Hakekat Pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kita sepakat bahwa
pendidikan merupakan
sesuatu yang
tidak asing
bagi
kita,
terlebih
lagi bagi kita
yang bergerak dibidang pendidikan. Kitapun juga masih sepakat
jika pendidikan diperlukan
oleh semua orang dan semua
golongan.
Mulai dari yang kaya hingga yang miskin, semua membutuhkan yang namanya pendidikan. Tidak pernah sekalipun aktifitas
manusia dan semua mahluk hidup ini keluar dari yang namamnya pendidikan. Jika
pendidikan di kaitkan dengan aktifitas manusia, pendidikan akan menjadi menarik
untuk terus diperbincangkan. Bahkan tak lelah juga yang namanya pendidikan ini
senantiasa menjadi kajian menarik dalam setiap seminar hingga symposium.
Lantas, apakah makna dari
pendidikan itu sendiri. Apakah pendidikan itu hanya berupa transfer of
knowledge atau sekedar melatih saja. Hal ini lah yang akan kita bahas dalam
makalah ini. Membahas tentang pendidikan mahluk hidup sebenarnya membahas juga
yang namanya pendidikan, begitu pula sebaliknya, membahas pendidikan berarti
juga membahas pelaku dari pendidikan itu sendiri.
Dalam sebuah adagium dinyakan
bahwa kulitas suatu masyarakat dapat dilihat dari sisi pendidikannya. Adagium ini mensyaratkan bahwa jika
ingin mendapatkan sebuah masyarakat yang berkualitas maka hal yang di perlukan
pertama kali adalah, bagaimana pendidikannya. Jika pendidikan dalam sebuah
masyarakat tersebut jelek, maka dipastikan jika masyarakat tersebut juga
demikian adanya. Dalam hal ini tentunya semua orang akan sepakat,
pendidikan adalah salah satu kunci dalam membangun sebuah peradaban. Bukankah wahyu Rosulallah yang
pertama kali sudah jelas memberikan pengertian tentang pendidikan. Dengan
turunya wahyu yang pertama kali diterima oleh Nabi Muhammad itu jelas
memberikan isyarat jika peradaban yang luhur di mulai dari Pendidikan.
Akan tetapi seringkali kita dihadapakan pada pertanyaan, Pendidikan yang
bagaimanakah yang diperlukan itu dalam membangun sebuah peradaban itu.
Pertanyaan tersebut sudah barang tentu muncul dalam memaknai pendidikan.
Terlebih wahyu tersebut berbunyi Bacalah, bukan hafallah atau tulislah. Hal
inilah yang menjadi penting untuk kita kaji bersama. Akan tetapi sebelum
membahas bagaimana pendidikan itu yang pertama-tama kita tentukan adalah
memaknai hakekat pendidikan itu sendiri. Tanpa adanya pembahasan tentang hakekat dari pendidikan. Maka rumusan dan
orientasi dari pendidikan akan melenceng dari kenyataan sebenarnya tentang
pengertian dari pendidikan. Mengetahui hakekat dari pendidikan berarti
mengetahui landasan filosif mengapa pendidikan itu diperlukan. Dan bagaimana
pendidikan di terapkan.
Oleh karena kami dari kelompok
satu, dalam pembahasan makalah landasan pendidikan, akan mencoba mengetengahkan
hakekat dari pendidikan dengan harapan agar dalam menjalankan misi ataupun visi
pendidikan itu tercapai, selain memang makalah ini merupakan tugas kelompok
dari mahasiswa pascasarjana Manajamen Pendidikan Agama Islam STAI Diponegoro
Tulungagung 2011
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa arti hakekat
2.
Apa arti pendidikan baik secara etimologis ataupun terminologis
3.
Apa hakikat Pendidikan itu?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari hakekat
2.
Untuk
mengetahui pendidikan baik secara etimologis ataupun terminologis
3.
Untuk
mengetahui hakikat Pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hakekat
Hakekat
adalah intisari atau kenyataan yang sesungguhnya.[1]
Dalam banyak pengertian hakekat sering kali di samakan dengan pengertian esensi.
Dalam pengertian ini sebenernya tidak salah. Karena esensi ataupun hakekat
memiliki arti yang sama. Bedanya, jika esensi adalah kalimat serapan yang
berasal dari dunia barat sedangkan hakekat adalah serapan dari bahasa timur
tengah (Arab). Memaknai kalimat dari hakekat berari juga memaknai secara
mendalam tentang suatu pengertian.
Dengan menggunakan hakekat sebagai kalimat awal, maka pengertian selanjutnya
bergantung juga pada kalimat yang menyertai kalimat tersebut (hakekat).
B.
