Makalah Filsafat Alam
B A B I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
1.
Pengertian Filsafat
Secara epistimologi, filsafat berasal dari
bahasa Yunani Philosophia, dan terdiri
dari kata Philos yang berarti kesukaan atau kecintaan terhadap
sesuatu, dan kata Sophia yang berarti kebijaksanaan.
Secara harafiah, filsafat diartikan sebagai suatu kecintaan terhadap
kebijaksanaan (kecenderungan untuk menyenangi kebijaksanaan). Hamersma
(1981: 10) mengatakan bahwa filsafat merupakan pengetahuan metodis, sistematis,
dan koheren tentang seluruh kenyataan Jadi, dari definisi ini nampak bahwa
kajian filsafat itu sendiri adalah realitas hidup manusia yang dijelaskan
secara ilmiah guna memperoleh
pemaknaan menuju “hakikat kebenaran”
2.
Ciri-Ciri Berpikir Dalam Filsafat
Dalam memahami suatu permasalahan, ada
perbedaan tentang karakteristik dalam berfikir antara filsafat
dengan ilmu-ilmu lain. Mudhofir dalam Muntasyir & Munir (2002:4-5) mengatakan
bahwa ciri-ciri berfikir kefilsafatan sebagai berikut :
Ø Radikal, artinya berpikir sampai ke
akar-akarnya, hingga sampai pada hakikat atau substansi yang dipikirkan.
Ø Universal, artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum
manusia. Kekhususan berpikir kefilsafatan menurut Jespers terletak pada aspek
keumumannya.
Ø Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia.
Misalnya: apakah
Kebebasan itu ?
Ø Koheren atau konsisten
(runtut). Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah
berpikir logis. Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
Ø Sistematik, artinya pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling
berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan
tertentu.
Ø Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Berpikir secara kefilsafatan merupakan
usaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
Ø
Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas,
pemikiran filsafati boleh dikatakan merupakan hasil pemikiran
yang bebas, yakni bebas dari prasangka - prasangka sosial,
historis, kultural, bahkan religius.
Ø
Bertanggungjawab, artinya seseorang yang
berfilsafat adalah orang - orang yang berpikir sekaligus
bertanggungjawab terhadap hasil pemikirannya, paling
tidak terhadap
hati nuraninya sendiri.
3. Bidang dalam Filsafat
Secara umum, bidang-bidang utama filsafat terbagi menjadi 3 bagian, yaitu :
Secara umum, bidang-bidang utama filsafat terbagi menjadi 3 bagian, yaitu :
1)
Metafisika
Metafisika berasal dari bahasa Yunani, yaitu
meta ta physika yang berarti segala sesuatu yang berada di balik hal-hal yang
sifatnya fisik. Metafisika sendiri dapat diartikan sebagai cabang filsafat yang
paling utama, yang membicarakan mengenai keberadaan (being) dan eksistensi
(existence). Oleh karena itu, metafisika lebih mempelajari sesuatu atau
pemikiran tentang sifat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau
keberadaan. Menurut Wolff, metafisika dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kategori, yaitu:
-
Metafisika Umum (Ontologi), yaitu metafisika yang membicarakan tentang “Ada” (Being).
-
Metafisika Khusus, yaitu metafisika yang membicarakan sesuatu yang sifatnya khusus.
Dalam metafisika khusus ini, Wolff membagi ke
dalam 3 (tiga) kategori : Psikologi, yang membahas mengenai hakekat manusia Kosmologi, yang
membahas mengenai alam semesta Theologi, yang membahas mengenai Tuhan
2)
Epistimologi
Epistimologi berasal dari kata Episteme yang
berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti teori. Oleh karena itu,
epistimologi berarti teori pengetahuan. Permasalahan-permasalahan yang menjadi
fokus pembicaraan epistimologi adalah asal-usul pengetahuan, peran pengalaman
dan akal dalam pengetahuan, hubungan antara pengetahuan dan kebenaran, dan
sebagainya. Dalam epistimologi, pengetahuan merupakan suatu aktivitas yang
dilakukan untuk mendapatkan kebenaran.
3)
Aksiologi
Aksiologi berasal dari kata axios yang berarti
nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos yang berarti akal atau teori. Oleh
karena itu, aksiologi dapat diartikan sebagai teori mengenai sesuatu yang
bernilai. Dalam cabang ini, salah satu yang paling mendapatkan perhatian adalah
masalah etika/kesusilaan. Dalam etika, obyek materialnya adalah perilaku manusia
yang dilakukan secara sadar. Sedangkan obyek formalnya adalah pengertian
mengenai baik atau buruk, bermoral atau tidak bermoral dari suatu perilaku
manusia.
untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu
dengan lainnya maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah: Apa yang dikaji oleh
pengetahuan itu (ontologi)? Bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut
(epistemologi)? Serta untuk apa pengetahuan termaksud dipergunakan (aksiologi)?
