pegawai rendahan atau pegawai kasar sebagai tujuan utama pendidikan bagi pribumi.
Prinsip dan pola ini mereka tempuh karena mereka tidak ingin masyarakat pribumi menjadi pintar dan tidak ingin Islam menjadi maju. Karena jika masyarakatnya pintar dan Islam maju, terancamlah kekuasaan mereka, terancamlah keuntungan yang berlipat dalam bidang perdagangan mereka dan terancamlah pula misi mereka untuk menyebarkan bahkan mengkristenkan seluruh Indonesia, sebagaimana yang menjadi cita-cita Snouck Hurgronje.
Karena itu Belanda tidak ingin Islam berkembang karena dikhawatirkan akan mengancam kelangsungan kekuasaannya. Atas dasar ini Belanda mengeluarkan berbagai peraturan dan kebijakan guna menghalangi kemajuan dan perkembangan agama Islam. Di antara kebijaka-kebijakan itu adalah :
1.      Pada tahun 1882 pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas untuk mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang mereka sebut Priesterraden. Dari nasihat badan inilah pada tahun 1905 pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan batu yang dikenal dengan nama “Ordonansi Guru”.
2.      Pada tahun 1925 pemerintah Belanda mengeluarkan “Ordonansi Guru” kedua yang isinya mewajibkan bagi setiap guru agama untuk melaporkan diri pada pemerintah secara berkala. Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para penghajar dan penganjur agama Islam di negara ini.
3.      Pada tahun 1932 pemerintah Belanda mengeluarkan “Ordonansi Guru” (Wilde School Ordonantie). Ordonansi ini berisi kewenangan untuk memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau sekolah yang memberikan pelajaran yang tidak disuaki oleh Belanda.

Dalam prakteknya, peraturan mengenai ordonansi ini dipergunakan untuk menekan agama Islam karena dikaitkan dengan ketertiban dan keamanan. misalnya ketika terjadi persaingan ketat antara Islam dengan Kristen di tanah Batak, Lulofs selaku penasehat urusan luar Jawa menetapkan suatu garis perbatasan antara Islam dan Kristen. Orang Islam tidak dibenarkan tinggal di daerah Kristen lebih dari 24 jam. Dapat dipastikan bahwa hal semacam ini dimaksudkan agar umat Islam tidak secara leluasa berada dan bergaul di tengah komunitas Kristen karena dikhawatirkan dapat mengajak dan mempengaruhi kekristenan yang ada di daerah itu.
Latar belakang lahirnya ordonansi-ordonansi ini sepenuhnya bersifat politis untuk menekan sedemikian rupa, sehingga pendidikan agama tidak menjadi faktor pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah. Pengalaman penjajah yang direppotkan oleh perlawanan rakyat Cilegon tahun 1888 merupakan pelajaran serius bagi pemerintahan Hindia Belanda untuk menerbitkan ordonansi.29
Kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang bersifat menekan terhadap pendidikan Islam pada dasarnya disebabkan kekhawatiran timbulnya militansi kaum muslim terpelajar.
Terhadap adanya ordonansi-ordonansi ini umat Islam menilai sebagai kebijakan yang tidak saja membatasi perkembangan pendidikan Islam, tetapi sekaligus menghapus peran penting umat Islam di Indonesia. Dengan ordonansi ini para guru dan penganjur agama Islam tidak dapat bebas bergerak karena sangat dibatasi dengan ketat dan selalu dicurigai. Demikian halnya ketidaklengkap laporan sebuah lembaga pendidikan sering dijadikan alasan untuk menutup kegiatan pendidikan di kalangan masyarakat. Dengan alasan ini kegiatan atau penyelenggaraan pendidikan yang bersifat nonformal banyak dibubarkan.
Kelestarian penjajahan, betapapun merupakan impian politik pemerintah kolonial. Sejalan dengan pola ini maka kebijaksanaan di bidang pendidikan memenpatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan Barat dalam hal ini diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia. Pada akhir abad ke-19 Snouck Hurgronje begitu optimis, bahwa Islam tidak sanggup bersaing dengan pendidikan Barat. Agama ini dinilai beku dan menghalangi kemajuan sehingga harus diimbangi dengan meningkatkan taraf kemajuan pribumi.30
Ramalan dan optimisme Snouck agaknya tidak memperhitungkan kemampuan umat Islam untuk mempertahankan diri di negeri ini yang sudah terbiasa hidup sederhana dan tahan banting, juga tidak memperhitungkan faktor kesanggupan Islam yang mampu menyerap kekuatan dari luar untuk meningkatkan diri. Memang cukup beralasan untuk merasa optimis. Kondisi obyektif pendidikan Islam pada waktu itu memang sedemikian rupa dan tidak sebanding dengan kemajuan yang dialami oleh Kristen (Barat), sehingga diperkirakan tidak akan mampu menghadapi superioritas Barat, tidak sanggup melawan pendidikan Kristen yang lebih maju dalam segala bidang, dan tidak akan bisa berhadapan dengan sikap diskriminatif kolonial. Tetapi ternyata Islam berkembang sedemikian rupa sehingga optimisme dan ramalan bahwa Islam bakal sirna, tidak dapat dibuktikan.