Pengertian Pendidikan
Makna pendidik`n secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan
kebudayaannya. Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban suatu
masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Karena
itulah
sering dinyatakan
pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia.
Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha manusia melestarikan hidupnya.
Pendidikan
menurut
pengertian Yunani adalah pedagogik yaitu ilmu
menuntun
anak, orang Romawi
memandang pendidikan
sebagai educare, yaitu
mengeluarkan
dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa dilahirkan
di
dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erzichung yang
setara dengan
educare, yakni
membangkitkan kekuatan
terpendam
atau mengaktifkan kekuatan/potensi
anak. Dalam bahasa Jawa pendidikan berarti penggulawentah
(pengolahan), mengolah, mengubah, kejiwaan, mematangkan perasaan,
pikiran
dan watak, mengubah kepribadian sang
anak. Sedangkan
menurut Herbart pendidikan merupakan
pembentukan
peserta didik kepada yang
diinginkan sipendidik yang diistilahkan dengan Educere.[2]
Sementara
dalam wacana keislaman pengertian pendidikan lebih populer dengan istilah tarbiyah
yang berarti pendidikan, ta’lim yang berarti pengajaran, ta’dib
yang berarti pendidikan peradaban dan kebudayaan(penanaman budi pekerti), riyadhah
yang berarti pengajaran dan pelatihan, irsyad yang berarti bimbingan dan
tadris yang berarti belajar.[3]
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar “didik” (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran pimpinan)
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian proses pengubahan dan tata
laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan latihan, proses perluasan, dan cara mendidik.[4]
Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan
hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam
dan masyarakatnya.[5]
C.
Tinjauan Etimologis
1.
Istilah pendidikan, menurut Carter V. Good dalam “Dictionary of Education”
dijelaskan sebagai berikut:
a.
|
Pedagogy
|
:
|
1.
|
The art,
practice of
profession of
teaching
“seni, praktik atau profesi sebagai pengajar (pengajaran)
|
|
|
|
2.
|
The sistematized learning or instruction concerning
principles and methods of teaching and of student control and guidance; lagerly replaced by the term of education.
“ilmu yang
sistematis
atau pengajaran
yang berhubungan
dengan prinsip-prinsip dan
metode-metode mengajar pengawasan dan bimbingan murid dalam arti luas diartikan
dengan
istilah pendidikan”
|
b.
|
Education
|
:
|
1.
2.
3.
4.
|
proses perkembangan pribadi;
proses sosial;
profesional cources;
seni untuk
membuat
dan
memahami
ilmu
pengetahuan yang
tersusun
yang diwarisi/dikembangkan generasi bangsa.[6]
|
2.
Istilah
pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu pada term al-tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari ketiga istilah tersebut
term yang popular digunakan dalam praktek pendidikan Islam ialah term al-tarbiyah.
a.
Istilah al-Tarbiyah
Penggunaan
sitilah al-Tarbiyah berasal dari kata
rabb, dasarnya menunjukkan makna
tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau
eksistensinya.
Al-Tarbiyah berasal dari tiga kata, yaitu : Pertama, rabba-yarbu yang berarti
bertambah, tumbuh, dan berkembang. Kedua, rabiya-yarba berarti menjadi besar. Ketiga, rabba-yarubbu
berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, dan memelihara.
Secara
filosofis mengisyaratkan bahwa proses pendidikan Islam adalah bersumber pada
pendidikan yang diberikan Allah sebagai “pendidik” seluruh ciptaan-Nya,
termasuk manusia. Pengertian pendidikan Islam yang dikandung dalam term al-tarbiyah terdiri atas empat unsur
pendekatan, yaitu : (1) memelihara dan mejaga fitrah anak didik menjelang dewasa (baligh). (2) mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan.
(3) mengarahkan seluruh fitrah menuju
kesempurnaan. (4) melaksanakan pendidikan secara bertahap.[7]
b.
Istilah al-Ta’lim
Istilah al-Ta’lim telah digunakan sejak periode
awal pelaksanaan pendidikan Islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat
universal dibanding dengan al-Tarbiyah
maupun al-Ta’dib, seperti yang
dikemukakan oleh Rasyid Ridha. Rasyid Ridha mengartikan al-Ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada
jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Makna al’ta’lim tidak hanya terbatas pada
pengetahuan lahiriyah, akan tetapi mencakup pengetahuan teoritis, mengulang
secara lisan, pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan,
perintah untuk melaksanakan pengetahuan dan pedoman untuk berperilaku. [8]
c.
Istilah al-Ta’dib
Menurut
al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukkan pendidikan Islam adalah al-ta’dib. Konsep ini didasarkan pada
hadist Nabi yang artinya : “Tuhan telah
mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku.” (H.R. al-‘Askary dari ‘Ali r.a).