Dengan mengetahui jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah kita
dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah
kehidupan manusia. Hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan
yang ada seperti ilmu, serta meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing
yang saling memperkaya kehidupan kita
4.
Definisi filsafat Ilmu
Menurut Beerling (1985; 1-2) filsafat ilmu
adalah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk
memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu sesungguhnya merupakan suatu
penyelidikan lanjutan. Dia merupakan suatu bentuk pemikiran secara mendalam
yang bersifat lanjutan atau secondary reflexion. Refleksi sekunder seperti itu
merupakan syarat mutlak untuk menentang bahaya yang menjurus kepada keadaan
cerai berai serta pertumbuhan yang tidak seimbang dari ilmu-ilmu yang ada.
Refelksi sekunder banyak memberi sumbangan dalam usaha memberi tekanan
perhatian pada metodikaserta sistem dan untuk berusaha memperoleh pemahaman
mengenai azas-azas, latar belakang serta hubungan-hubungan yang dipunyai kegiatan
ilmiah.
Filsafat ilmu adalah refleksi yang mengakar
terhadap prinsip-prinsip ilmu. Prinsip ilmu adalah sebab fundamental dan
kebenaran universal yang lengket didalam ilmu yang pada akhirnya memberi
jawaban terhadap keberadaan ilmu. Dengan mengetahui seluk-beluk prinsip ilmu
itu maka dapat diungkapkan perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan
perkembangannya, keterjalinan antar ilmu, ciri penanganan secara ilmiah,
simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan sebagainya yang vital bagi penggarapan
ilmu itu sendiri (Suriasumantri, 1986; 301-302). Filsafat ilmu pengetahuan
membahas sebab musabab pengetahuan dan menggali tentang kebenaran, kepastian,
dan tahap-tahapnya, objektivitas, abstraksi, intuisi, dan juga pertanyaan
mengenai “dari mana asalnya dan kemana arah pengetahuan itu?” (Verhaak &
Haryono, 1989; 12-13).
5.
Obyek Materi Filsafat
Obyek materi filsafat
terdiri dari 3 persoalan Pokok :
1.
Masalah
Tuhan, yang sama sekali diluar atau diatas jangkauan ilmu pengetahu`n biasa.
2.
Masalah
Alam yang belum atau tida dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa
3.
Masalah
manusia yang juga belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa.
Disamping objek yang
telah disebutkan , sebenarnya masih ada lagi yang merupakan kesatuan dari
kesemuanya itu yang berupa hakikat, baik hakikat manusia, alam dan Tuhan (istilah pengetahuan disebut Causa Prima).
Dalam pemahasan makalah
ini penulis ingin membahas tentang mengkaji, menelti dan mempelajari alam.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa Hubungan Filsafat
dengan Ilmu Pengetahuan?
2. Apa Dasar-Dasar Ilmu
Pengetahuan?
3. Apa yang dimaksud Filsafat Alam ?
4. Bagaimana Filsafat Alam
Menurut Thales ?
5.
Bagaimana Jembatan antara Ilmu
Pengetahuan Alam dengan Filsafat?
6. Bagaimana Ilmu Pengetahuan
sebagai penjabaran pemikiran positifisme?
C. TUJUAN
PEMBAHASAN
1. Untuk mengetahui Hubungan
Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan.
2. Untuk mengetahui
Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan.
3. Untuk mengetahui Filsafat Alam.
4. Untuk mengetahui Filsafat
Alam Menurut Thales.
5.
Untuk
mengetahui Jembatan antara Ilmu Pengetahuan Alam dengan Filsafat.
6.
Untuk
mengetahui Ilmu Pengetahuan sebagai penjabaran pemikiran
positifisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan metodis,
sistematis, dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari
kenyataan. Antara definisi filsafat dan ilmu pengetahuan memang hampir mirip
namun kalau kita menyimak bahwa di dalam definisi ilmu pengetahuan lebih
menyoroti kenyataan tertentu yang menjadi kompetensi bidang ilmu pengetahuan
masing-masing, sedangkan filsafat lebih merefleksikan kenyataan secara umum
yang belum dibicarakan di dalam ilmu pengetahuan (Muntasyir&Munir,2000:
10). Walaupun demikian, ilmu pengetahuan tetap berasal dari filsafat sebagai
induk dari semua ilmu pengetahuan yang berdasarkan kekaguman atau keheranan
yang mendorong rasa ingin tahu untuk menyelidikinya, kesangsian, dan kesadaran
akan keterbatasan. Wibisono (1997: x) pada Artikel kunci “Gagasan Strategik
Tentang Kultur Keilmuan Pada Pendidikan Tinggi”, yang mengambil pendapat H.J.
