Hakekat Filsafat Ilmu
HAKIKAT FILSAFAT ILMU
Oleh:
Anisatul Fuada
Filsafat adalah pengetahuan tentang
kearifan dan prinsip-prinsip mencari kebenaran, atau berpikir rasional-logis,
mendalam dan bebas (tidak terikat dengan tradisi, dogma agama) untuk memperoleh
kebenaran. Kata ini berasal dari Yunani, Philos
yang berarti cinta dan Sophia yang
berarti kebijaksanaan (wisdom).
Ilmu
berusaha memahami alam sebagaimana adanya, dan hasil kegiatan keilmuan
merupakan alat untuk meramalkan dan mengendalikan gejala-gejala alam.
Pengetahuan keilmuan merupakan sari penjelasan mengenai alam yang bersifat
subjektif dan berusaha memberikan makna sepenuhnya mengenai objek yang
diungkapkan. Dan agama (sebagiannya) adalah sesuatu yang bersifat transendental
di luar batas pengalaman manusia.
Secara garis besar, Jujun S.
Suriasumanteri menggolongkan pengetahuan menjadi tiga katagori umum, yakni: (1)
pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk (yang disebut juga dengan etika/
agama); (2) pengetahuan tentang indah dan yang jelek (yang disebut dengan estetika/
seni) dan (3) pengetahuan tentang yang benar dan yang salah (yang disebut
dengan logika/ ilmu). Ilmu merupakan suatu pengetahuan yang mencoba menjelaskan
rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tak lagi merupakan misteri.
Pengetahuan
pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang objek tertentu,
termasuk di dalamnya adalah ilmu. Dengan demikian ilmu merupakan bagian dari
pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan
lainnya, seperti seni dan agama. Sebab secara ontologis ilmu membatasi diri
pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan
agama memasuki pula daerah jelajah yang bersifat transendental yang berada di
luar pengalaman manusia itu. Pengetahuan mencoba mendeskripsikan sebuah gejala
dengan sepenuh maknanya, sementara ilmu mencoba mengembangkan sebuah model yang
sederhana mengenai dunia empiris dengan mengabstraksikan realitas menjadi
beberapa variabel yang terikat dalam sebuah hubungan yang bersifat rasional.
Filsafat ilmu adalah penyelidikan
tentang ciri-ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh
pengetahuan tersebut. Filsafat ilmu erat kaitannya dengan filsafat pengetahuan
atau epistemologi, yang secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk-bentuk pengalaman manusia, juga mengenai logika dan
metodologi.
Untuk menetapkan dasar pemahaman tentang
filsafat ilmu tersebut, sangat bermanfaat
menyimak empat titik pandang dalam filsafat ilmu, yaitu:
1. Bahwa
filsafat ilmu adalah perumusan world-view
yang konsisten dengan teori-teori ilmiah yang penting.
2. Bahwa
filsafat ilmu adalah suatu eksposisi dari presupposition
dan pre-disposition dari para
ilmuwan.
3. Bahwa
filsafat ilmu adalah suatu disiplin ilmu yang didalamnya terdapat konsep-konsep
dan teori-teori tentang ilmu yang dianalisis dan diklasifikasikan;
4. Bahwa
filsafat ilmu merupakan suatu patokan tingkat kedua. Filsafat ilmu menuntut
jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
Karakteristik-karakteristik
apa yang membedakan penyelidikan ilmiah dari tipe penyelidikan lain? Kondisi
yang bagaimana yang patut dituruti oleh para ilmuwan dalam penyelidikan alam?
Kondisi yang bagaimana yang harus dicapai bagi suatu penjelasan ilmiah agar
menjadi benar? Status kognitif yang bagaimana dari prinsip-prinsip dan
hukum-hukum ilmiah itu?
Dalam filasfat ilmu pengetahuan diselidiki apa yang
menjadi sumber pengetahuan, seperti pengalaman (indera), akal (verstand), budi (vernunft) dan intuisi. Diselidiki pula arti evidensi serta syarat-syarat untuk mencapai pengetahuan ilmiah,
batas validitasnya dalam menjangkau apa yang disebut sebagai kenyataan atau
kebenaran itu.
Tiap-tiap
pengetahuan memiliki tiga komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh
pengetahuan yang disusunnya. Komponen tersebut adalah: ontologi, epistemologi dan aksiologi.
a. Ontologi
Ontologi menjelaskan mengenai pertanyaan apa, epistemologi menjelaskan pertanyaan bagaimana dan aksiologi
menjelaskan pertanyaan untuk apa.
Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan-lapangan penyelidikan
kefilsafatan yang paling kuno. Sejak dini dalam pikiran Barat sudah menunjukkan
munculnya perenungan ontologis, sebagaimana Thales ketika ia merenungkan dan
mencari apa sesungguhnya hakikat "yang ada" (being) itu, yang pada akhirnya ia berkesimpulan, bahwa asal usul
dari segala sesuatu (yang ada) itu adalah air.
Ontologi merupakan azas dalam menetapkan
batas ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran
tentang hakikat realitas (metafisika). Ontologi meliputi permasalahan apa
hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inherent dengan pengetahuan itu, yang tidak terlepas dari pandangan
tentang apa dan bagaimana yang ada (being)
itu.
Ada beberapa pertanyaan ontologis yang
melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Misalnya pertanyaan tentang "yang
ada": apakah yang ada itu? (what is
being?), bagaimanakah yang ada itu (how is being?) dan dimanakah yang ada itu? (where is being?).
b. Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang
menyelidiki asal-muasal, metode-metode dan sahnya ilmu pengetahuan. Terdapat
tiga persoalan pokok dalam bidang epistemologi:
1. Apakah
sumber pengetahuan itu? Dari manakah datangnya pengetahuan yang benar itu? Dan
bagaimana cara mengetahuinya?
2. Apakah
sifat dasar pengetahuan itu? Apa ada dunia yang benar-benar di luar pikiran
kita? Dan kalau ada, apakah kita bisa mengetahuinya?
3. Apakah
pengetahuan itu benar (valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dari
yang salah?
Epistemologi
meliputi tata cara dan sarana untuk mencapai pengetahuan. Perbedaan mengenai
pilihan ontologik akan mengakibatkan berbedaan sarana yang akan digunakan
yaitu: akal, pengalaman, budi, intuisi atau sarana yang lain. Ditunjukkan
bagaimana kelebihan dan kelemahan suatu cara pendekatan dan batas-batas validitas
dari suatu yang diperoleh melalui suatu cara pendekatan ilmiah.
Pada dasarnya metode ilmiah merupakan
cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan: pertama, kerangka pemikiran yang
bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan
sebelumnya yang telah berhasil disusun; kedua,
menjabarkan hopotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut
dan ketiga, melakukan verifikasi
terhadap hipotetis tersebut untuk menguji kebenaran peryataannya secara
faktual. Secara akronim metode ilmiah terkenal sebagai logico-hypotetico-verificative atau deducto-hypotetico-verificative (Jujun, 1986: 6).
Kerangka
pemikhran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional dalam
mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam. Verifikasi secara empirik
berarti evaluasi secara objektif dari suatu peryataan hipotesis terhadap
kenyataan faktual. Ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain, selain
yang terkandung dalam hipotesis. Demikian juga verifikasi faktual terbuka atas
kritik terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis. Berpikir
ilmiah berbeda dengan kepercayaan relijius yang memang didasarkan atas
kepercayaan dan keyakinan, tetapi dalam cara berpikir ilmiah didasarkan atas dasar
prosedur ilmiah.
Kembali kepada pertanyaan epistemologi,
apakah kebenaran itu? Dalam hal ini Jujun menuturkan, bahwa ilmu dalam upaya
untuk menemukan kebenaran mendasarkan dirinya kepada beberapa kriteria
kebenaran: yaitu koherensi, korespondensi
dan pragmatisme.
c. Aksiologi
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki hakekat nilai yang pada umumnya ditinjau dari sudut pandang
kefilsafatan. Aksiologi meliputi nilai-nilai, para meter bagi apa yang disebut
sebagai kebenaran atau kenyataan itu.
Pertanyaan mengenai aksiologi menurut
Kattsoff dapat dijawab melalui tiga cara: Pertama,
nilai sepenuhnya berhakekat subjektif. Ditinjau dari sudut pandang ini,
nilai-nilai itu merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai
pelaku dan keberadaannya tergantung kepada pengalaman-pengalaman mereka; kedua, nilai-nilai merupakan
kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologis namun tidak terdapat dalam
ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat
diketahui melalui akal. Pendirian ini dinamakan objektivisme logis; ketiga,
nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan, yang
demikian ini disebut objektivisme
metafisik.
Dalam pendekatan aksiologis ini, Jujun
menyebutkan, bahwa pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk
kemaslahatan manusia. Dalam hal ini maka ilmu menurutnya dapat dimanfaatkan
sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan
memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta kelestarian atau keseimbangan
alam. Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh
dan disusun di pergunakan secara komunal dan universal.
KARAKTERISTIK BERPIKIR FILSAFAT
Oleh:
Anisatul Fuada
Secara etimologi Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani philos (kata kerjanya adalah philein) dan Sophia.