Kata addaba dalam hadis tersebut
dimaknai al-Attas sebagai “mendidik”. [9]
Lebih
lanjut ia ungkapkan bahwa, penggunaan istilah al-Tarbiyah terlalu luas untuk mengungkap hakikat dan operasional
pendidikan Islam. Sebab kata al-Tarbiyah yang
memiliki arti pengasuhan, pemeliharaan, dan kasih sayang tidak hanya digunakan
untuk manusia, akan tetapi juga digunkan untuk melatih dan memelihara binatang
atau makhlu Allah lainnya. Oleh karenanya, penggunaan istilah al-Tarbiyah tidak memiliki akar yang
kuat dalam khazanah bahasa Arab. Timbulnya istilah ini dalam dunia Islam
merupakan terjemahan dari bahasa Latin educatio
atau bahasa Inggris education.
Kedua kata tersebut dalam batasan pendidikan Barat lebih banyak menekankan pada
aspek pisik dan material. Sementara pendidikan Islam, penekanannya tidak hanya
aspek tersebut, akan tetapi juga pada aspek psikis dan immaterial. Dengan
demikian, istilah al-Ta’dib merupakan
terma paling tepat dalam khazanah bahasa Arab karena mengandung arti ilmu,
kearigan, keadilan, kebijaksanaan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik
sehingga makna al-Tarbiyah dan al-Ta’lim sudah tercakup dalam terma al-Ta’dib.
Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu sistem yang
memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai
dengan ideologi Islam.
D.
Tinjauan Terminologis
a. Ki Hajar Dewantara
Mengartikan pendidikan sebagai upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar
dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang
selaras dengan alam dan masyarakatnya. Lebih lanjut beliau menjelaskan
bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter),pikiran (intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian Taman Siswa tidak boleh
dipisah-pisahkan bagian-bagian itu, agar
supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan
penghidupan anak-anak yang kita didik selaras
dengan dunianya.
Lebih lanjut mejelaskan bahwa
pendidikan
harus mengtamakan aspek-
aspek berikut:
1.
Segala alat, usaha dan cara pedidikan harus sesuai dengan kodratnya keadaan.
2.
Kodratnya keadaan itu tersimpan dalam
adat-istiadat setiap rakyat, yang oleh karenanya bergolong-golong merupakan
kesatuan dengan
sifat prikehidupan sendiri-sendiri, sifat-sifat mana terjadi dari bercampurnya
semua usaha
dan
daya upaya untuk mencapai hidup tertib damai.
3.
Adat istiadat, sebagai sifat peri kehidupan atau sifat percampuran usaha dan daya upaya akan hidup tertib damai itu tiada terluput dari
pengaruh zaman dan tempat; oleh karena itu tidak tetap senantiasa berubah.
4.
Akan mengetahui garis-hidup yang tetap dari sesuatu bangsa perlulah
kita mempelajari
zaman yang telah lalu.
5.
Pengaruh baru diperoleh
karena bercampur gaulnya bangsa yang satu dengan yang lain,percampuran mana sekarang ini mudah sekali terjadi disebabkan adanya
hubungan modern. Haruslah waspada dalam
memilih mana yang baik untuk menambah kemuliaan hidup kita dan mana yang akan merugikan. Itulah
diantara pikiran- pikiran beliau yang sangat sarat dengan nilai.[10]
b. Menurut Prof. Richy dalam buku Planing for Teaching and Introduction to Education:
The term
education refers to the broad
function
of
preserving
and
inproving the life of the group through bringing new
members into its shared
concerns. Education is thus a far broader process
thah that which accurs in schools. It is an essential social activity by which communicaties continue to exist
in complex communicaties this
function is specialized
and institutionalized in formal education, but there is always
the education outside
the school with wich the formal process
in related
Istilah pendidikan berkenaan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu bangsa (masyarakat) terutama membawa warga masyarakat yang
baru (generasi muda) bagi
penunaian kewajiban dan tanggung jawabnya di dalam masyarakat. Jadi pendidikan adalah suatu proses
yang lebih
luas daripada proses yang
berlangsung di dalam sekolah saja.
Pendidikan
adalah suatu aktivitas sosial yang esensial yang memungkinkan
masyarakat yang kompleks dan modern.
Fungsi pendidikan ini mengalami
proses spesialisasi
dan melembaga dengan pendidikan formal, yang tetap berhubungan dengan proses pendidikan formal di luar sekolah.[11]
c. Prof. Lodge dalam buku Philosophy of Education:
The word
education” is used, sometimes
in a wider,
sometimes in a narrower, sense. In the wider
sense, all experienceis said to the educative and
life
is education and education is
life.
