Makalah Filsafat Alam


B A B  I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
1.         Pengertian Filsafat
Secara epistimologi, filsafat berasal dari bahasa  Yunani  Philosophia,  dan  terdiri dari kata Philos yang berarti kesukaan atau  kecintaan  terhadap  sesuatu,  dan  kata  Sophia  yang  berarti  kebijaksanaan. Secara harafiah, filsafat diartikan sebagai suatu kecintaan terhadap  kebijaksanaan  (kecenderungan untuk menyenangi kebijaksanaan). Hamersma (1981: 10) mengatakan bahwa filsafat merupakan pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan Jadi, dari definisi ini nampak bahwa kajian filsafat itu sendiri adalah realitas hidup manusia yang dijelaskan secara  ilmiah   guna   memperoleh   pemaknaan   menuju   “hakikat kebenaran”

2.    Ciri-Ciri Berpikir Dalam Filsafat
Dalam memahami suatu permasalahan, ada perbedaan tentang karakteristik  dalam berfikir antara filsafat dengan ilmu-ilmu lain. Mudhofir dalam Muntasyir & Munir (2002:4-5) mengatakan  bahwa   ciri-ciri berfikir kefilsafatan sebagai berikut :
Ø Radikal,  artinya berpikir sampai ke akar-akarnya, hingga sampai pada hakikat atau substansi yang  dipikirkan.
Ø Universal, artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum  manusia. Kekhususan berpikir kefilsafatan menurut Jespers terletak pada aspek keumumannya.
Ø Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia. Misalnya: apakah Kebebasan itu ?
Ø Koheren atau konsisten (runtut). Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir logis. Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
Ø Sistematik, artinya pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling berhubungan  secara  teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
Ø Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Berpikir secara kefilsafatan merupakan usaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
Ø Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafati boleh dikatakan merupakan hasil  pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka - prasangka  sosial,  historis, kultural,  bahkan religius.
Ø Bertanggungjawab, artinya seseorang yang  berfilsafat  adalah   orang - orang   yang berpikir sekaligus bertanggungjawab terhadap  hasil  pemikirannya,  paling  tidak  terhadap hati  nuraninya sendiri.

3.    Bidang dalam Filsafat
            Secara umum, bidang-bidang utama filsafat terbagi menjadi 3 bagian, yaitu :
1)        Metafisika
Metafisika berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta ta physika yang berarti segala sesuatu yang berada di balik hal-hal yang sifatnya fisik. Metafisika sendiri dapat diartikan sebagai cabang filsafat yang paling utama, yang membicarakan mengenai keberadaan (being) dan eksistensi (existence). Oleh karena itu, metafisika lebih mempelajari sesuatu atau pemikiran tentang sifat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan. Menurut Wolff, metafisika dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kategori, yaitu:
-       Metafisika Umum (Ontologi), yaitu metafisika yang membicarakan tentang “Ada” (Being).
-       Metafisika Khusus, yaitu metafisika yang membicarakan sesuatu yang sifatnya khusus.
Dalam metafisika khusus ini, Wolff membagi ke dalam 3 (tiga) kategori : Psikologi, yang membahas mengenai hakekat manusia Kosmologi, yang membahas mengenai alam semesta Theologi, yang membahas mengenai Tuhan
2)        Epistimologi
Epistimologi berasal dari kata Episteme yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti teori. Oleh karena itu, epistimologi berarti teori pengetahuan. Permasalahan-permasalahan yang menjadi fokus pembicaraan epistimologi adalah asal-usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan, hubungan antara pengetahuan dan kebenaran, dan sebagainya. Dalam epistimologi, pengetahuan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan kebenaran.
3)        Aksiologi
Aksiologi berasal dari kata axios yang berarti nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos yang berarti akal atau teori. Oleh karena itu, aksiologi dapat diartikan sebagai teori mengenai sesuatu yang bernilai. Dalam cabang ini, salah satu yang paling mendapatkan perhatian adalah masalah etika/kesusilaan. Dalam etika, obyek materialnya adalah perilaku manusia yang dilakukan secara sadar. Sedangkan obyek formalnya adalah pengertian mengenai baik atau buruk, bermoral atau tidak bermoral dari suatu perilaku manusia.
untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dengan lainnya maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah: Apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi)? Bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologi)? Serta untuk apa pengetahuan termaksud dipergunakan (aksiologi)? Dengan mengetahui jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia. Hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu, serta meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan kita