Pos, beliau menandaskan bahwa abad ke-19 dan 20, dan bahkan sampai sekarang,
diidentifikasi sebagai suatu abad yang ditandai oleh dominasinya peran ilmu
pengetahuan dalam kehidupan umat manusia.
Dominasi ilmu pengetahuan dalam kehidupan
manusia memang tidak dapat dipungkiri. Betapa tidak, dominasi ini paling kurang
membawa pengaruh dan manfaat bagi manusia, atau justru berpengaruh negatif dan
membawa malapetaka. Seperti yang diungkapkan oleh Ridwan Ahmad Syukri (1997:
18-19), ilmu yang berorientasi pada kepentingan pragmatis, orientasi duniawi,
atau mengesampingkan yang transenden, akan membawa malapetaka bagi kemanusiaan
pada umumnya. Ilmu dinilai bukan karena dirinya sendiri, tetapi nilai ilmu
pengetahuan berada dalam kesanggupannya membuat kehidupan lebih bernilai dan
memberikan kebahagiaan, demi kebutuhan untuk mempertahankan dan mengembangkan
kehidupan manusia, maka bentuk ilmu itu memberikan kemanfaatan.
Selanjutnya, dalam bukunya yang berjudul
Epistemologi Dasar, J. Sudarminta mengatakan bahwa ciri-ciri hakiki pengetahuan
manusia yaitu:
kepastian mutlak tentang kebenaran segala pengetahuan kita memang tidak mungkin, sebab manusia adalah makhluk contingent dan fallible. Tetapi ini tidak berarti bahwa semua pengetahuan manusia pantas dan perlu dipergunakan kebenarannya. Maka, skeptisisme mutlak pantas ditolak.
kepastian mutlak tentang kebenaran segala pengetahuan kita memang tidak mungkin, sebab manusia adalah makhluk contingent dan fallible. Tetapi ini tidak berarti bahwa semua pengetahuan manusia pantas dan perlu dipergunakan kebenarannya. Maka, skeptisisme mutlak pantas ditolak.
Subjek
berperan aktif dalam kegiatan mengetahui dan tidak hanya bersifat pasif
menerima serta melaporkan objek apa adanya. Tetapi ini tidak berarti bahwa
pengetahuan manusia melulu bersifat subjektif. Maka, subjektivisme radikal juga
pantas disangkal.
pengetahuan manusia memang bersifat relasional dan kontekstual, tetapi itu tidak berarti bahwa objektivitas dan universalitas pengetahuan menjadi tidak mungkin. Menurut Sudarminta (2002: 60) pelbagai bentuk relativisme ilmu pengetahuan, walaupun punya sumbangan yang berharga, merupakan suatu pandangan tentang pengetahuan yang tidak bisa diterima.
pengetahuan manusia memang bersifat relasional dan kontekstual, tetapi itu tidak berarti bahwa objektivitas dan universalitas pengetahuan menjadi tidak mungkin. Menurut Sudarminta (2002: 60) pelbagai bentuk relativisme ilmu pengetahuan, walaupun punya sumbangan yang berharga, merupakan suatu pandangan tentang pengetahuan yang tidak bisa diterima.
B.
Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan
Aristoteles mengawali metafisikanya dengan
pernyataan “setiap manusia dari kodratnya ingin tahu”. Tetapi jauh sebelum
Aristoteles, Socrates mengatakan hal yang nampaknnya bertentangan dengan
ungkapan Aristoteles tersebut, yaitu bahwa tidak ada seorang manusia pun yang
mempunyai pengetahuan (Hadi, 1994: 13). Kontradiktif ini tidak perlu
diperdebatkan. Sebab menurut Plato bahwa filsafat dimulai dengan rasa kagum.
Kekaguman filosofis ini bukanlah kekaguman akan hal-hal yang rumit, canggih
atau kompleks, tetapi justru kekaguman akan sesuatu yang sederhana yang
tampaknya jelas dalam pengalaman sehari-hari. Hadi (1994: 14-15) menyatakan
kekaguman dalam hal ini adalah mempertanyakan hal-hal yang ada dihadakan kita,
yang dalam anggapan umum dianggap telah diketahui. Oleh karena itu seseorang
harus tahu apa yang dicarinya dan berusaha untuk menemukan apa yang dicari
tersebut, demikian menurut Plato.