Perkataan
pendidikan kadang-kadang dipakai
dalam
pengertian yang
luas
dan pengertian
sempit. Dalam pengertian luas
pendidikan adalah
semua
pengalaman,
dapat
dikatakan
juga bahwa
hidup
adalah
pendidikan atau
pendidikan adalah hidup.
In the narrower sense “education is restricted
to
that function
of the community which consists
in passing in its traditions
its background and its
outlook to the members
of the rising generation.
Pengertian pendidikan secara sempit adalah pendidikan dibatasi pada fungsi
tertentu di
dalam masyarakat
yang terdiri
atas penyerahan
adat
istiadat
(tradisi) dengan
latar belakang
sosialnya, pandangan
hidup masyarakat itu
kepada warga masyarakat generasi berikutnya.
d. Pendidikan adalah suatu kompleks perbuatan
yang sistematis untuk membimbing anak menuju pada pencapaian tujuan pendidikan.
Pendidikan adalah seni mengajar karena dengan mengajarkan ilmu, keterampilan
dan pengalaman tertentu, orang akan melakukan perbuatan kreatif. Mendidik tidak
semata-mata teknis, metodis, dan mekanis mengoperkan skill kepada anak tetapi
merupakan kegiatan yang berdimensi tinggi dan berunsur seni yang bernuansa
dedikasi, emosional, kasih sayang dalam upaya membangun dan membentuk
kepribadian. Dinamakan seni karena kegiatan pendidikan dilandasi oleh rasa
kemanusiaan, simpati dan kecintaan.[12]
e. Menurut Noeng Muhadjir, hakekat pendidikan
mencirikan aktivitas edukasional yang khas yang berbeda dengan perbuatan
umumnya. Oleh karena itu kegiatan dinamakan pendidikan apabila memiliki
indikasi sebagai berikut :
1. Ada pihak yang memberi dan menerima;
2. Mempunyai program pendidikan dan
kurikulum;
3. Personifikasi pendidik.[13]
Dari definisi di
atas dapat diperoleh pengertian pendidikan sebagai kegiatan makro, namun
sebenarnya apabila secara khusus dicermati akan diperoleh pemahaman bahwa dalam
pendidikan terdapat kegiatan yang dinamakan kegiatan belajar sebab dalam
pendidikan terdapat perbuatan belajar, baik oleh peserta didik maupun pendidik.
Dalam belajar ini terjadi pengkondisian sehingga terbentuk habit berupa tingkah
laku yang semakin terampil dan efisien. Kegiatan belajar (learning diartikan
sebagai kegiatan intensional bertujuan untuk memperoleh perubahan tingkah laku
yang relatif permanen, lebih maju dan lebih efisien).
E. HAKEKAT PENDIDIKAN
Pendidikan
merupakan transfer of knowledge,
transfer of
value dan transfer of culture and transfer of religius yang diarahkan pada upaya
untuk memanusiakan manusia (Filsafat).
Hakikat proses pendidikan ini sebagai upaya untuk mengubah perilaku individu atau kelompok agar memiliki
nilai-nilai yang disepakati berdasarkan
agama, filsafat, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan
keamanan.
Menurut pandangan Paula
Freire pendidikan adalah proses pengaderan
dengan hakikat tujuannya adalah pembebasan. Hakikat pendidikan adalah kemampuan untuk mendidik diri sendiri.[14]
Dalam konteks ajaran
Islam hakikat pendidikan adalah mengembalikan
nilai-nilai ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan Alquran dan
as- Sunnah (Hadits) sehingga menjadi manusia berakhlakul karimah (insan kamil)[15]
Dengan demikian hakikat pendidikan adalah sangat ditentukan
oleh nilai-
nilai, motivasi
dan tujuan
dari
pendidikan itu sendiri. Maka hakikat pendidikan dapat dirumuskan sebagi berikut :
1. Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi
yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan pendidik;
2. Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi lingkungan
yang mengalami perubahan yang semakin pesat;
3. Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat;
4. Pendidikan
berlangsung seumur hidup;Pendidikan
merupakan
kiat dalam
menerapkan prinsip-prinsip ilmu.
Dalam
berbagai pendekatan, Hakikat pendidikan itu dapat dikategorisasikan dalam dua
pendapat yaitu pendekatan epistemologis dan pendekatan ontologi atau metafisik.
Kedua pendekatan tersebut tentunya dapat melahirkan jawaban yang berbeda-beda
mengenai apakah hakikat pendidikan itu.[16]
Di dalam pendidikan epistemologis yang menjadi masalah adalah akar atau
kerangka ilmu pendidikan sebagai ilmu. Pendekatan tersebut mencari makna
pendidikan sebagai ilmu yaitu mempunyai objek yang akan merupakan dasar
analisis yang akan membangun ilmu pengetahuan yang disebut ilmu pendidikan.