4.    Definisi filsafat Ilmu
Menurut Beerling (1985; 1-2) filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu sesungguhnya merupakan suatu penyelidikan lanjutan. Dia merupakan suatu bentuk pemikiran secara mendalam yang bersifat lanjutan atau secondary reflexion. Refleksi sekunder seperti itu merupakan syarat mutlak untuk menentang bahaya yang menjurus kepada keadaan cerai berai serta pertumbuhan yang tidak seimbang dari ilmu-ilmu yang ada. Refelksi sekunder banyak memberi sumbangan dalam usaha memberi tekanan perhatian pada metodikaserta sistem dan untuk berusaha memperoleh pemahaman mengenai azas-azas, latar belakang serta hubungan-hubungan yang dipunyai kegiatan ilmiah.
Filsafat ilmu adalah refleksi yang mengakar terhadap prinsip-prinsip ilmu. Prinsip ilmu adalah sebab fundamental dan kebenaran universal yang lengket didalam ilmu yang pada akhirnya memberi jawaban terhadap keberadaan ilmu. Dengan mengetahui seluk-beluk prinsip ilmu itu maka dapat diungkapkan perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan perkembangannya, keterjalinan antar ilmu, ciri penanganan secara ilmiah, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan sebagainya yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri (Suriasumantri, 1986; 301-302). Filsafat ilmu pengetahuan membahas sebab musabab pengetahuan dan menggali tentang kebenaran, kepastian, dan tahap-tahapnya, objektivitas, abstraksi, intuisi, dan juga pertanyaan mengenai “dari mana asalnya dan kemana arah pengetahuan itu?” (Verhaak & Haryono, 1989; 12-13).

5.    Obyek Materi Filsafat
Obyek materi filsafat terdiri dari 3 persoalan Pokok :
1.         Masalah Tuhan, yang sama sekali diluar atau diatas jangkauan ilmu pengetahu`n biasa.
2.         Masalah Alam yang belum atau tida dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa
3.         Masalah manusia yang juga belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa.
Disamping objek yang telah disebutkan , sebenarnya masih ada lagi yang merupakan kesatuan dari kesemuanya itu yang berupa hakikat, baik hakikat manusia, alam dan Tuhan (istilah pengetahuan disebut Causa Prima).
Dalam pemahasan makalah ini penulis ingin membahas tentang mengkaji, menelti dan mempelajari alam.
B.       RUMUSAN MASALAH
1.      Apa Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan?
2.      Apa Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan?
3.      Apa yang dimaksud Filsafat Alam ?
4.      Bagaimana Filsafat Alam Menurut Thales ?
5.      Bagaimana Jembatan antara Ilmu Pengetahuan Alam dengan Filsafat?
6.      Bagaimana Ilmu Pengetahuan sebagai penjabaran pemikiran positifisme?

C.      TUJUAN PEMBAHASAN
1.      Untuk mengetahui Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan.
2.      Untuk mengetahui Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan.
3.      Untuk mengetahui Filsafat Alam.
4.      Untuk mengetahui Filsafat Alam Menurut Thales.
5.      Untuk mengetahui Jembatan antara Ilmu Pengetahuan Alam dengan Filsafat.
6.      Untuk mengetahui Ilmu Pengetahuan sebagai penjabaran pemikiran positifisme.




