Hakekat peserta didik dalam filsafat pendidikan islam
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dikalangan ilmuan
pendidikan Islam setidaknya ada istilah yang digunakan untuk menandai konsep
pendidikan, yaitu : tarbiyah, ta’lim dan ta’bid. Kata tarbiyah menurut
Abdurrahman al-Nahlawi yang berarti pendidikan yang diartikan sebagai usaha,
memelihara fitrah anak, menumbuhkan seluruh bakat dan kesiapannya, mengarahkan
fitrah dan seluruh bakat agar menjadi baik dan sempurna, serta bertahab dalam
prosesnya. Adapun kata ta’lim oleh penggunanya dipahami sebagai proses pembelajaran
secara terus menerus sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi – fungsi
pendengaran, penglihatan dan hati. Proses ta’lim tidak berhenti pada pencapaian
pengetahuan dalam wilayah kognisi semata, tetapi terus menjangkau wilayah
psikomotorik dan afektif[1].
Sedangkan kata ta’dib dapat diartikan mendidik yang secara sempit mendidik budi
pekerti dan secara luas meningkatkan peradaban[2].
Secara sederhana
pendidikan Islam dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk memelihara dan
mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju
terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam[3].
Hakekat pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertakwa secara
sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah
(kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal
pertumbuhan dan perkembangannya. Pendidikan secara teoritis mengandung
pengertian memberi makan kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuhasan
rohaniah, juga sering diartikan dengan menumbuhkan kemampuan dasar manusia[4].
Dengan membaca
uraian tentang pendidikan di atas, dapat dipahami bahwa obyek atau peserta
didik merupakan satu unsur penting dalam kegiatan dan proses pendidikan Islam,
karena adalaha tidak mungkin jika pelaksanaan pendidikan Islam tidak
bersentuhan dengan manusia – manusia yang berkedudukan sebagai obyek atau
peserta pendidikan. Manusia sebagai peserta didik menempati posisi yang
menentukan dalam sebuah interaksi pembelajaran. Guru tidak mempunyai arti apa –
apa tanpa kehadiran peserta didik sebagai subjek pendidikan, dengan demikian
dapat dikatakan bahwa peserta didik adalah kunci yang menentukan untuk
terjadinya interaksi edukatif[5].
Hal inilah yang menyebabkan kajian tentang peserta didik masih menarik dan
dianggap perlu dilakukan, terutama yang berkaitan dengan hakekat peserta didik,
sifat – sifat ideal peserta didik, tugas dan tanggung jawab peserta didik dan
etika penuntut ilmu dalam pendidikan Islam dan makalah ini diupayakan akan
memberi wawasan bagi pembaca khususnya yang tertarik terhadap topik / kajian
dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah hakekat peserta didik itu ?
2. Apakah
sifat – sifat ideal peserta didik ?
3. Apakah
tugas dan tanggung jawab peserta didik ?
4. Bagaimana
etika peserta didik dalam pendidikan Islam ?
C.
Tujuan
Pembahasan
1. Untuk
mengetahui hakekat peserta didik itu
2. Untuk
mengetahui sifat – sifat ideal peserta didik
3. Untuk
mengetahui tugas dan tanggung jawab peserta didik
4. Untuk
mengetahui etika peserta didik dalam
pendidikan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakekat
Peserta Didik
Dalam bahasa
Indonesia ada tiga sebutan untuk pelajar, yaitu murid, anak didik dan peserta
didik. Istilah murid dalam Islam mengandung arti orang yang sedang belajar,
menyucikan diri dan sedang berjalan menuju Tuhan. Sebutan anak didik mengandung
arti gueu menyayangi murid seperti anaknya sendiri, faktor kasih sayang guru
terhadap anak didik satu kunci keberhasilan pendidikan, sedangkan sebutan
peserta didik adalah sebutan yang paling mutakhir, istilah ini menekankan
pentingnya murid berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Dengan demikian
perubahan istilah dari murid ke anak didik kemudian menjadi peserta didik,
agaknya bermaksud memberikan perubahan pada peran pelajar dalam proses
pembelajaran[6].