E.     SIKAP BANGSA INDONESIA TERHADAP KEBIJAKAN BELANDA DALAM HAL PENDIDIKAN
Kesadaran bahwa pemerintah Belanda merupakan “Pemerintah Kafir” yang menjajah agama dan bangsa mereka, semakin dalam tertanam di benak para santri. Pesantren (kaum tradisionalis) yang pada waktu itu merupakan pusat pendidikan Islam mengambil sikap anti Belanda. Sampai uang yang diterima seseorang sebagai gaji dari pemerintah Belanda dinilai sebagai uang Haram. Celana dan dasi pun dianggap haram karena dianggap sebagai identitas Belanda.31
Berbeda dengan sikap yang ditempuh oleh orang-orang Islam (kaum terpelajar Islam) di luar pesantren (kaum modernis). Mereka justru mengambil sikap proposional. Tidak antipati, tetapi juga tidak terlalu dekat dengan Belanda karena dalam pandangan mereka, umat Islam harus banyak belajar kepada orang Belanda agar pintar dan berwawasan luas, sehingga tidak dibodohi dan dijajah terus menerus.
Dengan demikian, terdapat dua sikap yang ditempuh oleh bangsa Indonesia dalam merespon kebijakan Belanda, khususnya yang berkenaan dengan pendidikna, yaitu sikap kooperatif dan nonkooperatif.
Sikap kooperatif yaitu sikap yang dilakukan para pelajar muslim (kaum modernis, seperti Muhammadiyah) yang memperlakukan Belanda sebagai mitra, bukan sebagai musuh yang harus ditakuti, sehingga bisa diajak kerjasama dalam membangun dan meningkatkan kualitas pendidikan kaum pribumi (Islam). Setidaknya mereka dimanfaatkan untuk sebanyak-banyaknya keuntungan bagi bangsa Indonesia dalam bidang pendidikan. Salah satu hasil pada waktu itu adalah mendapatkan subsidi pendidikan sebagaimana sekolah-sekolah lain yang bekerjasama dengan Belanda. Tetapi dalam perjalanan selanjutnya, kaum modernis pun memutuskan hubungan untuk tidak bekerjasama karena Belanda semakin meperlakukan bangsa Indonesia dengan semena-mena.
Sedangkan sikap nonkooperatif, adalah sikap yang menjadikan Belanda sebagai musuh yang harus dibenci dan dijauhi. Dalam hal ini tidak dibenarkan seseorang bekerja sama dengan Belanda dalam bentuk apaun. Sikap nonkooperatif ini banyak dilakukan oleh para ulama salaf yang memimpin pesantren-pesantren.
Senada dengan sikap-sikap di atas menurut Maksum, setidaknya ada dua respon yang dilakukan umat Islam sebagai reaksi atas kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh Belanda, yaitu respon defensif dan respon progresif.32 Respon defensif ditunjukkan dengan menghindari sejauh mungkin pengaruh politik Hindia Belanda terhadap sistem pendidikan Islam. Sikap ini terliaht dalam sistem pendidikan tradisional pesantren yang sepenuhnya mengambil jarak dengan pemerintah penjajah. Di samping mengambil lokasi di daerah-daerah terpencil, pesantren juga menyusun kurikulum tersendiri yang hampi seluruhnya berorientasi pada pembinaan mental keagamaan. Pesantren dalam hal ini memposisikan diri sebagi lembaga pendidikan yang menjadi benteng pertahanan umat atas penetrasi penjajah, khususnya dalam bidang pendidikan. Dengan posisi defensif ini, pesantren pada kenyataanya memang bebas dari campur tangan pemerintah Hindia Belanda, meskipun dengan resiko harus terasing dari perkembangan masyarakat modern.
Respon defensif ini juga dilakukan dengan sikap nonkooperatif dengan Belanda. Mereka menyingkir dari tempat yang dekat dengan Belanda. Mereka mengharamkan kebudayaan yang dibawa oleh Belanda dengan berpegang pada hadits Nabi Muhammada SAW yang artinya “Barang siapa yang menyerupai suatu golongan maka ia termasuk golongan tersebut”. (Riwayat Abu Dawud dan Imam Hibban).33
Mereka juga berpegang pada ayat Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 51, menyatakan bahwa orang yang beriman tidak dibenarkan menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Allah Berfirman :


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah orang Yahudi dan Nasrani engaku angkat sebagai pemimpin”. (Al Maidah : 51).