BAB II
PEMBAHASAN

A.      Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan. Antara definisi filsafat dan ilmu pengetahuan memang hampir mirip namun kalau kita menyimak bahwa di dalam definisi ilmu pengetahuan lebih menyoroti kenyataan tertentu yang menjadi kompetensi bidang ilmu pengetahuan masing-masing, sedangkan filsafat lebih merefleksikan kenyataan secara umum yang belum dibicarakan di dalam ilmu pengetahuan (Muntasyir&Munir,2000: 10). Walaupun demikian, ilmu pengetahuan tetap berasal dari filsafat sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan yang berdasarkan kekaguman atau keheranan yang mendorong rasa ingin tahu untuk menyelidikinya, kesangsian, dan kesadaran akan keterbatasan. Wibisono (1997: x) pada Artikel kunci “Gagasan Strategik Tentang Kultur Keilmuan Pada Pendidikan Tinggi”, yang mengambil pendapat H.J. Pos, beliau menandaskan bahwa abad ke-19 dan 20, dan bahkan sampai sekarang, diidentifikasi sebagai suatu abad yang ditandai oleh dominasinya peran ilmu pengetahuan dalam kehidupan umat manusia.
Dominasi ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia memang tidak dapat dipungkiri. Betapa tidak, dominasi ini paling kurang membawa pengaruh dan manfaat bagi manusia, atau justru berpengaruh negatif dan membawa malapetaka. Seperti yang diungkapkan oleh Ridwan Ahmad Syukri (1997: 18-19), ilmu yang berorientasi pada kepentingan pragmatis, orientasi duniawi, atau mengesampingkan yang transenden, akan membawa malapetaka bagi kemanusiaan pada umumnya. Ilmu dinilai bukan karena dirinya sendiri, tetapi nilai ilmu pengetahuan berada dalam kesanggupannya membuat kehidupan lebih bernilai dan memberikan kebahagiaan, demi kebutuhan untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan manusia, maka bentuk ilmu itu memberikan kemanfaatan.
Selanjutnya, dalam bukunya yang berjudul Epistemologi Dasar, J. Sudarminta mengatakan bahwa ciri-ciri hakiki pengetahuan manusia yaitu:
kepastian mutlak tentang kebenaran segala pengetahuan kita memang tidak mungkin, sebab manusia adalah makhluk contingent dan fallible. Tetapi ini tidak berarti bahwa semua pengetahuan manusia pantas dan perlu dipergunakan kebenarannya. Maka, skeptisisme mutlak pantas ditolak.
Subjek berperan aktif dalam kegiatan mengetahui dan tidak hanya bersifat pasif menerima serta melaporkan objek apa adanya. Tetapi ini tidak berarti bahwa pengetahuan manusia melulu bersifat subjektif. Maka, subjektivisme radikal juga pantas disangkal.
pengetahuan manusia memang bersifat relasional dan kontekstual, tetapi itu tidak berarti bahwa objektivitas dan universalitas pengetahuan menjadi tidak mungkin. Menurut Sudarminta (2002: 60) pelbagai bentuk relativisme ilmu pengetahuan, walaupun punya sumbangan yang berharga, merupakan suatu pandangan tentang pengetahuan yang tidak bisa diterima.