Pada banyak buku
pendidikan Islam, kajian tentang objek / peserta pendidikan secara umum
menekankan pada persoalan yang berkaitan dengan anak sebagai peserta didik,
artinya kebanyakan penulis menjelaskan bahwa anak didik adalah setiap orang
yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan,
anak didik bukan binatang, tetapi ia adalah manusia yang mempunya akal[7].
Sementara itu Abu Ahmadi menjelaskan bahwa peserta didik disebut juga anak
didik atau terdidik yang terdiri dari para individu dan membaginya berdasarkan
tahap perkembangan dan umur, menurut status dan tingkat kemampuan[8].
Menurut teori tabulara perkembangan peserta didik sepenuhnya ditentukan oleh
lingkungannya, sehingga nasib dan masa depan peserta didik dikondisikan oleh
lingkungan termasuk pendidikan dengan sengaja diberikan kepadanya. Peserta
didik dipandang sebagai organisme pasif yang tak berdaya menghadapi
lingkungannya. Kearah mana peserta didik hendak dibawa dan dikembangkan,
terserah kepada kemauan pendidikan.
Adapun yang
dimaksud dengan peserta didik dalam maklah ini adalah manusia yang menjadi
mitra dari kegiatan pendidikan. Dalam Islam peserta didik adalah setiap manusia
yang sepanjang hayatnya selalu berada dalam perkembangan, jadi bukan hanya anak
– anak yang sedang dalam pengasuhan dalam pengasihan orang tuanya, bukan pula
hanya anak – anak dalam usia sekolah[9],
tetapi mencakup seluruh manusia yang beragama Islam maupun tidak atau dengan
kata lain manusia secara keseluruhan[10].
Hal ini sesuai dengan firman Allah :

Artinya : Dan kami tidak mengutus
kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira
dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui (QS.
Saba’, Ayat 28)
Pemahaman
tentang peserta didik seperti diatas, di dasarkan pada tujuan pendidikan Islam
yaitu mewujudkan manusia sempurna serta utuh (insan kamil), yang untuk
mencapainya manusia harus berusaha terus menerus melalui berbagai kegiatan
pendidikan hingga akhir hayatnya[11],
baik itu melalui pendidikan yang diselenggarakan secara formal maupun non
formal.
Menurut Langeveld, anak manusia itu memerlukan
pendidikan karena ia berada dalam keadaan tidak berdaya. Dalam dunia tasawuf,
peserta didik atau murid adalah orang yang menerima pengetahuan dan bimbingan
dalam melaksanakan amal ibadahnya, dengan memusatkan segala perhatian dan
usahanya ke arah itu. Peserta didik atau murid di sini ada tiga tingkat, yaitu:
- Mubtadi’ atau pemula, yaitu mereka yang baru mempelajari syari’at. Jiwanya masih terikat pada kehidupan duniawi.
- Mutawasit atau tingkatan menengah, yaitu orang yang sudah dapat melewati kelas persiapan, telah mempunyai pengetahuan yang dalam tentang syari’at. Kelas ini sudah mulai memasuki pengetahuan dan alam batiniyah. Tahap ini adalah tahap belajar dan berlatih mensucikan batin agar tercapai akhlak yang baik.
- Muntahid atau tingkatan atas, yaitu yang telah matang ilmu syari’atnya, sudah mendalami ilmu batiniyah. Orang yang sudah mencapai tingkat ini disebut orang arif, yaitu orang yang sudah boleh mendalami ilmu hakikat[12].
Perlu
diperjelas beberapa diskripsi tentang hakikat peserta didik dan implikasinya
terhadap pendidikan Islam, yaitu:
1.
Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi
memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan
terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan
orang dewasa, baik dalam aspek metode mengajar , materi yang akan diajarkan,
sumber bahan yang digunakan, dan lain sebagainya.
2.
Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi
periodesasi perkembangan dan pertumbuhan. Pemahaman ini cukup perlu untuk
diketahui agar aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat
pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui oleh setiap peserta
didik. Hal ini sangat beralasan, karena kadar kemampuan peserta didik
ditentukan oleh faktor usia dan periode perkembangan atau pertumbuhan potensi
yang dimilikinya.
3.
Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang
menyangkut kebutuhan jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi. Di antara
kebutuhan tersebut adalah kebutuhan biologis, kasih sayang, rasa aman, harga
diri, realisasi diri, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu penting dipahami oleh
pendidik agar tugas-tugas kependidikannya dapat berjalan secara baik dan
lancar.
4.
Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan
individual, baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan di
mana ia berada. Pemahaman tentang differensiasi individual peserta
didik sangat penting untuk dipahami oleh seorang pendidik. Hal ini disebabkan
karena menyangkut bagaimana pendekatan yang perlu dilakukan pendidik dalam
menghadapi ragam sikap dan perbedaan tersebut dalam suasana yang dinamis, tanpa
harus mengorbankan kepentingan salah satu pihak atau kelompok.
5.
Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur utama, yaitu
jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki latihan
dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan. Sementara unsur
rohaniyyah memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk mempertajam
daya akal, maka proses pendidikan hendaknya diarahkan untuk mengasah daya
intelektualitasnya melalui ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk mem[pertajam daya
rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah. Konsep ini bermakna
bahwa suatu proses pendidikan Islam hendaknya dilakukan dengan memandang
peserta didik secara utuh. Dalam dataran praktis, pendidikan Islam tidak hanya
mengutamakan pendidikan salah satu aspek saja, melainkan kedua aspek secara
integral dan harmonis. Bila tidak, maka pendidikan tidak akan mampu
menciptakan out put yang memiliki kepribadian utuh, akan
tetapi malah sebaliknya yaitu kepribadian yang ambigu. Bila fenomena ini
terjadi dalam praksis pendidikan Islam, maka upaya untuk menciptakan insan
kamil akan hanya sebuah mimpi belaka.
6.
Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fithrah) yang
dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis. Di sini tugas pendidik adalah
membantu mengembangkan dan mengarahkan perkembangan tersebut sesuai dengan
tujuan pendidikan yang diinginkan, tanpa melepaskan tugas kemanusiaannya; baik
secara vertikal maupun horizontal. Ibarat sebidah sawah, peserta didik adalah
orang yang berhak bercocok tanam dan memanfaatkan sawahnya (potensi). Sementara
pendidik (termasuk orang tua) hanya bertugas menyirami dan mengontrol tanaman
agar tumbuh subur sebagaimana mestinya, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku[13].
Seluruh pendekatan peserta didik di atas perlu dipahami secara
mendalam oleh setiap pendidik atau komponen yang terlibat dalam proses
kependidikan Islam. Wacana ini dimaksudkan untuk memformat tugas-tugas
kependidikan yang dinamis bagi tercapainya tujuan yang diinginkan.
B.
Sifat
– Sifat Ideal Peserta Didik
Untuk
terwujudnya kegiatan pembelajaran yang baik, serta terjalin kerjasama antara
guru sebagai pendidik dan murid sebagai peserta didik sekaligus sebagai mitra
didik, setiap peserta didik dituntut mengerti, memahami, memiliki dan dapat
merealisasikan sifat – sifat berikut ini :
1.
Bersikap tawadhu’ atau rendah hati[14].
Hendaklah pelajar tidak takabur atas ilmu dan tidak menguasai orang yang
mengajar, melainkan menyerahkan kepada pengajar kendali urusannya secara
keseluruhan dalam setiap perincian. Juga pelajar harus menurut nasehat pengajar
dan seyogyanya pelajar merendahkan diri kepada pengajarnya, mencari pahala dan
kemuliaan dengan melayaninya[15].
2.
Peserta didik hendaknya berhias dengan
moral yang baik seperti berkata benar, ikhlas, taqwa, rendah hati, zuhud
menerima apa yang ditentukan Tuhan serta menjauhi sifat – sifat tercela.
3.