Pengetahuan filosofis ingin menarik diri dari apa yang dianggap sebagai kejelasan umum untuk kembali ke dalam sesuatu yang eksistensial dalam keadaan aslinya. Karenanya, seorang filsuf tidak ada henti-hentinya bertanya. Pernyataan Socrates dan Aristoteles terkesan bertentangan, padahal sebenarnya tidak. Menurut Aristoteles, semua orang dari kodratnya ingin tahu, dan langkah pertama untuk mencapai pengetahuan itu adalah kesadaran socrates bahwa tidak ada seorang pun yang sudah tahu. Untuk mencapai pengetahuan, Bernard Paduska&R. Turman Sirait ( 1997: 5), seseorang harus sadar bahwa ia “belum tahu” dan karena itu ia “ingin tahu”. Dalam redaksi berbeda, namun dapat disetir menjadi satu makna, bahwa menurut filsafat eksistensialisme anda adalah anda karena anda menghendaki demikian.
Pengetahuan filosofis ingin menarik diri dari apa yang dianggap sebagai kejelasan umum untuk kembali ke dalam sesuatu yang eksistensial dalam keadaan aslinya. Karenanya, seorang filsuf tidak ada henti-hentinya bertanya. Pernyataan Socrates dan Aristoteles terkesan bertentangan, padahal sebenarnya tidak. Menurut Aristoteles, semua orang dari kodratnya ingin tahu, dan langkah pertama untuk mencapai pengetahuan itu adalah kesadaran socrates bahwa tidak ada seorang pun yang sudah tahu. Untuk mencapai pengetahuan, Bernard Paduska&R. Turman Sirait ( 1997: 5), seseorang harus sadar bahwa ia “belum tahu” dan karena itu ia “ingin tahu”. Dalam redaksi berbeda, namun dapat disetir menjadi satu makna, bahwa menurut filsafat eksistensialisme anda adalah anda karena anda menghendaki demikian.
Dengan uraian di atas, kita dapat melihat
adanya dua macam bentuk pengetahuan, yaitu pengetahuan harian atau penggetahuan
biasa (common sense) dan pengetahuan ilmiah. Dalam filsafat, pengetahuan biasa sering dianggap
sebagai pengetahuan inderawi, sedangkan pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan
berdasarkan akal budi (intelektif). Korelasi pengetahuan indrawi dan
pengetahuan intelektif membentuk dasar dalam perkembangan ilmu pengetahuan
secara global. Sejarahnya telah terukir, betapa dua konsep dasar ini menjadi
cikal-bakal yang meletakkan dasar konsep ilmiah. Keilmuan yang ilmiah dapat
lahir dari pengamatan yang mendalam tentang semua objek, tetapi juga dasar
ilmiah dapat dibangun dari perenungan yang jernih dan mendalam, terukur dan
dapat dianalisa, sistematis serta dapat dipelajari, itulah sebagian konsep
ilmiah. Socrates adalah tokoh yang sangat diperhitungkan, meskipun ia tidak
secara langsung bicara tentang kebenaran ilmiah.
Menurut Wibisono dalam makalahnya mengatakan,
Sejalan dengan perkembangan filsafat, ilmu pengetahuan pun berkembang dengan
pesatnya. Dalam perjalanan selanjutnya, terdapat fenomena adanya suatu
konfigurasi yang menunjukkan tentang bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” itu
telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri
dari batang-filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti
metodologinya sendiri-sendiri.
Berkaitan dengan ilmu-ilmu, pengetahuan yang
dicari dan diperoleh sering disebut dengan istilah pengetahuan ilmiah. Menurut
Bahm ( 1980: 1) ada lima unsur pokok dalam suatu pengetahuan yang disebut
ilmiah yaitu masalah, sikap, metode, aktivitas, kesimpulan dan pengaruh
tertentu.
Aristoteles menguraikan sistem berpikir ilmiah
yang dikenal dengan logika. Menurut Aristoteles terdapat sepuluh kategori yang
berkaitan dengan pengertian, yaitu substanti, kuantitas, kualitas,
relasi, tempat, waktu, keadaan, mempunyai, berbuat, dan menderita.
Pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan yang
sudah dipertanggung-jawabkan secara ilmiah atau diperoleh dengan metode ilmiah.