B.       Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan
Aristoteles mengawali metafisikanya dengan pernyataan “setiap manusia dari kodratnya ingin tahu”. Tetapi jauh sebelum Aristoteles, Socrates mengatakan hal yang nampaknnya bertentangan dengan ungkapan Aristoteles tersebut, yaitu bahwa tidak ada seorang manusia pun yang mempunyai pengetahuan (Hadi, 1994: 13). Kontradiktif ini tidak perlu diperdebatkan. Sebab menurut Plato bahwa filsafat dimulai dengan rasa kagum. Kekaguman filosofis ini bukanlah kekaguman akan hal-hal yang rumit, canggih atau kompleks, tetapi justru kekaguman akan sesuatu yang sederhana yang tampaknya jelas dalam pengalaman sehari-hari. Hadi (1994: 14-15) menyatakan kekaguman dalam hal ini adalah mempertanyakan hal-hal yang ada dihadakan kita, yang dalam anggapan umum dianggap telah diketahui. Oleh karena itu seseorang harus tahu apa yang dicarinya dan berusaha untuk menemukan apa yang dicari tersebut, demikian menurut Plato.
Pengetahuan filosofis ingin menarik diri dari apa yang dianggap sebagai kejelasan umum untuk kembali ke dalam sesuatu yang eksistensial dalam keadaan aslinya. Karenanya, seorang filsuf tidak ada henti-hentinya bertanya. Pernyataan Socrates dan Aristoteles terkesan bertentangan, padahal sebenarnya tidak. Menurut Aristoteles, semua orang dari kodratnya ingin tahu, dan langkah pertama untuk mencapai pengetahuan itu adalah kesadaran socrates bahwa tidak ada seorang pun yang sudah tahu. Untuk mencapai pengetahuan, Bernard Paduska&R. Turman Sirait ( 1997: 5), seseorang harus sadar bahwa ia “belum tahu” dan karena itu ia “ingin tahu”. Dalam redaksi berbeda, namun dapat disetir menjadi satu makna, bahwa menurut filsafat eksistensialisme anda adalah anda karena anda menghendaki demikian.
Dengan uraian di atas, kita dapat melihat adanya dua macam bentuk pengetahuan, yaitu pengetahuan harian atau penggetahuan biasa (common sense) dan pengetahuan ilmiah. Dalam filsafat, pengetahuan biasa sering dianggap sebagai pengetahuan inderawi, sedangkan pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan berdasarkan akal budi (intelektif). Korelasi pengetahuan indrawi dan pengetahuan intelektif membentuk dasar dalam perkembangan ilmu pengetahuan secara global. Sejarahnya telah terukir, betapa dua konsep dasar ini menjadi cikal-bakal yang meletakkan dasar konsep ilmiah. Keilmuan yang ilmiah dapat lahir dari pengamatan yang mendalam tentang semua objek, tetapi juga dasar ilmiah dapat dibangun dari perenungan yang jernih dan mendalam, terukur dan dapat dianalisa, sistematis serta dapat dipelajari, itulah sebagian konsep ilmiah. Socrates adalah tokoh yang sangat diperhitungkan, meskipun ia tidak secara langsung bicara tentang kebenaran ilmiah.
Menurut Wibisono dalam makalahnya mengatakan, Sejalan dengan perkembangan filsafat, ilmu pengetahuan pun berkembang dengan pesatnya. Dalam perjalanan selanjutnya, terdapat fenomena adanya suatu konfigurasi yang menunjukkan tentang bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” itu telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang-filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Berkaitan dengan ilmu-ilmu, pengetahuan yang dicari dan diperoleh sering disebut dengan istilah pengetahuan ilmiah. Menurut Bahm ( 1980: 1) ada lima unsur pokok dalam suatu pengetahuan yang disebut ilmiah yaitu masalah, sikap, metode, aktivitas, kesimpulan dan pengaruh tertentu.
Aristoteles menguraikan sistem berpikir ilmiah yang dikenal dengan logika. Menurut Aristoteles terdapat sepuluh kategori yang berkaitan dengan pengertian, yaitu substanti, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, keadaan, mempunyai, berbuat, dan menderita.
Pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan yang sudah dipertanggung-jawabkan secara ilmiah atau diperoleh dengan metode ilmiah. Sebaliknya, pengetahuan sehari-hari yang tidak atau belum dipertanggungjawabkan secara ilmiah disebut pengetahuan pra-ilmiah (Lorens, 1996: 806). Salah satu ciri pengetahuan ilmiah adalah adanya anggapan bahwa pengetahuan ilmiah itu berlaku ilmiah. Mengeni apakah sesuatu dapat atau tidak disebut ilmiah tidak tergantung pada faktor-faktor subjektif. Bisa saja orang berbeda pendapat tentang dasar pembenaran suatu teori, tetapi hal tersebut hanya menunjukkan bahwa faktor-faktor objektif yang bersangkut paut dengan persoalan tadi tidak atau masih dapat membuahkan hasil yang tidak bermakna ganda (ambiguitas). Adanya saling pengaruh antara sifat dan kadar pengetahuan ilmiah dengan sarana-sarana untuk mencapainya mengakibatkan pergeseran-pergeseran, pengertian “ilmiah” sepanjang sejarah. Namun demikian perkembangan ilmu secara mandiri harus dapat dipertahankan. Menurut Beerling,dkk (1996: 6-7) secara spesifik ada tiga macam pengenalan dari pengetahuan yang disebut ilmiah. (1) pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang mempunyai dasar pembenaran. Setiap pengetahuan ilmiah harus punya dasar pembenaran berdasarkan pemahaman-pemahaman yang dapat dibenarkan secara apriori serta secara empiris melalui penyelidikan ilmiah yang memadai. (2) pengetahuan ilmiah bersifat sistematis. Penyelidikan ilmiah tidak membatasi diri hanya pada satu bahan saja, tapi senantiasa mencari hubungan dengan sejumlah bahan lainnya dan berusaha agar hubungan-hubungan itu merupakan suatu kebulatan. (3) pengetahuan ilmiah itu adalah bersifat inter-subjektif. Kepastian pengetahuan ilmiah tidak didasarkan atas intuisi-intuisi serta pemahaman orang perorangan yang subjektif, melainkan dijamin oleh sistemnya sendiri. Pengetahuan ilmiah haruslah sedemikian rupa sehingga dalam setiap bagiannya dan dalam bagian yang menyeluruh dapat ditanggapi oleh subjek-subjek lain. Terhadap hasil penyelidikan dimungklinkan ada kesepakatan yang bersifat inter-subjektif.
Di samping apa yang sudah diuraikan di atas, menurut Sudarminta (2002: 32-44) perlu ditambahkan juga bahwa dasar-dasar pengetahuan itu tidak lepas dari peran pengalaman, ingatan, kesaksian, minat dan rasa ingin tahu, pikiran dan penalaran, logika, bahasa, dan kebutuhan hidup manusia.