Bersungguh – sungguh dan tekun belajar
4.
Sifat saling mencintai dan persaudaraan
haruslah menyinari pergaulan antara siswa sehingga merupakan anak – anak yang
sebapak[16].
5.
Peserta didik harus penuh semangat dan
kegiatan, serta menghadapi tugasnya dengan penuh kegaerahan dan minat.
6.
Senantiasa memiliki ketabahan dalam
mencari ilmu pengetahuan dan supaya merantau[17].
7.
Bersifat wara’ dan menjaga agar setiap
kebutuhan dan keluarga, makan, minum, pakaian tempat tinggal dan lain-lain,
selalu dari bahan dan diperoleh lewat cara yang halal[18].
C.
Tugas
dan Tanggung Jawab Peserta Didik
Untuk dapat
melaksanakan kegiatan menuntut ilmu dengan baik, maka peserta didik hendaklah
dapat merealisasikan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik, menurut M. Athiyah
al-Abrasyi, setiap peserta didik
setidaknya memiliki tugas dan tanggung jawab seperti berikut ini :
1.
Sebelum mulai belajar, siswa itu harus
terlebih dahulu membersihkan hatinya dari segala sifat buruk, karena belajar
dan mengajar itu dianggap sebagai ibadah. Sebab menyemarakkan hati dengan ilmu
tidak sah keuali setelah hati itu suci dari kotoran akhlak. Intinya ialah
peserta didik jiwanya harus suci. Indikatornya terlihat dari akhlaknya[19].
2.
Bersedia mencari ilmu termasuk
meninggalkan keluarga dan tanah air, dengan tidak ragu – ragu bepergian ke
tempat – tempat yang jauh sekalipun bila di kehendaki demi untuk mendatangi
guru.
3.
Bertekhad untuk belajar hingga akhir
umur, jangan meremehkan suatu cabang ilmu, tetapi hendaklah menganggapnya bahwa
setiap ilmu ada faedahnya, jangan meniru
– niru apa yang didengarnya dari orang – orang yang terdahulu yang mengkritik dan merendahkan sebagian ilmu mantic dan
filsafat[20].
4.
Menjaga pikiran dari berbagai
pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
5.
Mempelajari ilmu – ilmu terpuji, baik
ilmu umum atau ilmu agama.
6.
Mempelajari suatu ilmu sampai tuntas
untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya.
7.
Memahami nilai – nilai ilmiah atas ilmu
pengetahuan yang dipelajari
8.
Mengenal nilai – nilai prakmatis bagi
suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat,
membahagiakan, mensejahterakan, serta memberi keselamatan hidup dunia dan
akhirat, baik itu untuk dirinya maupun manusia pada umumnya[21].
D.
Etika
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Sebagaimana
dijelaskan oleh Asmah Hasan Fahmi, bahwa setiap peserta didik harus memiliki
dan berlaku dengan etika yang sesuai dengan ajaran Islam, seperti sebagai
berikut :
1. Setiap
peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran sebelum menuntut ilmu
2. Hendaklah
tujuan belajar itu ditujukan untuk menghiasi ruh dengan sifat keutamaan,
mendekatkan diri dengan tuhan dan bukan untuk bermegah – megahan dan mencari
kedudukan[22].
Belajar dengan niat ibadah kepada Allah. Konsekuensi dari sikap ini, peserta
didik akan senantiasa mensucikan diri dengan akhlakul karimah dalam kehidupan
sehari – hari, serta berupaya meninggalkan watak dan akhlah yang rendah sebagai
manifestasi dari firman Allah SWT dalam QS. Al-An’aam : 162:
ö@è%
¨bÎ)
ÎAx|¹
Å5Ý¡èSur
y$uøtxCur
ÎA$yJtBur
¬!
Éb>u
tûüÏHs>»yèø9$#
ÇÊÏËÈ
Artinya : Katakanlah: Sesungguhnya
sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta
alam.