Corak reponsi umat Islam juga bersifat progresif yang memandang bahwa tekanan pemerintah Hindia Belanda itu merupakan kebijakan diskriminatif. Usaha umat Islam dalam bidang pendidikan dengan demikian adalah bagaimana mencapai kesetaraan dan kesejajaran, baik dari segi kelembagaan maupun kurikulum. Ketergantungan pada tekanan penjajah justru akan semakin melemahkan posisi umat Islam sendiri. Begitupun sebaliknya, membiarkan sikap defensif terus menerus, semakin memberi ruang yang lapang bagi gerakan pendidikan pemerintah Belanda. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah ini diperlukan upaya mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan secara mandiri yang produknya sama dengan sekolah ala Belanda, tetapi tidak tercabut dari akar keagamaan.
Wujud konkrit dari upaya ini adalah pertama, lahirnya para ulama besar yang mempunyai pengaruh dari jaringan luar tingkat nasional maupun di dunia internasional. Di antara mereka adalah Nur Al Din Al Raniri (W. 1068/1658), Abdul Rauf Al Sinkili (1024-1105/ 1615-930), Muhammad Yusup Al Makasari (1037-1111/1627-99), dan lain-lain.34 Sementara itu pembaharuan pemikiran Islam Indonesia yang terjadi di awal abad ke-19, terutama di Sumatera Barat dan Jawa pada umumnya berkisar pada dimendi gerakan pendidikan dan sosial dan gerakan politik. Kendatipun demikian yang menjadi pusat perhatian pembaharuan tetap pemikiran keagamaan. Hal ini dapat disadari mengingat lembaga pendidikan dan sosial yang ada pada saat itu masih bersifat tradisional dan terpusat di daerah pedesaan.35
Kedua, tumbuh dan berkembangnya sekolah-sekolah Islam dan madrasah di berbagai wilayah, baik di Jawa maupun di luar Jawa yang relatif lebih baik dan maju. Di antara lembaga-lembaga pendidikan Islam antara lain adalah Adabiah School (1909), Diniah School Labal Al Yunusi (1915), dan Sumatera Tawalib di Sumatera Barat, Madrasah Nabdlatul Ulama di Jawa Timur, Madrasah Muhammadiyah di Yogyakarta, Madrasah Tasywiq Thulab di Jawa Tengah, imADRASAH Persatuan Umat Islam di Jawa Barat, Madrasah Jami’at Al Khair di Jakarta, Madrasah Islamiahi di Sulawesi, dan Madrasah assulthaniyyah di Kalimantan.36 Dalam perkembangan selanjutnya, lembaga-lembaga pendidikan Islam (madrasah) mulai terpengaruh dengan sistem pendidikan modern, yakni sekolah baik sistem maupun bentuknya, pelajaran-pelajaran umum yang diajarkan dan dijadikan sebagai bagian dari kurikulum yang ada, namun dengan tidak meninggalkan pengajaran agama Islam sebagai pelajaran pokok atau yang utama. Demikian halnya dengan pesantren, mulai mengadopsi sistem sekolah atau madrasah dengan mengintegrasikan ke dalam pesantren.

F.     KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disusun kesimpulan sebagai berikut :
1.      Bangsa Belanda pertama kali datang ke Indonesia pada mulanya adalah untuk berdagang rempah-rempah langsung dari daerah asalnya, sehingga lebih murah untuk kemudian dijual ke Eropa dengan harga yang lebihb tinggi. Akan tetapi melihat kekayaan yang berlimpah timbul hasrat Belanda untuk memonopoli perdagangan, menguasai wilayah dan menanamkan serta menyebarkan misi, yaitu agama Kristen.
2.      Pendidikan yang diselenggarakan oleh bangsa Belanda mempunyai tujuan untuk kemajuan dan pernaikan kualitas orang Belanda, mencetak pegawai / pekerja rendahan dengan imbalan murah, mengadakan kristenisasi, mempertahankan perbedaan sosial dan melanggengkan kekuasaan kolonial.
3.      Belanda mencoba melaksanakan politik dengan maksud menghalangi dan mengahmbat pertumbuhan dan perkembangan Islam dengan cara menerbitkan berbagai peraturan-peraturan dan kebijakan yang dapat menekan sedemmikian rupa sehingga Islam sulit berkembang.
4.      Kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh Belanda yang sangat merugikan umat Islam, didasarkan pada asumsi dan sikap yang yidak dapat dipertanggung jawabkan, yaitu :
a.       Agama Islam dianggap menghambat dan menghalangi kepentingan Belanda;
b.      Kemajuan umat Islam dikhawatirkan menjadi militandi yang dapat mengancam kekuasaan kolonial;
c.       Adanya keterpihakan terhadap bagaimana mensukseskan misi kristen di Indonesia.
5.      Meskipun Pendidikan Islam mendapatkan hambatan dan rintangan dari Belanda, tetapi kemajuan Islam dan Pendidikan Islam tidak dapat dibendung, bahkan banyak pengalaman-pengalaman berharga dimana umat Islam belajar dari padanya.