C.       Filsafat Alam
Alam ialah seluruh zat dan energi, khususnya dalam bentuk esensinya. Alam ialah mata pelajaran studi ilmiah. Dalam skala, "alam" termasuk segala sesuatu dari semesta pada subatom. Ini termasuk seluruh hal binatang, tanaman, dan mineral; seluruh sumber daya alam dan peristiwa (tornado, gempa bumi). Juga termasuk perilaku binatang hidup, dan proses yang dihubungkan dengan benda mati.
Filsafat alam (dari bahasa Latin philosophia naturalis) adalah istilah yang melekat pada pengkajian alam dan semesta fisika yang pernah dominan sebelum berkembangnya ilmu pengetahuan modern. Filsafat alam dipandang sebagai pendahulu ilmu alam semisal fisika.
Bentuk-bentuk ilmu pengetahuan per sejarahnya berkembang di luar filsafat, atau lebih khususnya filsafat alam. Di universitas-universitas yang lebih tua, Kursi-Kursi Filsafat Alam yang sudah mapan kini sebagian besar dikuasai oleh para guru besar fisika. Catatan modern ilmu pengetahuan dan ilmuwan merujuk pada abad ke-19 (Webster's Ninth New Collegiate Dictionary menuliskan bahwa asal mula kata "ilmuwan" adalah dari tahun 1834). Sebelumnya, kata "ilmu pengetahuan" sekadar berarti pengetahuan dan gelar ilmuwan belumlah wujud. Karya ilmiah Isaac Newton dari tahun 1687 dikenal sebagai Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica.

D.      Filsafat Alam Menurut Thales
Riwayat Hidup
Tentunya dalam persoalan sejarah tentang kebenaran sesuatu bukanlah hal yang mudah. Terutama tak ditemukan data yang dapat dijadikan sebuah rujukan. Hal ini juga yang telah menimpa dalam kehidupan Thales, belum ada yang mengukapkan secara jelas yang menyebutkan kapan ia lahir. Yang ada hanya perkiraan, bahwa ia hidup pada tahun 625-545 sebelum Masehi .
Sesosok yang dilahirkan dari Grik. Ia merupakan saudagar yang banyak berlayar ke negeri Mesir. Tak hanya itu ia juga ahli politik. Dan juga mempunyai kesempatan untuk bejar matematika, dan astronomi. Dari kepandaian itu ia menggunkan sebagai ahli nujum. Dan pada suatu waktu ia gunakan nujum untuk menuinjukan kapan terjadi gerhana matahari, dan nujum terbukti yang terjadi pada tahun 585 SM .