Philos berarti “pencinta” atau “pencari”. Sophia berarti “hikmat”
atau “kebijaksanaan” atau “pengetahuan”. Selain itu kata filsafat dalam bahasa
Inggris adalah Philosophy. Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata
serapan
dari bahasa Arab.
Secara
Terminologi adalah arti yang dikandung oleh istilah atau kata itu sendiri. Karena luasnya lingkungan pembahasan
ilmu filsafat, maka tidak mustahil kalau banyak di antara para filsafat
memberikan definisinya secara berbeda-beda.
Filsafat
bertujuan mencari hakikat dari sesuatu gejala atau fenomena secara mendalam, filsafat harus refleksi,
radikal, dan integral.
Ø
Refleksi
berarti manusia menangkap objeknya secara intensional dan sebagai hasil dari proses tersebut adalah
keseluruhan nilai dan makna yang diungkapkan dari objek-objek yang dihadapinya.
Ø
Radikal
berasal dari kata ‘ radix’ berarti akar, jadi filsafat berarti mencari
pengetahuan sedalam-dalamnya atau sampai ke akar-akarnya. Filsafat ingin menembus
hingga inti masalah dengan mencari manakah faktor-faktor yang fundamental yang
membentuk adanya sesuatu. Namun hal ini dibatasi oleh kemampuan manusia dapat
menemukannya, sebab filsafat tidak akan membicarakan yang jelas berada di luar
jangkauan akal budi yang sehat.
Ø
Integral
berarti mempunyai kecenderungan untuk memperoleh pengetahuan yang utuh sebagai
suatu keseluruhan, filsafat ingin memandang objeknya secara keseluruhan.
Ciri-ciri berfikir filosfi :
- Berfikir
dengan menggunakan disiplin berpikir yang tinggi.
- Berfikir
secara sistematis artinya teratur dan mengikuti metodologi.
- Menyeluruh artinya, pemikiran yang luas karena
tidak membataasi diri dan bukan hanya ditinjau dari satu sudut pandangan
tertentu. Pemikiran kefilsafatan ingin mengetahui hubungan antara
ilmu yang satu dengan ilmu – ilmu lain, hubungan ilmu dengan moral, seni,
dan tujuan hidup.
- Mendasar, artinya,
pemikiran yang dalam sampai kepada hasil yang fundamental atau esensial
objek yang dipelajarinya sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi
segenap nilai dan keilmuan. Jadi, tidak hanya berhenti pada periferis (
Kulitnya ) saja, tetapi sampai tembus ke kedalamannya.
- Spekulatif,
artinya hasil
pemikiran yang didapat dijadikan dasar bagi pemikiran selanjutnya. Hasil
pemikirannya selalu dimaksudkan sebagai dasar untuk menjelajah wilayah
pengetahuan yang baru. Meskipun demikian, tidak berarti hasil pemikiran
kefilsafatan itu meragukan, karena tidak pernah mencapai penyelesaian
Orang yang telah mengerti filsafat akan menjadi :
- Seseorang
tidak akan menganggap sesuatu masalah sepele
- Seseorang
tidak akan mudah dipengarui oleh sesuatu yang kebetulan pada waktu
tertentu
- Menjadi
bersikap bebas
- Dapat
mengatasi sesuatu prasangka tertentu
- Bersikap
jujur
- Mempertayakan
mengenai isi kebenaran sesuatu perbuatan tertentu dan pada akhirnya akan menemukan
kebenaran
Filsafat mencoba mengerti, menganalisis, menilai ,
dan menyimpulkan semua persoalan secara mendalam yang bersifat hakiki. Namun
kesimpulan filsafat masih relatif dan subjektif karena adanya sifat-sifat
alamia (kodrat) pada manusia yang melakukan filsafat yaitu manusia selalu dalam
proses perkembangan baik jasmani maupun rohani yang memiliki watak
subjektifitas, akan melahirkan kesimpulan yang subjektifitas pula. Hal inilah
yang menyebabkan aliran-aliran dan perbedaaan-perbedaan dalam filsafat. Dengan
demikian dapat
dikatakan kebenaran filsafat bersifat relative yang
mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan zaman dan peradaban manusia. Apa
yang dianggap benar oleh suatu masyarakatatau bangsa tertentu belum tentu akan
diterima sebagai suatu kebenaran oleh masyarakat atau bangsa lain meski dalam
kurun waktu yang sama. Sebaliknya oleh suatu masyarakat atau bangsa pada zaman
tertentu, mungkin akan berbeda pada masa berikutnya.
Komentar
Posting Komentar