Dari sudut pandang pendidikan dilihat sebagai sesuatu proses yang interen dalam
konsep manusia. Artinya manusia hanya dapat dimanusiakan melalui proses
pendidikan.
Berbagai pendapat mengenai hakikat pendidikan dapat digolongkan atas dua
kelompok besar yaitu :
1.
Pendekatan reduksionisme
Pendekatan tentang hakekat
pendidikan ini dinamakan dengan reduksionisme karena dalam pandangannya
berusaha menyederhanakan konsep pendidikan (reduksi) sehingga dapat mudah
dipahami konsep pandangan yang ingin ditandaskan, dalam pendekatan ini meliputi
enam teori, yaitu :
a.
Pendekatan pedagogis / pedagogisme
Titik tolak dari teori ini
ialah anak yang akan di besarkan menjadi manusia dewasa. Pandangan ini apakah
berupa pandangan nativisme schopenhouer serta menganut penganutnya yang
beranggapan bahwa anak telah mempunyai kemampuan-kemampuan yang dilahirkan dan
tinggal di kembangkan saja.
b.
Pendekatan Filasofis / religionisme
Anak manusia mempunyai
hakikatnya sendiri dan berada dengan hakikat orang dewasa. Oleh sebab itu,
proses pendewasaan anak bertitik-tolak dari anak sebagai anak manusia yang
mempunyai tingkat-tingkat perkembangan sendiri.
c.
Pendekatan religius / religionisme
Pendekatan religius /
religionisme dianut oleh pemikir-pemikir yang melihat hakikat manusia sebagai
makhluk yang religius. Namun demikian kemajuan ilmu pengetahuan yang sekuler
tidak menjawab terhadap kehidupan yang bermoral
d.
Pendekatan psikologis / psikologisme
Pandangan-pandangan
pedagogisme seperti yang telah diuraikan telah lebih memacu masuknya psikologi
ke dalam bidang ilmu pendidikan hal tersebut telah mempersempit pandangan para
pendidik seakan-akan ilmu pendidikan terbatas kepada ilmu mengajar saja.
e.
Pendekatan negativis / negativism
Pendidikan ialah menjaga
pertumbuhan anak. Dengan demikian pandangan negativisme ini melihat bahwa
segala sesuatu seakan-akan telah tersedia di dalam diri anak yang bertumbuh
dengan baik apabila tidak dipengaruhi oleh hal-hal yang merugikan pertumbuhan
tersebut.
f.
Pendekatan sosiologis / sosiologisme
Pandangan sosiologisme
cenderung berlawanan arah dengan pedagogisme. Titik-tolak dari pandangan ini
ialah prioritas kepada kebutuhan masyarakat dan bukan kepada kebutuhan
individu.
Peserta didik adalah
anggota masyarakat. Dalam sejarah perkembangan manusia kita lihat bahwa
tuntutan masyarakat tidak selalu etis. Versi yang lain dari pandangan ini ialah
develop mentalisme. Proses pendidikan diarahkan kepada pencapaian target-target
tersebut dan tidak jarang nilai-nilai kemanusiaan disubordinasikan untuk
mencapai target pembangunan. Pengalaman pembangunan Indonesia selama Orde Baru
telah mengarah kepada paham developmentalisme yang menekan kepada pencapaian
pertumbuhan yang tinggi, target pemberantasan buta huruf, target pelaksanaan
wajib belajar 9 dan 12 tahun.[17]
Salah satu pandangan sosiologisme yang sangat populer adalah konsiensialisme
yang dikumandangkan oleh ahli pikir pendidikan Ferkenal Paulo Freire. Pendidikan
yang dikumandangkan oleh Freire ini yang juga dikenal sebagai pendidikan
pembebasan pendidikan adalah proses pembebasan. Konsiensialisme yang
dikumandangkan Freire merupakan suatu pandangan pendidikan yang sangat
mempunyai kadar politis karena dihubungkan dengan situasi kehidupan politik
terutama di negara-negara Amerika Latin. Paulo Freire di dalam pendidikan
pembebasan melihat fungsi atau hakikat pendidikan sebagai pembebasan manusia
dari berbagai penindasan. Sekolah adalah lembaga sosial yang pada umumnya
mempresentasi kekuatan-kekuatan sosial politik yang ada agar menjaga status quo
hukum membebaskan manusia dari tirani kekuasaan. Qua atau di dalam istilah Polo
Freire. kapitalisme yang licik. Sekolah harus berfungsi membangkitkan
kesadaran bahwa manusia adalah bebas.[18]
2.