Sebaliknya, pengetahuan sehari-hari yang tidak atau belum dipertanggungjawabkan
secara ilmiah disebut pengetahuan pra-ilmiah (Lorens, 1996: 806). Salah satu ciri
pengetahuan ilmiah adalah adanya anggapan bahwa pengetahuan ilmiah itu berlaku
ilmiah. Mengeni apakah sesuatu dapat atau tidak disebut ilmiah tidak tergantung
pada faktor-faktor subjektif. Bisa saja orang berbeda pendapat tentang dasar
pembenaran suatu teori, tetapi hal tersebut hanya menunjukkan bahwa
faktor-faktor objektif yang bersangkut paut dengan persoalan tadi tidak atau
masih dapat membuahkan hasil yang tidak bermakna ganda (ambiguitas). Adanya
saling pengaruh antara sifat dan kadar pengetahuan ilmiah dengan sarana-sarana
untuk mencapainya mengakibatkan pergeseran-pergeseran, pengertian “ilmiah”
sepanjang sejarah. Namun demikian perkembangan ilmu secara mandiri harus dapat
dipertahankan. Menurut Beerling,dkk (1996: 6-7) secara spesifik ada tiga macam
pengenalan dari pengetahuan yang disebut ilmiah. (1) pengetahuan ilmiah adalah
pengetahuan yang mempunyai dasar pembenaran. Setiap pengetahuan ilmiah harus
punya dasar pembenaran berdasarkan pemahaman-pemahaman yang dapat dibenarkan
secara apriori serta secara empiris melalui penyelidikan ilmiah yang memadai.
(2) pengetahuan ilmiah bersifat sistematis. Penyelidikan ilmiah tidak membatasi
diri hanya pada satu bahan saja, tapi senantiasa mencari hubungan dengan
sejumlah bahan lainnya dan berusaha agar hubungan-hubungan itu merupakan suatu
kebulatan. (3) pengetahuan ilmiah itu adalah bersifat inter-subjektif.
Kepastian pengetahuan ilmiah tidak didasarkan atas intuisi-intuisi serta
pemahaman orang perorangan yang subjektif, melainkan dijamin oleh sistemnya sendiri.
Pengetahuan ilmiah haruslah sedemikian rupa sehingga dalam setiap bagiannya dan
dalam bagian yang menyeluruh dapat ditanggapi oleh subjek-subjek lain. Terhadap
hasil penyelidikan dimungklinkan ada kesepakatan yang bersifat inter-subjektif.
Di samping apa yang sudah diuraikan di atas, menurut Sudarminta (2002: 32-44) perlu ditambahkan juga bahwa dasar-dasar pengetahuan itu tidak lepas dari peran pengalaman, ingatan, kesaksian, minat dan rasa ingin tahu, pikiran dan penalaran, logika, bahasa, dan kebutuhan hidup manusia.
Di samping apa yang sudah diuraikan di atas, menurut Sudarminta (2002: 32-44) perlu ditambahkan juga bahwa dasar-dasar pengetahuan itu tidak lepas dari peran pengalaman, ingatan, kesaksian, minat dan rasa ingin tahu, pikiran dan penalaran, logika, bahasa, dan kebutuhan hidup manusia.
C. Filsafat Alam
Alam ialah
seluruh zat dan
energi, khususnya dalam
bentuk esensinya. Alam ialah mata pelajaran studi ilmiah. Dalam skala,
"alam" termasuk segala sesuatu dari semesta pada subatom. Ini termasuk
seluruh hal binatang, tanaman, dan mineral; seluruh sumber daya alam dan peristiwa
(tornado, gempa bumi). Juga termasuk
perilaku binatang hidup, dan proses
yang dihubungkan dengan benda
mati.
Filsafat alam
(dari bahasa Latin
philosophia naturalis) adalah istilah
yang melekat pada pengkajian alam
dan semesta fisika yang pernah
dominan sebelum berkembangnya ilmu pengetahuan modern. Filsafat alam dipandang
sebagai pendahulu ilmu alam
semisal fisika.
Bentuk-bentuk ilmu pengetahuan per
sejarahnya berkembang di luar filsafat,
atau lebih khususnya filsafat alam. Di universitas-universitas
yang lebih tua, Kursi-Kursi Filsafat Alam yang sudah mapan kini sebagian besar
dikuasai oleh para guru besar
fisika. Catatan modern ilmu pengetahuan
dan ilmuwan merujuk pada abad ke-19
(Webster's Ninth New Collegiate Dictionary menuliskan bahwa asal mula kata
"ilmuwan" adalah dari tahun 1834). Sebelumnya, kata "ilmu
pengetahuan" sekadar berarti pengetahuan dan gelar ilmuwan belumlah wujud. Karya ilmiah Isaac Newton dari tahun 1687 dikenal sebagai Philosophiæ
Naturalis Principia Mathematica.