Dan QS. Adz-Dzariyat ayat 56
$tBur
àMø)n=yz
£`Ågø:$#
}§RM}$#ur
wÎ)
Èbrßç7÷èuÏ9
ÇÎÏÈ
Artinya : Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
3. Peserta
didik tidak menganggap rendah sedikitpun pengetahuan – pengetahuan apa saja
dengan sebab ia tidak mengetahuinya, tetapi ia harus mengambil bagian dari tiap
– tiap ilmu yang pantas baginya dan tingkatan yang wajib baginya
4. Janganlah
peserta didik mengikuti teman – temannya yang bodoh dalam mengecam sebagian
ilmu, tanpa mengetahui apa yang patut dicela dan dipuji tentangnnya[23]
5. Murid
terlebih dahulu memberi salam kepada gurunya[24]
6. Apabila
peserta didik telah memilih guru yang tepat, maka ia harus belajar dengan sabar
dan konsekuwen[25]
7. Ikutilah
perintahnya selama tidak menyuruh kemaksiatan
8. Mengupayakan
agar tiba terlebih dahulu di majlis dari guru[26]
9. Hendaknya
memilih teman yang berhati mulia
10. Menjahui
teman yang bersifat malas dan jangan membangga – banggakan suatu kemuliaan yang
dimilikinya[27]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Peserta didik merupakan unsur terpenting
bagi terlaksanya kegiatan pendidikan. Sebab ia merupakan obyek dan sekaligus
subyek dan mitra pendidikan, sehingga sehebat dan selengkap apapun unsur –
unsur lainnya, jika peserta didik tidak ada atau tidak dipedulikan, maka dapat
dipastikan kegiatan pendidikan tidak dapat terlaksana dan berjalan dengan baik.
2.
Diantara sifat – sifat yang harus
dimiliki bagi peserta didik adalah : Bersikap tawadhu’ atau rendah hati,
berhias dengan moral dan akhlaq yang baik, bersungguh – sungguh dan tekun
belajar, saling mempererat tali persaudaraan, memiliki sifat tabah, dan wira’.
3.
Tugas dan tanggung jawab peserta didik
diantaranya : sebelum belajar hendaknya membersihkan hati dari sifat tercela,
bersedia mencari ilmu walaupun meninggalkan keluarga, tempat jauh, bertekhad
mencari ilmu sepanjang hayat, menjaga pikiran dari pertentangan aliran,
mempelajari ilmu terpuji dan mendalam,
4.
Peserta didik dalam mencari ilmu harus
memiliki etika yang baik diantaranya : niat karena Allah, sopan – santun pada
guru, ber akhlaq yang baik terhadap guru maupun temannya
B.
Saran
- saran
1.
Sebaiknya sebagai seorang murid, niat
belajar karena Allah, belajar dengan sungguh – sungguh dan hormat kepada guru
2.
Sebagai guru : sebaiknya mengajar hanya
mengharap ridho Allah dan bersifat ikhlas dan sabar dalam mendidik.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu
Ahmadi, Ilmu Pendidikan,
(Jakarta:Rineka Cipta, 1991)
Achmadi,
Ideologi
Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2005)
Ahmad
Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami
Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu, Memanusiakan Manusia, (Bandung :
Remadja Rosdyakarya, 2006),
Ahmad
Sjalaby, Tarikhut Tarbiyah Islamiyah,
terjemahan Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latief, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973)
Al-Rasyidin & Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: Ciputat Press,2005),
Asma
Hasan Fahmi, Mabadiut Tarbiyatil
Islamiyah, terjemahan Ibrahim Husein, Sejarah
dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979),
Hasan
Asari, Etika Akademis Dalam Islam Studi tentang Kitab Tazkirat al-Sami wa
al-Mutakallim Karya Ibn Jama’ah, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2008),
Hery
Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta : Logos, 1999)<.div>
Imam
Al-Ghozali, Ihya’ Ulumuddin, terjemahan
Misbah Zainul Mustofa, (Yogyakarta: Bintang Pelajar),
M.Arifin,
Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan
Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1993)
M.