Pendekatan holistik integrative
Berbeda dengan pendekatan
reduksionisme yang menggunakan orientasi utilitas serta partial, maka dalam
pendekatan holistik ini akan diorientasikan secara komprehensif akan hakekat
pendidikan.
Hakikat
pendidikan adalah suatu proses menumbuh kembangkan eksistensi peserta didik
yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal,
nasional dan global. Rumusan operasional mengenai hakikat pendidikan tersebut
di atas mempunyai komponen-komponen sebagai berikut :
1)
Pendidikan merupakan suatu proses berkesinambungan.
Proses berkesinambungan
yang terus menerus dalam arti adanya interaksi dalam lingkungannya. Lingkungan
tersebut berupa lingkungan manusia, lingkungan sosial, lingkungan budayanya dan
ekologinya. Proses pendidikan adalah proses penyelamatan kehidupan sosial dan
penyelamatan lingkungan yang memberikan jaminan hidup yang berkesinambungan.
Proses pendidikan yang
berkesinambungan berarti bahwa manusia tidak pernah akan selesai.
2)
Proses pendidikan berarti menumbuhkembangkan
eksistensi manusia.
Eksistensi atau keberadaan
manusia adalah suatu keberadaan interaktif. Eksistensi manusia selalu berarti
dengan hubungan sesama manusia baik yang dekat maupun dalam ruang lingkup yang
semakin luas dengan sesama manusia di dalam planet bumi ini. Proses pendidikan
bukan hanya mempunyai dimensi lokal tetapi juga berdimensi nasional dan global.
3)
Eksistensi manusia yang memasyarakat.
Proses pendidikan adalah
proses mewujudkan eksistensi manusia yang memasyarakat. Jauh Dewey mengatakan
bahwa tujuan pendidikan tidak berada di luar proses pendidikan itu tetapi di
dalam pendidikan sendiri karena sekolah adalah bagian dari masyarakat itu
sendiri. Apabila pendidikan di letakkan di dalam tempatnya yang sebenarnya
ialah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia yang pada
dasarnya adalah kehidupan bermoral.
4)
Proses pendidikan dalam masyarakat yang membudaya.
Inti dari kehidupan
bermasyarakat adalah nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut perlu dihayati,
dilestarikan, dikembangkan dan dilaksanakan oleh seluruh anggota masyarakatnya.
Penghayatan dan pelaksanaan nilai-nilai yang hidup, keteraturan dan disiplin
para anggotanya. Tanpa keteraturan dan disiplin maka suatu kesatuan hidup akan
bubar dengan sendirinya dan berarti pula matinya suatu kebudayaan.
5)
Proses bermasyarakat dan membudaya mempunyai
dimensi-dimensi waktu dan ruang.
Dengan dimensi waktu,
proses tersebut mempunyai aspek-aspek historisitas, kekinian dan visi masa
depan. Aspek historisitas berarti bahwa suatu masyarakat telah berkembang di
dalam proses waktu, yang menyejarah, berarti bahwa kekuatan-kekuatan historis
telah menumpuk dan berasimilasi di dalam suatu proses kebudayaan. Proses
pendidikan adalah proses pembudayaan. Dan proses pembudayaan adalah proses
pendidikan. Menggugurkan pendidikan dari proses pembudayaan merupakan alienasi
dari hakikat manusia dan dengan demikian alienasi dari proses humanisasi.
Alienasi proses pendidikan dari kebudayaan berarti menjauhkan pendidikan dari
perwujudan nilai-nilai moral di dalam kehidupan manusia.[19]
BAB III
PENUTUP
A.
Analisis
Pendidikan adalah suatu
kompleks perbuatan yang sistematis untuk membimbing anak menuju pada pencapaian
tujuan pendidikan. Pendidikan adalah seni mengajar karena dengan mengajarkan
ilmu, keterampilan dan pengalaman tertentu, orang akan melakukan perbuatan
kreatif. Mendidik tidak semata-mata teknis, metodis, dan mekanis mengoperkan
skill kepada anak tetapi merupakan kegiatan yang berdimensi tinggi dan berunsur
seni yang bernuansa dedikasi, emosional, kasih sayang dalam upaya membangun dan
membentuk kepribadian. Dinamakan seni karena kegiatan pendidikan dilandasi oleh
rasa kemanusiaan, simpati dan kecintaan.