D.
Filsafat Alam Menurut Thales
Riwayat
Hidup
Tentunya dalam persoalan sejarah tentang
kebenaran sesuatu bukanlah hal yang mudah. Terutama tak ditemukan data yang
dapat dijadikan sebuah rujukan. Hal ini juga yang telah menimpa dalam kehidupan
Thales, belum ada yang mengukapkan secara jelas yang menyebutkan kapan ia
lahir. Yang ada hanya perkiraan, bahwa ia hidup pada tahun 625-545 sebelum
Masehi .
Sesosok yang dilahirkan dari Grik. Ia merupakan
saudagar yang banyak berlayar ke negeri Mesir. Tak hanya itu ia juga ahli
politik. Dan juga mempunyai kesempatan untuk bejar matematika, dan astronomi.
Dari kepandaian itu ia menggunkan sebagai ahli nujum. Dan pada suatu waktu ia
gunakan nujum untuk menuinjukan kapan terjadi gerhana matahari, dan nujum
terbukti yang terjadi pada tahun 585 SM .
Pemikiran Filsafat Thales
Setelah sekilas berbicara tentang kehidupan
Thales. Dan disini penulis hendak mencoba memaparkan pemikiran. Dalam pemikiran
ia banyak memikirkan masalah Alam. Dari asal usul alam dan mencoba
merasionalkan dari adat sebelumnya yang telah lama ada dalam lingkungannya yang
masih mempercayai tahayul.
Karena itu lah ia juga disebut bapak Filsafat.
Dalam berbicara alam. Ia mempercanyai bahwa alam semesta ini dapat dimengerti
oleh akal. Oleh karena itu ia menggunakan akalnya untuk mengamati alam dan
mengatakan bahwa semua adalah air. Air merupakan merupakan adalah pangkal,
pokok dan dasar (prinsip) segala-galanya. Semua terjadi dari air dan semua
kembali kepada air pula.
Bagi Thales, air adalah sebab pertama dari
segala yang ada dan yang jadi. Tetapi, juga akhir dari segala yang ada dan jadi
itu. Di awal air di ujung air. Air itu satu air merupakan subtansi. Dan kerena
air jika dipanaskan akan menjadi uap. Uap air kalau mendingin akan menjadi air
kembali.
Tentunya dalam hal ini bukan hanya merupakan
asal berbicara. Namun, ada beberapa hal yang menjadikan air tersebut menjadikan
kesimpulan dari pemikirannya. Dengan akal dan pengalaman dalam kehidupan
sehari-hari. Dan dari semua itu dijadikan untuk menyusun bangunan pemikiran
tentang alam.
Dalam kehidupannya yang terletak di daerah
pesisir yang selalu terjebak dengan air yang merupakan sumber hidup.
Sebagaimana ia lihat dalam kehidupan yang mengambil dari sungai Nil.
Dalam kepercayaan Thales merupakan seorang yang
anisme. Anisme merupakan kepercayaan bahwa bukan saja yang hidup yang mempunyai
jiwa, tetapi juga benda mati.
E. Jembatan antara Ilmu
Pengetahuan Alam dengan Filsafat
Frank (dalam Soeparmo, 1984), dengan mengambil
sebuah rantai sebagai perbandingan, menjelaskan bahwa fungsi filsafat ilmu
pengetahuan alam adalah mengembangkan pengertian tentang strategi dan taktik
ilmu pengetahuan alam. Rantai tersebut sebelum tahun 1600, menghubungkan
filsafat disatu pangkal dan ilmu pengetahuan alam di ujung lain secara
berkesinambungan. Sesudah tahun 1600, rantai itu putus. Ilmu pengetahuan alam
memisahkan diri dari filsafat. Ilmu pengetahuan alam menempuh jalan praktis
dalam menurunkan hukum-hukumnya. Menurut Frank, fungsi filsafat ilmu
pengetahuan alam adalah menjembatani putusnya rantai tersebut dan menunjukkan
bagaimana seseorang beranjak dari pandangan common sense (pra-pengetahuan) ke
prinsip-prinsip umum ilmu pengetahuan alam.
Filsafat ilmu pengetahuan alam bertanggung
jawab untuk membentuk kesatuan pandangan dunia yang di dalamnya ilmu
pengetahuan alam, filsafat dan kemanusian mempunyai hubungan erat.
Sastrapratedja (1997), mengemukakan bahwa ilmu-ilmu alam secara fundamental dan
struktural diarahkan pada produksi pengetahuan teknis dan yang dapat digunakan.