Pemikiran Filsafat Thales
Setelah sekilas berbicara tentang kehidupan Thales. Dan disini penulis hendak mencoba memaparkan pemikiran. Dalam pemikiran ia banyak memikirkan masalah Alam. Dari asal usul alam dan mencoba merasionalkan dari adat sebelumnya yang telah lama ada dalam lingkungannya yang masih mempercayai tahayul.
Karena itu lah ia juga disebut bapak Filsafat. Dalam berbicara alam. Ia mempercanyai bahwa alam semesta ini dapat dimengerti oleh akal. Oleh karena itu ia menggunakan akalnya untuk mengamati alam dan mengatakan bahwa semua adalah air. Air merupakan merupakan adalah pangkal, pokok dan dasar (prinsip) segala-galanya. Semua terjadi dari air dan semua kembali kepada air pula.
Bagi Thales, air adalah sebab pertama dari segala yang ada dan yang jadi. Tetapi, juga akhir dari segala yang ada dan jadi itu. Di awal air di ujung air. Air itu satu air merupakan subtansi. Dan kerena air jika dipanaskan akan menjadi uap. Uap air kalau mendingin akan menjadi air kembali.
Tentunya dalam hal ini bukan hanya merupakan asal berbicara. Namun, ada beberapa hal yang menjadikan air tersebut menjadikan kesimpulan dari pemikirannya. Dengan akal dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Dan dari semua itu dijadikan untuk menyusun bangunan pemikiran tentang alam.
Dalam kehidupannya yang terletak di daerah pesisir yang selalu terjebak dengan air yang merupakan sumber hidup. Sebagaimana ia lihat dalam kehidupan yang mengambil dari sungai Nil.
Dalam kepercayaan Thales merupakan seorang yang anisme. Anisme merupakan kepercayaan bahwa bukan saja yang hidup yang mempunyai jiwa, tetapi juga benda mati.

E.       Jembatan antara Ilmu Pengetahuan Alam dengan Filsafat
Frank (dalam Soeparmo, 1984), dengan mengambil sebuah rantai sebagai perbandingan, menjelaskan bahwa fungsi filsafat ilmu pengetahuan alam adalah mengembangkan pengertian tentang strategi dan taktik ilmu pengetahuan alam. Rantai tersebut sebelum tahun 1600, menghubungkan filsafat disatu pangkal dan ilmu pengetahuan alam di ujung lain secara berkesinambungan. Sesudah tahun 1600, rantai itu putus. Ilmu pengetahuan alam memisahkan diri dari filsafat. Ilmu pengetahuan alam menempuh jalan praktis dalam menurunkan hukum-hukumnya. Menurut Frank, fungsi filsafat ilmu pengetahuan alam adalah menjembatani putusnya rantai tersebut dan menunjukkan bagaimana seseorang beranjak dari pandangan common sense (pra-pengetahuan) ke prinsip-prinsip umum ilmu pengetahuan alam.
Filsafat ilmu pengetahuan alam bertanggung jawab untuk membentuk kesatuan pandangan dunia yang di dalamnya ilmu pengetahuan alam, filsafat dan kemanusian mempunyai hubungan erat. Sastrapratedja (1997), mengemukakan bahwa ilmu-ilmu alam secara fundamental dan struktural diarahkan pada produksi pengetahuan teknis dan yang dapat digunakan. Ilmu pengetahuan alam merupakan bentuk refleksif (relefxion form) dari proses belajar yang ada dalam struktur tindakan instrumentasi, yaitu tindakan yang ditujukan untuk mengendalikan kondisi eksternal manusia. Ilmu pengetahuan alam terkait dengan kepentingan dalam meramal (memprediksi) dan mengendalikan proses alam.