Pendidikan merupakan suatu
proses belajar mengajar yang membiasakan kepada warga masyarakat sedini mungkin
untuk menggali, memahami dan mengamalkan semua nilai yang disepakati sebagai
nilai yang terpujikan dan dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan
perkembangan ciri pribadi, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan Islam
sendiri adalah proses bimbingan terhadap peserta didik ke arah terbentuknya
pribadi muslim yang baik (insan kamil) Proses pendidikan saat ini tidak lebih
dari memperoleh ketrampilan yang dibutuhkan untuk memenuhi tuntutan kapitalisme
global, bukan mendapat pengetahuan yang murni untuk pengetahuan itu sendiri.
Maka, kebaikan pendidikan (human proper) terutama berkenaan dengan nilai
dan makna yang kita peroleh dari pendidikan, bagaimana anak didik merasakannya
seharusnya mempengaruhi pandangan dan tindakan mereka. Serta konsepsi anak
didik baik sebagai individu yang bertanggungjawab maupun sebagai anggota dalam
lingkungan manusia (human condition).
Untuk merealisasikan pengertian-pengertian
pendidikan tersebut haruslah memahami lebih dulu tetang hakekat pendidikan itu
sendiri dimana, hakikat pendidikan itu dapat dikategorisasikan dalam dua
pendapat yaitu pendekatan epistemologis dan pendekatan ontologi atau metafisik.
Kedua pendekatan tersebut tentunya dapat melahirkan jawaban yang berbeda-beda
mengenai apakah hakikat pendidikan itu. Di dalam pendidikan epistemologis yang
menjadi masalah adalah akar atau kerangka ilmu pendidikan sebagai ilmu.
Pendekatan tersebut mencari makna pendidikan sebagai ilmu yaitu mempunyai objek
yang akan merupakan dasar analisis yang akan membangun ilmu pengetahuan yang
disebut ilmu pendidikan. Dari sudut pandang pendidikan dilihat sebagai sesuatu
proses yang interen dalam konsep manusia. Artinya manusia hanya dapat
dimanusiakan melalui proses pendidikan. Oleh karena itu dalam memaknai hakekat
pendidikan harus menggunakan dua pendekatan yakni pendekatan reduksional dan
pendekatan holistik integrative. Agar pemaknaan terhadap hakekat pendidikan
akan sesuai dengan makna esensialnya yakni suatu proses menumbuhkembangkan
eksistensi peserta didik yang memasyarakat, membudaya dalam tata kehidupan yang
berdimensi lokal, nasional dan global.
B.
Kesimpulan
1.
Hakikat
adalah intisari atau kenyataan yang
sesungguhnya.
2.
Pendidikan adalah sebuah kegiatan makro, yang sebenarnya jika dicermati
secara khusus akan diperoleh pemahaman bahwa dalam pendidikan terdapat kegiatan
yang dinamakan kegiatan belajar sebab dalam pendidikan terdapat perbuatan
belajar, baik oleh peserta didik maupun pendidik. Dalam belajar ini terjadi
pengkondisian sehingga terbentuk habit berupa tingkah laku yang semakin
terampil dan efisien. Kegiatan belajar (learning diartikan sebagai
kegiatan intensional bertujuan untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang
relatif permanen, lebih maju dan lebih efisien).
3.
Hakekat pendidikan
adalah
upaya sadar untuk mengembangkan
potensi yang
dianugerahkan Tuhan kepada manusia dan diarahkan pada tujuan yang diharapkan
agar memanusiakan manusia atau menjadikannya sebagai insan
kamil, manusia
utuh atau
kaffah. Hakikat pendidikan ini
dapat terwujud melalui proses pengajaran, pembelajaran (ta’lim dan tadris), pembersihan dan
pembiasaan
(tahdzib dan ta`dib), dan tadrib (latihan) dengan memperhatikan
kompetensi
kompetensi pedagogi berupa profesi, kepribadian dan sosial.
Dengan pendidikan akan menumbuhkan budi pekerti, kekuatan batin , karakter, pikiran dan tubuh peserta didik yang dilakukan secara integral
tanpa dipisah-pisahkan
antara ranah-ranah tersebut.
Daftar Pustaka
Drost,
J.
Mengajar adalah Mendidik.
(Kompas, 2 Mei 1998).
Freire, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas. (Yogyakarta; LP3ES,1985).
Suryadi,
Didi.
Upaya Meningkatkan
Keprofesionalan Guru
melalui
Syamsudin, Abin.