Ilmu pengetahuan alam merupakan bentuk refleksif (relefxion form) dari proses
belajar yang ada dalam struktur tindakan instrumentasi, yaitu tindakan yang
ditujukan untuk mengendalikan kondisi eksternal manusia. Ilmu pengetahuan alam
terkait dengan kepentingan dalam meramal (memprediksi) dan mengendalikan proses
alam.
F. Ilmu Pengetahuan sebagai
penjabaran pemikiran positifisme
Positivisme menyamakan rasionalitas dengan
rasionalitas teknis dan ilmu pengetahuan dengan ilmu pengetahuan alam. Menurut
Van Melsen (1985), ciri khas pertama yang menandai ilmu alam ialah bahwa ilmu
itu melukiskan kenyataan menurut aspek-aspek yang mengizinkan registrasi
inderawi yang langsung. Yang diregistrasi dalam eksperimen adalah cara benda-benda bereaksi
atas “campur tangan” eksperimental kita. Eksperimentasi yang aktif itu
memungkinkan suatu analisis jauh lebih teliti terhadap banyak faktor yang dalam
pengamatan konkrit selalu terdapat bersama-sama. Tanpa pengamatan eksperimental
kita tidak akan tahu menahu tentang elektron-elektron dan bagian-bagian
elementer lainnya. Ilmu pengetahuan alam mulai berdiri sendiri sejak abad ke
17. Kemudian pada tahun 1853, Auguste Comte mengadakan penggolongan ilmu
pengetahuan. Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh
Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996).
Dalam
penggolongan ilmu pengetahuan tersebut, dimulai dari Matematika, Astronomi,
Fisika, Ilmu Kimia, Biologi dan Sosilogi. Ilmu Kimia diurutkan dalam urutan
keempat. Penggolongan tersebut didasarkan pada urutan tata jenjang, asas
ketergantungan dan ukuran kesederhanaan. Dalam urutan itu, setiap ilmu yang
terdahulu adalah lebih tua sejarahnya, secara logis lebih sederhana dan lebih
luas penerapannya daripada setiap ilmu yang dibelakangnya (The Liang Gie,
1999). Pada pengelompokkan tersebut, meskipun tidak dijelaskan induk dari
setiap ilmu tetapi dalam kenyataannya sekarang bahwa fisika, kimia dan biologi
adalah bagian dari kelompok ilmu pengetahuan alam.Ilmu kimia adalah suatu ilmu
yang mempelajari perubahan materi serta energi yang menyertai perubahan materi.
Menurut ensiklopedi ilmu (dalam The Liang Gie,
1999), ilmu kimia dapat digolongkan ke dalam beberapa sub-sub ilmu yakni: kimia
an organik, kimia organik, kimia analitis, kimia fisik serta kimia
nuklir.Selanjutnya Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996) memberi efinisi
tentang ilmu kimia sebagai “… that it relates to the law of the phenomena of composition
and decomposition, which result from the molecular and specific mutual action
of different subtances, natural or artificial” ( arti harafiahnya kira-kira
adalah ilmu yang berhubungan dengan hukum gejala komposisi dan dekomposisi dari
zat-zat yang terjadi secara alami maupun sintetik). Untuk itu pendekatan yang
dipergunakan dalam ilmu kimia tidak saja melalui pengamatan (observasi) dan
percobaan (eksperimen), melainkan juga dengan perbandingan (komparasi). Jika
melihat dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan alam, pada mulanya orang
tetap mempertahankan penggunaan nama/istilah filsafat alam bagi ilmu
pengetahuan alam. Hal ini dapat dilihat dari judul karya utama dari pelopor
ahli kimia yaitu John Dalton: New Princiles of Chemical Philosophy. Berdasarkan
hal tersebut maka sangatlah beralasan bahwa ilmu pengetahuan alam tidak
terlepas dari hubungan dengan ilmu induknya yaitu filsafat. Untuk itu
diharapkan uraian ini dapat memberikan dasar bagi para ilmuan IPA dalam
merenungkan kembali sejarah perkembangan ilmu alam dan dalam pengembangan ilmu
IPA selanjutnya.
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Masalah filsafat bukanlah sesuatu yang problematic (tidak terlalu
dipermasalahkan) sebab setiap perbuatan atau tindakan kita merupakan pencerminan
dari filsafat hidup kita masing-masing
2. Berfilsafat adalah berpikir, tetapi tidak semua tindakan berpikir
merupakan berfilsafat. Berpikir yang
filosofis adalah berpikir yang memiliki sifat-sifat :
Ø Berfilsafat adalah berpikir dengan menggunakan disiplin berpikir yang
tinggi.