F.    Ilmu Pengetahuan sebagai penjabaran pemikiran positifisme
Positivisme menyamakan rasionalitas dengan rasionalitas teknis dan ilmu pengetahuan dengan ilmu pengetahuan alam. Menurut Van Melsen (1985), ciri khas pertama yang menandai ilmu alam ialah bahwa ilmu itu melukiskan kenyataan menurut aspek-aspek yang mengizinkan registrasi inderawi yang langsung. Yang diregistrasi dalam eksperimen adalah cara benda-benda bereaksi atas “campur tangan” eksperimental kita. Eksperimentasi yang aktif itu memungkinkan suatu analisis jauh lebih teliti terhadap banyak faktor yang dalam pengamatan konkrit selalu terdapat bersama-sama. Tanpa pengamatan eksperimental kita tidak akan tahu menahu tentang elektron-elektron dan bagian-bagian elementer lainnya. Ilmu pengetahuan alam mulai berdiri sendiri sejak abad ke 17. Kemudian pada tahun 1853, Auguste Comte mengadakan penggolongan ilmu pengetahuan. Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996).
Dalam penggolongan ilmu pengetahuan tersebut, dimulai dari Matematika, Astronomi, Fisika, Ilmu Kimia, Biologi dan Sosilogi. Ilmu Kimia diurutkan dalam urutan keempat. Penggolongan tersebut didasarkan pada urutan tata jenjang, asas ketergantungan dan ukuran kesederhanaan. Dalam urutan itu, setiap ilmu yang terdahulu adalah lebih tua sejarahnya, secara logis lebih sederhana dan lebih luas penerapannya daripada setiap ilmu yang dibelakangnya (The Liang Gie, 1999). Pada pengelompokkan tersebut, meskipun tidak dijelaskan induk dari setiap ilmu tetapi dalam kenyataannya sekarang bahwa fisika, kimia dan biologi adalah bagian dari kelompok ilmu pengetahuan alam.Ilmu kimia adalah suatu ilmu yang mempelajari perubahan materi serta energi yang menyertai perubahan materi.
Menurut ensiklopedi ilmu (dalam The Liang Gie, 1999), ilmu kimia dapat digolongkan ke dalam beberapa sub-sub ilmu yakni: kimia an organik, kimia organik, kimia analitis, kimia fisik serta kimia nuklir.Selanjutnya Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996) memberi efinisi tentang ilmu kimia sebagai “… that it relates to the law of the phenomena of composition and decomposition, which result from the molecular and specific mutual action of different subtances, natural or artificial” ( arti harafiahnya kira-kira adalah ilmu yang berhubungan dengan hukum gejala komposisi dan dekomposisi dari zat-zat yang terjadi secara alami maupun sintetik). Untuk itu pendekatan yang dipergunakan dalam ilmu kimia tidak saja melalui pengamatan (observasi) dan percobaan (eksperimen), melainkan juga dengan perbandingan (komparasi). Jika melihat dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan alam, pada mulanya orang tetap mempertahankan penggunaan nama/istilah filsafat alam bagi ilmu pengetahuan alam. Hal ini dapat dilihat dari judul karya utama dari pelopor ahli kimia yaitu John Dalton: New Princiles of Chemical Philosophy. Berdasarkan hal tersebut maka sangatlah beralasan bahwa ilmu pengetahuan alam tidak terlepas dari hubungan dengan ilmu induknya yaitu filsafat. Untuk itu diharapkan uraian ini dapat memberikan dasar bagi para ilmuan IPA dalam merenungkan kembali sejarah perkembangan ilmu alam dan dalam pengembangan ilmu IPA selanjutnya.