Kebutuhan Penelitian di
Bidang
Ilmu
Pendidikan.(Makalah, tidak diterbitkan 2004)
Nata,Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta; Gaya Media Pratama,
2005)
Al-Asqalani, Ahmad ibn A’ly ibnu Hajar, Fathu’l-Bari bi Syarh Shahih al Bukhari,
(Bairut Darul –Maarif, tt)
Amir Daien Indrakusuma, Drs., Pengantar
Ilmu Pendidikan, (Surabaya:
Usaha Nasional, 1973),
Mohammad Noor Syam, Filsafat
Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya : Usaha
Nasional, 1986)
Saiyid
Quthub, Tafsir Fi Dlilalil Qur'an, (Libanon : Darul Ahya',
Juz.VI)
Hasan Langgulung, Asas-Asas
Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, II,1988)
Muslim Ibrahim, Pendidikan Agama
Islam Untuk Mahasiswa, (Yogyakarta: Erlangga, 1990)
M. Ja`far, Bebebrapa Aspek Pendidikan
Islam, ( Surabaya: Al-Ikhlas, 1982)
Abdurrahman An-Nahlawi, Ushulut
Tarbiyah Islamiyah Wa Asalibuha, (Beirut: Darul Fikr, 1979)
Abdurrahman bin Khaldun, Diwan
ul-Mubtada wal Khabar fi Tarikh ‘Arab wal Barbar wa man ‘asharahum min Dzaw
il-Sya’n il-Akbar (Muqaddimah Ibn Khaldun), (Damaskus: Dar ul-Fikr, 2003)
Hamdani
Ihsan-Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan
Islam, (Bandung: CV, pustaka Setia,1998)
Muhaimin
dan Mujib , Pemikiran Pendidikan Islam,
(Bandung : Trigenda Karya,1993)
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam.(
Bandung; Wacana Ilmu, 1997)
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung; Remaja Rosda Karya, 1991)
Redaksi Penerbit Asa Mandiri, Standar
Nasional Pendidikan (NSP), (Jakarta: Asa Mandiri, 2006)
Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2001)
Purwanto, Ngalim, Ilmu Pendidikan
Teoritis, (Bandung; Remaja Rosdakarya,1992),h
Gunawan, Ary,
Sosiologi Pendidikan, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2000)
Amir
Daien Indrakusuma, Drs., Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1973)
________________,
Konfigurasi Politik Pendidikan Nasioanl, (Yogyakarta;Pustaka
Fahima,2007)
M.Sulthon,
Moh Khusnurridlo, Manajemen Pondok Pesantren Dalam Perspektif Global
(Yogyakarta; LaksBang PRESSindo,2006)
_____________, Kamus Besar Bahasa Indoensia
(KBBI), (Jakarta; Balai Pustaka, 2002)
Indra Kusuma, Amin Daien, PengantarIlmu
Pendidikan, (Surabaya;Usaha Nasional, 1991)
Mujib, Abdul, dan Mudzakkir, Jusuf, Ilmu
pendidikan Islam; telaah atas kerangkan konseptual pendidikan Islam,
(Jakarta;Kencana Prenada Media Group,2006)
Purwadarminta,
Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 1982)
Saifullah,
Ali, Pendidikan-Pengajaran dan
Kebudayaan: Pendidikan Sebagai Gejala Kebudayaan, (Surabaya;Usaha Nasional, 1982)
H.A.R. Tilaar, Pendidikan dan Masyarakat madani Indonesia.
(Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 2002).
[1] _____________,
Kamus Besar Bahasa Indoensia (KBBI), (Jakarta; Balai Pustaka, 2002), h 223
[2] Indra Kusuma, Amin Daien, PengantarIlmu
Pendidikan, (Surabaya;Usaha Nasional, 1991), h 30
[3] Abdul mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu
pendidikan Islam; telaah atas kerangkan konseptual pendidikan Islam, (Jakarta;Kencana
Prenada Media Group,2006), h 12
[4] Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 1982), h 114
[5] Op cit, h 35
[6] ________________, Konfigurasi Politik
Pendidikan Nasioanl, (Yogyakarta;Pustaka Fahima,2007), h 39
[7] M. Ja`far, Bebebrapa Aspek
Pendidikan Islam, ( Surabaya: Al-Ikhlas, 1982)h 56
[8] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan
Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, II,1988)h, 76
[9] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung ;Wacana
Ilmu, 1997),h 35
[10] Op cit, h 40
[11] M.Sulthon, Moh
Khusnurridlo, Manajemen Pondok Pesantren Dalam Perspektif Global
(Yogyakarta; LaksBang PRESSindo,2006)h
[12] Mohammad
Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,
(Surabaya : Usaha Nasional, 1986)h, 26
[13] Amir
Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1973)h
[14] Op Cit,
h 55
[15] Ngalim
Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis, (Bandung; Remaja Rosdakarya,1992),h
[16] Ary Gunawan,
Sosiologi Pendidikan, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2000),h
[17] Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2001), h
[18] Op Cit,
h 34
[19] Redaksi
Penerbit Asa Mandiri, Standar Nasional Pendidikan (NSP), (Jakarta: Asa
Mandiri, 2006), h
Komentar
Posting Komentar