DAFTAR PUSTAKA

1        Drs. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-3, 1999, hal. 43.

2        Ibid, hal. 44.

3        Hasan Syadili, Pd. Ensiklopedia Indonesia, Volume 7, Jakarta : Ikhtiar Baru Van Hoeve, hal. 3843.

4        Sumarsono Mestoko, Pendidikan Indonesia dari Jaman ke Jaman, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1979, hal. 41.

5        Ibid, hal. 47.

6        Dody S. Truna, Ismatu Ropi (penyunting), Pranata Islam di Indonesia (Pergulatan Sosial, Politik Hukum dan Pendidikan), Ciputat, 2002, hal. 247.

7        Dra. Zuhaerini, Dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, Cet. Ke-5, 1997, h.

8        Ahmad D. Marribah, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : Al Ma’arif, 1981, hal.31.

9        M. Natsir Ali, Dasar-Dasar Ilmu Mendidik, Jakarta : Mutiara, 1997, hal. 23.

10    Syeh Muhammad Al Naquib Al Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Bandung : Mizan, 1984, cet. Ke-1, hal. 60.

11    Ibid, hal. 59.

12    Prof. Dr. H. Abudin Nata, MA., Dalam Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, Cet. Ke-4, 2001, hal.9

13    Abudin Nata, Prof. Dr., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bina Aksara, cet. Ke-4

14    Ibid, hal. 10.

15    H.M. Muzayn Arifin, M.Ed., Fisafat Pendidikan Islam, Bandung : Remaja Rosda Karya, Cet. Ke-4, 2001, hal. 32

16    Ahmad Tafsir, MA., Dr., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, cet. Ke-4, 2001, hal.32

17    Zuhaerini, dra., Dkk, Op. Cit, hal. 148

18    Ibid, hal. 148

19     Badri Yatim, MA. Dr., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, cet. Ke-12, 2001, hal.

20    Ibid, hal. 258

21    Nasution, S, Prof. Dr. MA., Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara, 1994, hal.3

22    Drs. Ary H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta, 1995, hal.21.

23    Sumarsono, Mestoko, Pendidikan di Indonesia dan Jaman ke Jaman, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997, hal. 52.

24    Dodi S. Truna, Lok. Cit., hal.247

25    Dodi S. Truna, Ibid, hal. 248, Lihat pula Sumarsono, Pendidikan di Indoensia dari Jaman ke Jaman, lihat, tabel IX, hal. 76

26    Ary H, Gunawan, Drs., Op. Cit. Hal. 11

27    Nasution, Prof. Dr. MA., Op. Cit. hal 20.

28    H. Aqib Suminto, Op. Cit. hal. 51-58

29    Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1990-1992, Jakarta : LP3ES, Cet. 1, hal. 51-100.

30    H., Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta : LP3ES, 1985, hal. 49-50.

31    H. Aqib Suminto, Op. Cit. hal. 50

32    Maksum, H. Dr. Madrasah Sejarah dan Pekembangannya, Pengantar Dr. Zakiah Daradjat, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999, cet. Ke-1, hal. 116-117

33    Zuhairini, Dra., Dkk. Op. Cit. hal. 150

34    Azyumardi Azra, Dr., Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung : Mizan, cet. 1, 1994, hal. 166-221.

35    Fachry Aly dan Bachtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung : Mizan, cet. Ke-1, 1986

36    Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990-1942, Jakarta : LP3ES, cet.1, 1980, hal. 51-100.

Komentar

  1. kelinci99
    Togel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
    HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
    NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
    Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
    Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
    segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
    yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
    yukk daftar di www.kelinci99.casino

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Landasan Religius Pendidikan

PARADIGMA PENDIDIKAN

Teknik-teknik supervisi pendidikan