BAB IV
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.      Masalah filsafat bukanlah sesuatu yang problematic (tidak terlalu dipermasalahkan) sebab setiap perbuatan atau tindakan kita merupakan pencerminan dari filsafat hidup kita masing-masing
2.      Berfilsafat adalah berpikir, tetapi tidak semua tindakan berpikir merupakan berfilsafat. Berpikir yang filosofis adalah berpikir yang memiliki sifat-sifat :
Ø  Berfilsafat adalah berpikir dengan menggunakan disiplin berpikir yang tinggi.
Ø  Berfilsafat adalah berpikir secara sistematis.
Ø  Berfilsafat adalah menyusun suatu skema konsepsi
Ø  Filsafat itu memiliki daya cukup yang menyeluruh
3.      Filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk    memperolehnya. Filsafat ilmu merupakan suatu bentuk pemikiran secara mendalam yang bersifat lanjutan atau secondary reflexion. Refleksi sekunder seperti itu merupakan syarat mutlak untuk menentang bahaya yang menjurus kepada keadaan cerai berai serta pertumbuhan yang tidak seimbang dari ilmu-ilmu yang ada. Tetapi juga Filsafat ilmu pengetahuan membahas sebab musabab pengetahuan dan menggali tentang kebenaran, kepastian, dan tahap-tahapnya, objektivitas, abstraksi, intuisi, dan juga pertanyaan mengenai “dari mana asalnya dan kemana arah pengetahuan itu?”
4.      Antara definisi filsafat dan ilmu pengetahuan memang hampir mirip namun kalau kita menyimak bahwa di dalam definisi ilmu pengetahuan lebih menyoroti kenyataan tertentu yang menjadi kompetensi bidang ilmu pengetahuan masing-masing, sedangkan filsafat lebih merefleksikan kenyataan secara umum yang belum dibicarakan di dalam ilmu pengetahuan
5.      Positivisme menyamakan rasionalitas dengan rasionalitas teknis dan ilmu pengetahuan dengan ilmu pengetahuan alam. Dan kaitannya dengan Ilmu pengetahuan alam adalah ilmu itu melukiskan kenyataan menurut aspek-aspek yang mengizinkan registrasi inderawi yang langsung.
6.      Berdasarkan hal tersebut maka sangatlah beralasan bahwa ilmu pengetahuan alam tidak terlepas dari  hubungan dengan ilmu induknya yaitu filsafat
DAFTAR PUSTAKA

-          Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994, hlm 4
-          Bahm,Archie, J., 1980., “What Is Science”, Reprinted from my Axiology; The Science Of Values;44-49, World Books, Albuquerqe, New Mexico, p.1,11.
-          Bertens, K., 1987., “Panorama Filsafat Modern”,Gramedia Jakarta, p.14, 16, 20-21, 26.
-          Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,  Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,  hlm. 234
-          Kneller, George F. 1971. Introduction to the Philosophy of Education. John Willey Sons Inc, New York.
-          Koento Wibisono S. dkk., 1997., “FilsafatIlmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan”, Intan Pariwara,Klaten, p.6-7, 9, 16, 35, 79.
-          Koento Wibisonn S., 1984., “Filsafat Ilmu Pengetahuan DanAktualitasnya Dalam Upaya Pencapaian Perdamaian Dunia Yang Kita Cita-Citakan”,Fakultas Pasca Sarjana UGM Yogyakarta p.3, 14-16.
-          Nuchelmans,G., 1982., “Berfikir Secara Kefilsafatan: Bab X, Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam,Dialihbahasakan Oleh Soejono Soemargono”, Fakultas Filsafat – PPPT UGMYogyakarta p.6-7.
-          Prasetya, Filsafat Pendidikan, Bandung : Pustaka Setia, 1997, hlm.33
-          Sadulloh, U. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. CV Alfabeta, Bandung.
-          Sastrapratedja,M., 1997., “Beberapa Aspek Perkembangan Ilmu Pengetahuan”, Makalah, Disampaikan Pada Internship Filsafat Ilmu Pengetahuan,UGM Yogyakarta 2-8 Januari 1997, p.2-3.
-          Sindhunata. 2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Kanisius, Yogyakarta
-          Soedijarto. 1993. Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu. Balai Pustaka, Jakarta.
-          Soeparmo,A.H., 1984., “Struktur Keilmuwan Dan Teori Ilmu Pengetahuan Alam”, PenerbitAirlangga University Press, Surabaya, p.2, 11.
-          TheLiang Gie., 1999., Pengantar Filsafat Ilmu”, Cet. Ke-4, Penerbit LibertyYogyakarta, p.29, 31, 37, 61, 68, 85, 93, 159, 161.
-          Zamroni. 2000, Paradigma Pendidikan Masa Depan, PT Bayu Indra Grafika, Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Landasan Religius Pendidikan

PARADIGMA PENDIDIKAN

Teknik-teknik supervisi pendidikan