Athiyah al-Abrasyi, Attarbiyah
al-Islamiyah,, terjemahan Bustami A.Gani, Dasar – Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan
Bintang,1993)
M.Athiyah
al-Abrasyi, Tarbiyah Islamiyah wa
Falasafatuha, 1969,
Moh.
Ali Aziz, Ilmu Dakwah,
(Jakarta:Kencana,2004)
Nur Uhbiyati
dkk., Ilmu Pendidikan Islam I, (Bandung: Pustaka Setia, 1997),
Cet. 1,
Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam. Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta:
Ciputat Pers, 2002),
Syaiful
Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam
Interaksi Edukatif, (Jakarta : Rineka Cipta, 2000)
Syaiful
Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam
Interaksi Edukatif, (Jakarta : Rineka Cipta, 2000)
[1]Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Logos,1999),
h. 8
[2]Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam
Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005,) h. 25
[4]M.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta:Bumi
Aksara,1993), h. 32
[5]Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif,
(Jakarta:Rineka Cipta,2000), h. 51
[6]Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami Integrasi
Jasmani, Rohani dan Kalbu, Memanusiakan Manusia, (Bandung:Remadja
Rosdyakarya,2006), h.165
[7]Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif,
(Jakarta:Rineka Cipta,2000), h. 51
[8]Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan, (Jakarta:Rineka Cipta,1991), h. 41-42
[9]Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Logos,1999),
h. 113
[10]Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta:Kencana,2004), h. 90
[11]Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam … h.113
[12]Nur Uhbiyati dkk., Ilmu Pendidikan Islam
I, (Bandung:Pustaka Setia, 1997), cet. 1, h.123
[13]Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam. Pendekatan
Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta:Ciputat Pers,2002), h. 48-50
[14]Al-Rasyidin &
Samsul Nizar, Pendekatan Historis,
Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:Ciputat
Press,2005), h. 52
[15]Imam Al-Ghozali, Ihya’ Ulumuddin, terjemahan Misbah Zainul
Mustofa, (Yogyakarta: Bintang Pelajar), tt.161
[16]M. Athiyah al-Abrasyi, Attarbiyah al-Islamiyah,, terjemahan
Bustami A.Gani, Dasar – Dasar Pokok
Pendidikan Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,1993), h. 147-148
[17]Asma Hasan Fahmi, “Mabadiut
Tarbiyatil Islamiyah”, terjemahan Ibrahim Husein, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:Bulan
Bintang,1979), h. 174
[18]Hasan Asari, Etika Akademis Dalam Islam Studi tentang Kitab Tazkirat al-Sami wa
al-Mutakallim Karya Ibn Jama’ah, (Yogyakarta:Tiara Wacana,2008), h. 72
[19]Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami Integrasi
Jasmani, Rohani dan Kalbu, Memanusiakan Manusia, (Bandung:Remadja
Rosdyakarya,2006), h.166
[20]M. Athiyah al-Abrasyi, ”Attarbiyah
al-Islamiyah”, terjemahan Bustami A.Gani, Dasar
– Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,1993), h.147-148
[21]Al-Rasyidin &
Samsul Nizar, Pendekatan Historis,
Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:Ciputat
Press,2005), h. 53
[22]Asma Hasan Fahmi, “Mabadiut
Tarbiyatil Islamiyah”, terjemahan Ibrahim Husein, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:Bulan
Bintang,1979), h. 176
[24]M.Athiyah al-Abrasyi, Tarbiyah Islamiyah wa Falasafatuha, ….,
h.148
[25]Ahmad Sjalaby, Tarikhut Tarbiyah Islamiyah, terjemahan
Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latief, (Jakarta:Bulan Bintang,1973), h. 312
[26]Hasan Asari, Etika Akademis Dalam Islam Studi tentang Kitab Tazkirat al-Sami wa
al-Mutakallim Karya Ibn Jama’ah, (Yogyakarta:Tiara Wacana,2008), h. 104
[27]Ahmad Sjalaby, Tarikhut Tarbiyah Islamiyah, terjemahan
Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latief, (Jakarta:Bulan Bintang,1973), h. 315
Komentar
Posting Komentar