Ø Berfilsafat adalah berpikir secara sistematis.
Ø Berfilsafat adalah menyusun suatu skema konsepsi
Ø Filsafat itu memiliki daya cukup yang menyeluruh
3.
Filsafat ilmu adalah penyelidikan
tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk
memperolehnya. Filsafat ilmu merupakan suatu bentuk pemikiran secara mendalam
yang bersifat lanjutan atau secondary reflexion. Refleksi sekunder seperti itu
merupakan syarat mutlak untuk menentang bahaya yang menjurus kepada keadaan
cerai berai serta pertumbuhan yang tidak seimbang dari ilmu-ilmu yang ada.
Tetapi juga Filsafat ilmu pengetahuan membahas sebab musabab pengetahuan dan
menggali tentang kebenaran, kepastian, dan tahap-tahapnya, objektivitas,
abstraksi, intuisi, dan juga pertanyaan mengenai “dari mana asalnya dan kemana
arah pengetahuan itu?”
4.
Antara definisi filsafat dan ilmu
pengetahuan memang hampir mirip namun kalau kita menyimak bahwa di dalam
definisi ilmu pengetahuan lebih menyoroti kenyataan tertentu yang menjadi
kompetensi bidang ilmu pengetahuan masing-masing, sedangkan filsafat lebih
merefleksikan kenyataan secara umum yang belum dibicarakan di dalam ilmu
pengetahuan
5. Positivisme menyamakan rasionalitas dengan rasionalitas teknis dan ilmu
pengetahuan dengan ilmu pengetahuan alam. Dan kaitannya dengan Ilmu pengetahuan
alam adalah ilmu itu melukiskan kenyataan menurut aspek-aspek yang mengizinkan registrasi
inderawi yang langsung.
6. Berdasarkan hal tersebut maka sangatlah beralasan bahwa ilmu
pengetahuan alam tidak terlepas dari hubungan dengan ilmu induknya yaitu filsafat
DAFTAR PUSTAKA
-
Ahmad Tafsir, Filsafat
Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994, hlm 4
-
Bahm,Archie, J., 1980., “What Is
Science”, Reprinted from my Axiology; The Science Of Values;44-49, World Books,
Albuquerqe, New Mexico, p.1,11.
-
Bertens, K., 1987., “Panorama
Filsafat Modern”,Gramedia Jakarta, p.14, 16, 20-21, 26.
-
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm. 234
-
Kneller, George F. 1971.
Introduction to the Philosophy of Education. John Willey Sons Inc, New York.
-
Koento Wibisono S. dkk., 1997.,
“FilsafatIlmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan”, Intan
Pariwara,Klaten, p.6-7, 9, 16, 35, 79.
-
Koento Wibisonn S., 1984.,
“Filsafat Ilmu Pengetahuan DanAktualitasnya Dalam Upaya Pencapaian Perdamaian
Dunia Yang Kita Cita-Citakan”,Fakultas Pasca Sarjana UGM Yogyakarta p.3, 14-16.
-
Nuchelmans,G., 1982., “Berfikir
Secara Kefilsafatan: Bab X, Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam,Dialihbahasakan Oleh
Soejono Soemargono”, Fakultas Filsafat – PPPT UGMYogyakarta p.6-7.
-
Prasetya, Filsafat Pendidikan, Bandung : Pustaka
Setia, 1997, hlm.33
-
Sadulloh, U. 2003. Pengantar
Filsafat Pendidikan. CV Alfabeta, Bandung.
-
Sastrapratedja,M., 1997.,
“Beberapa Aspek Perkembangan Ilmu Pengetahuan”, Makalah, Disampaikan Pada
Internship Filsafat Ilmu Pengetahuan,UGM Yogyakarta 2-8 Januari 1997, p.2-3.
-
Sindhunata. 2000. Menggagas
Paradigma Baru Pendidikan. Kanisius, Yogyakarta
-
Soedijarto. 1993. Menuju
Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu. Balai Pustaka, Jakarta.
-
Soeparmo,A.H., 1984., “Struktur
Keilmuwan Dan Teori Ilmu Pengetahuan Alam”, PenerbitAirlangga University Press,
Surabaya, p.2, 11.
-
TheLiang Gie., 1999., Pengantar
Filsafat Ilmu”, Cet. Ke-4, Penerbit LibertyYogyakarta, p.29, 31, 37, 61, 68,
85, 93, 159, 161.
-
Zamroni. 2000, Paradigma Pendidikan Masa Depan, PT Bayu Indra Grafika, Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar