TRIPUSAT PENDIDIKAN
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sampai detik ini,
pendidikan masih dipuja dan diyakini sebagai perantara terbaik dalam membentuk
generasi ideal masa depan sekaligus instrumen guna menyelamatkan gerak maju
sebuah bangsa. “Keyakinan” ini tetap ada tentu dengan lebih dulu mengesampingkan
fakta di lapangan, bahwa produk pendidikan ternyata tidak dapat dijamin
berperilaku terpuji. Bahkan hari ini, lembaga pendidikan telah menjadi “peserta
baru” sebagai tempat korupsi. Pengenyampingan ini penting agar kita tidak
psimis untuk ikut serta dalam mempercantik wajah pendidikan negeri ini.
Beragam sekali definisi
Pendidikan dari para pakar. UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pun mempunyai versi sendiri. UU yang dibuat tahun 2003 ini mendefinisikan
Pendidikan sebagai “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara” (Bab I, Pasal 1).[1]
Untuk mengetahui tujuan
Pendidikan Nasional, menarik kesimpulan Sembodo Ardi Widodo pada beberapa
definisi Pendidikan, yaitu mewujudkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokrasi serta
bertanggungjawab.[2]
Namun demikian, hakikat
pendidikan tak lain adalah pemanusiaan manusia itu sendiri. Sebab sering
sekali, dalam tindak-tanduk kita, dengan sadar atau tidak, kita telah
kehilangan unsur terpenting dari kita itu, kemanusiaan. Contoh yang paling
sederhana adalah saat kita dengan sadar membiarkan kesewenang-wenangan terjadi.
Mirisnya lagi, kita merasa benar karena kita bukan pelakunya. Jadi, pendidikan
sejatinya menemukan, membentuk, dan mengembangkan kemanusiaan manusia, sebagai
pelaku maupun user pendidikan.
Doni Koesoema bahkan
mempertajam hakikat pendidikan ini. Baginya, hakikat pendidikan adalah proses
penyempurnaan diri manusia terus menerus yang berlangsung dari generasi yang
satu ke generasi yang lain.[3] Pandangan Doni
ternyata didasarkan pada ungkapan Immanuel Kant (1724-1804), yaitu bahwa “Manusia hanya dapat menjadi sungguh-sungguh
manusia melalui pendidikan dan pembentukan diri yang berkelanjutan. Manusia
hanya dapat dididik oleh manusia lain yang juga telah dididik oleh manusia yang
lain.”[4]
Pandangan Immanuel Kant
sama dengan tujuan pendidikan Islam, yakni melahirkan pribadi manusi yang
sempurna, beragama, kreatif, produktif dan peka terhadap situasi lingkungannya.
Akan tetapi realitas Pendidikan Islam saat ini bisa dibilang telah mengalami
masa intellectual deadlock. Diantara indikasinya adalah;pertama,
minimnya upaya pembaharuan, dan kalau toh ada kalah cepat
dengan perubahan sosial, politik dan kemajuan iptek. Kedua, praktek
pendidikan Islam sejauh ini masih memelihara warisan yang lama dan tidak banyak
melakukan pemikiran kreatif, inovatif dan kritis terhadap isu-isu aktual. Ketiga,
model pembelajaran pendidikan Islam terlalu menekankan pada pendekatan
intelektualisme-verbalistik dan menegasikan pentingnya interaksi edukatif dan
komunikasi humanistik antara guru-murid. Keempat, orientasi
pendidikan Islam menitikberatkan pada pembentukan .abd atau
hamba Allah dan tidak seimbang dengan pencapaian karakter manusia muslim
sebagai khalifah fi al-ardl.[5]
Padahal, di sisi lain
pendidikan Islam mengemban tugas penting, yakni bagaimana mengembangkan
kualitas sumber daya manusia (sumber daya lahir batin) agar umat Islam dapat
berperan aktif dan tetap survive di era globalisasi. Dalam
konteks ini Indonesia sering mendapat kritik, karena dianggap masih tertinggal
dalam melakukan pengembangan kualitas manusianya, baik secara produksi dan
kepekaan sosial. Padahal dari segi kuantitas Indonesia memiliki sumber daya
manusia melimpah yang mayoritas beragama Islam.
Pendidikan Islam telah
merubah haluan, yang semula hendak melahirkan individu yang mulia lahir batin,
ternya direduksi hanya sebagai hamba Allah semata. Dalam membentuk pribadi yang
sempurna tentu harus ada faktor pendukung yang ikut serta dalam mempengaruhi
anak (anak didik) menjadi pribadi shaleh, yaitu pribadi yang melakukan hubungan
dengan yang transinden, sosial dan lingkungan. Maka faktor pendudukung yang
tepat adalah keluarga, masyarakat dan sekolah.
Manusia sepanjang hidupnya
sebagian besar akan menerima pengaruh dari tiga lingkungan pendidikan yang
utama tersebut, keluarga, sekolah, dan masyarakat dan ketiganya biasa disebut
dengan tripusat pendidikan.
Istilah tripusat pendidikan
diperkenalkan oleh Ki Hajar Dewantoro. Yang dimaksud dengan tripusat pendidikan
adalah setiap pribadi manusia akan selalu berada danmengami perkembangan dalam
tiga lembaga pendidikan, yakni: keluarga, masyarakat, dan sekolah. Ketiga
lembaga ini secara bertahapdan terpadu mengmban tanggung jawab pendidikan bagi
generasi mudanya. Kemudian, tripusat pendidikan ini dijadikan prinsip
pendidikan, bahwa pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan didalam
lingkungan rumah tangga, masyarakat dan sekolah.[6] Ketiga lembaga
pendidikan tersebut hendaknya menjadi tangan panjang untuk membantu mencapai
tujuan pendidikan Islam yang ideal, yaitu manusia yang berbudaya, beradap dan
beragama.
Pada masyarakat yang masih
sederhana, keluarga mempunyai dua fungsi; fungsi konsumsi dan fungsi produksi.
Kedua fungsi ini mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi anak. Kehidupan masa
depan anak pada masyarakat tradisional tidak jauh berbeda dengan kehidupan
orang tuannya. Pada masyarakat semacam ini, orang tua yang mengajar pengetahuan
dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup. Orang tua pula yang melatih dan
memberi petunjuk tentang berbagai aspek kehidupan, baik agama, sosial dan
lingkungan. Sampai anak menjadi dewasa dan berdiri sendiri.
Tulisan ini bermaksud untuk
menganilisis peran keluarga, masyarakat, dan sekolah didalam pendidikan Islam
untuk ikut serta menciptakan individu-individu yang bergama, bermoral dengan
masyarakatnya serta lingkungan alam sekitar. Di dalam tulisan ini kami mengkaji
peran ketiganya dari kacamata sosiologis
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
pengertian keluarga, masyarakat dan sekolah ?
2. Bagaimana
konsep tripusat pendidikan menurut pendidikan Islam ?
3. Bagaimana peran keluarga,
masyarakat, dan sekolah dalam pendidikan Islam ?
C.
Tujuan
Pembahasan
1. Untuk
mengetahui pengertian keluarga, masyarakat dan sekolah
2. Untuk
mengetahui konsep tripusat pendidikan
menurut pendidikan Islam
3.
Untuk mengetahui peran
keluarga, masyarakat, dan sekolah dalam pendidikan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Keluarga, Masyarakat dan Sekolah
1.
Pengertian
Keluarga
Secara historis, keluarga
terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan
organisasi terbatas, dan mempunyai ukuran yang minimum, terutama
pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan. Dengan kata lain
keluarga merupakan bagian dari masyarakat total yang lahir dan berada di
dalamnya, yang secara berangsur-angsur akan melepaskan ciri-ciri tersebut
karena tumbuhnya mereka kearah pendewasaan. Keluarga merupakan institusi sosial
yang bersifat universal multifungsional, yaitu fungsi pengawasan, sosial,
pendidikan, keagamaan, perlindungan, dan rekreasi.
Dengan demikian keluarga
memiliki system jaringan interaksi yang lebih
bersifat hubungan interpersonal dimana masing-masing anggota
dalam keluarga dimungkinkan mempunyai intensitas hubungan satu
sama lain, antara ayah dan ibu, ayah dan anak, maupun antara anak dengan anak.[7] Di
dalam keluarga seorang anak belajar bersosialisasi dan berinteraksi agar ketika
dewasa mampu melakukan hubungan yang baik dengan lingkungan dan masyarakat
sekitar. Keluarga merupakan miniaur terkecil dari masyarakat yang bertanggung
jawab mendidik individu anak agar menjadi masyarakat yang bermoral.
Dalam pandangan lain dijelaskan,
keluarga adalah kelembagaan masyarakat yang memegang peran kunci dalam proses
pendidikan.[8] Menurut
pandangan ini, anggota keluarga berperan penting dalam proses pembentukan dan
pengembangan pribadi anak. Hal ini bertujuan agar anak dimasa dewasanya nanti
mampu menjadi anggota masyarakat yang baik dan memiliki jiwa kepribadian
bertanggung jawab.
Keluarga adalah wadah yang
sangat penting di antara individu dan group, dan merupakan kelompok sosial yang
pertama di mana anak-anak menjadi anggotanya.[9] Disinilah anak menempa
dirinya menuju proses kedewaasan. Padal masa ini anak akan banyak melakukan
imitasi dari apa yang dilakukan oleh orang tu sebagai bekal dimasa dewasanya
nanti. Dengan demikian keluarga harus memberikan contoh yang baik dengan
menjadi orang tua yang ideal. Orang tua ideal disini lebih menekankan pada
kepentinngan bersikap, seperti logis, etis dan estetis.
Orang tua yang bersikap
logis harus menampakkan mana perbuatan yang benar dan salah atau baik, buruk.
Sikap ini ditampilkan oleh orang tua agar seorang anak mampu membedakan
tingkahlaku mereka dalam melakukan hubungan sosial, baik dengan teman-temannya
yang seumuran atau dikala dewasa nanti. Selain itu, bersikap etis sangat
penting dalam menjelaskan dasar dari setiap perbuatan. Dengan kata lain,
orang tua harus bersikap yang didasarkan pada patokan tertentu, sehingga tidak
asal didalam bertindak dan member arahan. Orang tua harus menciptakan suasana
menyenangkan bagi seorang anak. Memberi ruang yang kondusif bagi anak untuk
melakukan aktifitas, seperti bermain, belajar, berkreasi dan sebagainya, atau
bersikap estetis.[10]
2.
Pengertian
Masyarakat
Manusia
merupakan makhluk yang memiliki keinginan untuk menyatu dengan sesamanya serta
alam lingkungan di sekitarnya. Dengan menggunakan pikiran, naluri, perasaan,
keinginan dansebagainya manusia memberi reaksi dan melakukan interaksi dengan
lingkungannya. Pola interaksi sosial dihasilkan oleh hubungan yang
berkesinambungan dalam suatu masyarakat.
Masyarakat
bukanlah hanya sekedar suatu penjumlahan individu semata, melainkan suatu
sistem yang dibentuk dari hubungan antar mereka, sehingga menampilkan suatu
realita tertentu yang mempunyai ciri-cirinya sendiri. Masyarakat merupakan
gejala (fenomena) sosial yang ada dalam kehidupan ini diseluruh dunia. Oleh karena
itu masyarakat oleh sosiologi dijadikan sebagai objek kajian atau suatu hal
yang dipelajari terus-menerus. Karena sifat dari masyarakat itu sangat
kompleks, banyak para akhli yang menjelaskan masyarakat dari sudut pandang yang
berbeda-beda.
Menurut
Mac Iver dan Page, masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial, dan selalu
berubah. Koentjaraningrat mendefinisikan masyarakat adalah kesatuan hidup
mahluk-mahluk menusia yang terikat oleh suatu sistem adat istiadat tertentu.
Definisi mengenai masyarakat secara khusus dapat kita rumuskan sebagai
berikut: Masyarakat adalah
kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat
tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas
bersama.
Ada
beberapa ciri khas kehidupan masyarakat kolektif, yaitu: (1) pembagian kerja
yang tetap antara berbagai macam sub-kesatuan atau golongan individu dalam
kolektif untuk melaksanakan berbagai macam fungsi hidup; (2) ketergantungan
individu kepada individu lain dalam kolektif sebagai akibat dari pembagian
kerja; (3) kerjasama antar-individu yang disebabkan karena sifat
ketergantungan; (4) komunikasi antar individu yang diperlukan guna melaksanakan
kerjasama; (5) diskriminasi yang diadakan antara individu-individu warga
kolektif dan individu-individu dari luar.[11]
3.
Pengertian
Sekolah
Sekolah
adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa (atau “murid”) di
bawah pengawasan guru. Ada juga sekolah non-pemerintah, yang disebut sekolah
swasta. Sekolah swasta mungkin untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus ketika
pemerintah tidak bisa memberi sekolah khusus bagi mereka; keagamaan, seperti
sekolah Islam, sekolah Kristen, hawzas, yeshivas dan lain-lain, atau sekolah
yang memiliki standar pendidikan yang lebih tinggi atau berusaha untuk
mengembangkan prestasi pribadi lainnya. Sekolah untuk orang dewasa meliputi
lembaga-lembaga pelatihan perusahaan dan pendidikan dan pelatihan militer.[12]
Dalam
kehidupan primitif, anak mempelajari segala sesuatu dari kedua orang tuanya dan
masyarakatnya dengan metode tidak menentu dan tidak terarah. Kadangkalah dengan
jalan ikut-ikutan (taqlid), dengan jalan perenungan dan peniruan (imitasi) yang
lebih terarah.
Sekolah
merupakan sarana yang secara sengaja dirancang untuk melaksanakan pendidikan.
Karena kamajuan zaman, maka keluarga tidak mungkin lagi memenuhi seluruh
kebutuhan dan aspirasi anak terhadap iptek. Semakin maju suatu masyarakat,
semakin penting peranan sekolah dalam mempersiapkan generasi muda sebelum masuk
dalam proses pembangunan masyarakat itu.
Sekolah
merupakan tempat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan pembinaan kepribadian.
Di sekolah seorang anak mencoba untuk melakukan dialog dengan guru,
berinteraksi dengan sahabat-sahabatnya dan melakukan proses menghargai dan
mentaati aturan.
B.
Konsep
Tripusat Pendidikan Menurut Pendidikan Islam
- Pendidikan
keluarga
Menurut
Pendidikan Islam, konsep pendidikan keluarga adalah pendidikan yang dilakukan
oleh orang tua terhadap anak atas dorongan kasih saying yang dilembagakan islam
dalam bentuk kewajiban dan akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah
SWT.
Orang tua adalah orang yang pertama memikul tanggung
jawab pendidikan terhadap anak, secara alami anak pada masa-masa awal
kehidupannya berada ditengah-tengah ayah dan ibunya sehingga dasar-dasar pandangan
hidup, sikap hidup serta ketrampilan hidup banyak tertanam sejak anak berada
ditengah-tengah orang tuanya.
Dalam pendidikan anak, Ibu dan Ayah masing-masing
mempunyai tanggung jawab yang sama. Hadits Nabi yang menyatakan bahwa “Ibu
adalah pengembala dirumah tangga suaminya dan bertanggung jawab atas
gembalanya” sesungguhnya mengisyaratkan kerja sama Ibu dan Ayah dalam
pendidikan anak, hanya saja terutama dalam lingkungan keluarga yang menuntut
ayah lebih banyak berada diluar rumah untuk mencari nafkah dan ibu lebih banyak
dirumah untuk mengatur urusan rumah.7
Dalam hal ini Allah telah berfirman dalam Al Qur’an
surat At Tahrim ayat 6 yang berbunyi:
يايهاالذين
امنوا قوا انفسكم واهليكم نارا.....(التحريم : 6)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman peliharalah
dirimu dan keluargamu dari siksa neraka….”. (QS.
At Tahrim : 6)
Disinilah letak tanggung jawab orang tua untuk
mendidik anak-anaknya, karena anak adalah amanat Allah yang diberikan kepada
orang tua yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban atas pendidikan
anak-anaknya.
Sedangkan didalam hadits Nabi SAW secara jelas
Beliau mengisyaratkan lewat sabdanya:
كل
مولود يولد على الفطرة وانما ابواه يهودانه اوينصرانه اويمجسانه
Artinya: “Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan suci, maka orang tuanyalah yang dapat menjadikannya Yahudi,
Nasrani atau Majusi”.8
Berdasarkan
hadits tersebut jelaslah bahwa anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka
mendidiknya adalah sudah menjadi tanggung jawab orang tua. Orang tua
berkewajiban mendidik anak-anaknya dalam hal pendidikan agama dan umum termasuk
didalamnya pendidikan ketrampilan, hal ini dimaksudkan agar kelak anak-anak itu
akan dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akherat.
- Pendidikan sekolah
Konsep
Pendidikan Sekolah menurut Pendidikan Islam adalah suatu lembaga pendidikan
formal yang efektif untuk mengantarkan
anak pada tujuan yang ditetapkan dalam Pendidikan Islam. Sekolah yang dimaksud
adalah untuk membimbing, mengarahkan dan mendidik sehingga lembaga tersebut
menghendaki kehadiran kelompok-kelompok umur tertentu dalam ruang-runag kelas
yang dipimpin oleh guru untuk mempelajari kurikulum bertingkat.9
Bertolak
dari konsep tersebut pendidikan sekolah dalam mengantarkan dan mengarahkan anak
untuk mencapai suatu tujuan pendidikan Islam, tidak terlepas dari usaha dan
upaya guru yang telah menerima limpahan tanggung jawab dari orang tua atau
keluarga. Sebab berdasarkan kenyatan orang tua tidak cukup mampu dan tidak
memiliki waktu untuk mendidik, mengarahkan anak secara baik dan sempurna. Hal
itu disebabkan karena keterbatasan dan kesibukan orang tua dalam memenuhi
kebutuhan anaknya setiap saat.
Maka dari
itu tugas guru dan pimpinan sekolah disamping memberikan ilmu-ilmu pengetahuan,
keterampilan-keterampilan juga mendidik anak beragama dan berbudi pekerti
luhur. Disinilah sekolah berfungsi sebagai pembantu keluarga dalam memberikan
pendidikan dan pengajaran kepada anak didik, sekolah merupakan kelanjutan dari
apa yang telah diberikan di dalam keluarga.
Hal ini
dimaksudkan agar anak kelak memiliki kepribadian yang sesuai dengan ajaran
islam yaitu kepribadian yang seluruh aspeknya baik itu tingkah laku, kegiatan
jiwa maupun filsafat hidup dan kepercayaannya menunjukkan pengabdian kepada
Allah SWT.10
- Pendidikan masyarakat
Pendidikan
dalam Islam juga merupakan tanggung jawab bersama setiap anggota masyarakat.
Sebab masyarakat adalah kumpulan individu-individu yang menjalani satu
kesatuan, apabila terjadi kerusakan pada sebagiannya maka sebagian yang lain
akan terancam kerusakan pula.
Masyarakat
harus mampu mengaplikasikan konsep dan ketrampilan kedalam usaha-usaha yang
nyata secara tepat dan benar, dan tidak boleh melakukan kesalahan-kesalahan
ataupun membiarkan anggota masyarakat lain melakukan kesalahan.
Oleh
sebab itu setiap individu hendaknya peduli terhadap kebaikan kesatuannya,
setiap anggota masyarakat bertanggung jawab atas kebaikan lainnya. Dengan
perkatan lain setiap anggota masyarakat bertanggung jawab atas pendidikan
lainnya, tidak bisa memikulkan tanggung jawab hanya kepada orang tua dan guru ,
atau setidaknya bila melihat kemungkaran hendaknya mencegahnya sesuai dengan
kemampuannya, sabda Nabi Muhammad SAW:
من
راى منكم منكرا فليغيره بيده فان لم يستطيع فبلسانه فان لم يستطيع فبقلبه
وذالك
اضعف الايمان. (رواه مسلم)
Artinya: “Barang siapa diantara
kalian melihat suatu kemungkaran maka hendaknya dia merubahnya dengan tangannya
apabila tidak mampu maka dengan lisannya dan apabila tidak mampu juga maka
dengan hatinya dan yang demikian itu merupakan perwujudan iman yang paling
lemah”. (HR. Muslim).
Menurut
pendidikan Islam, konsep pendidikan masyarakat itu adalah usaha untuk
meningkatkan mutu dan kebudayaan agar terhindar dari kebodohan. Usaha-usaha
tersebut dapat diwujudkan melalui berbagai macam kegiatan masyarakat seperti
kegiatan keagamaan, pengajian/ ceramah keagamaan, sehingga diharapkan adanya
rasa memiliki dari masyarakat akan dapat membawa suatu pembaharuan dimana
masyarakat memiliki tanggung jawab terlebih-lebih untuk meningkatkan kwalitas
pribadi dibidang Ilmu, ketrampilan, kepekaan perasaan dan kebijaksanan atau
dengan perkataan lain peningkatan ketiga wawasan kognitif, afektif maupun
psikomotor.11
C.
Peran Keluarga, Masyarakat,
dan Sekolah Dalam Pendidikan Islam
1.
Peran Keluarga dalam
Pendidikan Islam
Perintah
untuk mendidik seorang anak agar selamat dari siksaan neraka pertamakali
dibebankan kepada keluarga oleh Islam. Hal ini tampak dari firman Allah yang
artinya; “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..”( Q.S. Al-Tahrim, 6), ayat
ini mewajibkan kepada bangunan rumah tangga untuk mengajarkan suatu kebajikan
bagi seorang anak.
Para
sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam menentukan
kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka berteori bahwa keluarga adalah unit yang
penting sekali dalam masyarakat, Oleh karena itu para sosiolog yakin, segala
macam kebobrokan masyarakat merupakan akibat lemahnya institusi keluarga.
Bagi
seorang anak keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertunbuhan dan
perkembangnnya. Menurut resolusi Majelis Umum PBB, fungsi utama keluarga adalah
sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak,
mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di
masyarakat dengan baik, serta, memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat
guna tercapainya keluarga sejahtera”.
Keluarga
merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi
departemen kesehatan , pendidikan adan kesejahteraan. Jika keluarga gagal untuk
megajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan
menguasai kemampuan- kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagoi institusi
lain untuk memperbaiki kegagalannya. Karena kagagalan keluarga dalam membentuk
karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang berkarakter buruk
atau tidak berkarakter.
Oleh
karena itu setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa
sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah.Dalam pendidikan Islam
agar anak menjadi pribadi yang shaleh, taat beragama perintah pertama
Rasulullah adalah menyayangi sang anak, menampakkan wajah segirang kepada
anak-anaknya. Sebagainya sabda Rasul, yang artinya “Ya Allah sayangilah
keduanya, karena sesungguhnya aku menyayangi keduanya” (HR. Bukhari).
Hadits
ini disabdakan oleh Rasulullah ketika beliau memangku usamah bin zaid lalu
menudukkannya di atas paha beliau dan menudukkan hasan dipaha lainnya.[13]Menyayangi seorang anak
berarti memenuhi semua kebutuhannya baik fisik maupun psikis (kebutuhan jiwa).
Orang tua harus mampu mengenali kebutuhan kasih sayang seorang anak dan
kebutuhan jiwa mereka baik pada masa kanak-kana atau remaja untuk dapat
memberikan bimbingan sebagai bekal masa dewasanya.[14]
Selain
diatas, diantara kewajiban kedua orang tua sebagai pendidikan di rumah tangga
adalah:
a.
Membiasakan anak supaya
mengingat keagungan dan nikmat Allah swt serta menunjukkan dalil-dalil agama.
b.
Menampakkan keteguhan sikap
di hadapan anak dalam menghadapi berbagai bencana.
c.
Di dalam keluarga harus
terjalin interaksi yang Islami, kondusif, suami-istri tidak tengkar.
d.
Menerapkan budaya yang
Islami, seperti membaca al-qur’an, shalat berjamat dan sebagainya.
Ayah,
ibu dan anggota keluarga adalah demikian penting dalam proses pembentukan dan
pengembangan pribadi. Keluarga wajib berbuat sebagai ajang yang diperlukan
sekolah dalam hal melanjutkan pemantapan sosialisasi kognitif. Demikian juga
keluarga dapat berperan sebagai sarana pengembangan kawasan afektif dan
psikomotor. Dalam keluarga diharapkan berlangsungnya pendidikan yang berfungsi
pembentukan kepribadian sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk
susila, dan makhluk keagamaan.[15]
Agar
seorang keluarga lebih efektif didalam mendidik kepribadian seorang anak, maka
melakukan proses nuclear family[16] ciri-ciri
dari proses nuclear family adalah: 1. Berbentuk kelompok kecil
(keluarga yang hanya terdiri dari suami, istri, dan anak-anaknya). 2. Hubungan
antar anggota keluarga sangat intim. 3 Bersifat face to face. 4 ada
ikatan sosial dan emosional, sehingga masing-masing anggota memperlakukan
anggota yang lain seperti tujuan, dan bukannya alat untuk mencapai tujuan. 5.
Bersifat tetap. 6. Hubungan antara yang tuda dan yang muda tersusun dalam
hirarkhi status tertentu. Keluarga yang demikian merupakan sistem jaringan
interaksi antar pribadi, tempat menciptakan persahabatan, lahirnya rasa
kecintaan, antaro anggota keluarg, terciptanya rasa aman, dan hubungan antar
pribadi bersifat kontinu.
2.
Peran Masyarakat dalam
Pendidikan Islam
Masyarakat
sebagai kontrol sosial harus mampu memberikan contoh dan pegangan bagi anak
muda yang lemah dalam pengetahuan agama, sosial dan sebagainya. Dan seandainya
melihat orang lain melakukan kemungkaran maka hendaknya ia menegurnya.
Didalam
pendidikan, masyarakat harus ikut serta dalam mencerdaskan generasi
selanjutnya, baik melalui pendidikan di mushalla, penyelenggaraan ceramah atau
membangun lembaga sekolah masyarakat. Sekolah masyarakat bisa didirikan berangkat
dari asumsi bahwa masyarakat sebagai dasar dari pendidikan dan masyarakat
sebagai pendidik (educative agent). Sifat sekolah masyarakat adalah; 1.
Mengajarkan anak-anak untuk dapat mengembangkan dan menggunakan sumeber-sumber
dari keadaan setempat. 2. Sekolah ini melayani keseluruhan masyarakat, tidak
hanya anak-anak. Sehingga nantinya sesuatu yang tidak ada di sekolah formal
masyarakat mampu menjelaskannya.
Pendidikan
haruslah membuka jiwa manusia terhadap alam jagat dan Penciptanya, terhadap
kehidupan dan benda hidup, dan terhadap bangsa-bangsa dan kebudayaan-kebudayaan
yang lain. Islam tidak mengenal fanatisme, perbedaan kulit atau sosial, sebab
di dalam Islam tidak ada rasialisme, tidak ada perbedaan antara manusia kecuali
karena taqwa dan iman. Firman Allah swt:
“Wahai
manusia, Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami
jadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku supaya mengenal satu sama
lain. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang
paling bertaqwa.” (QS.
Al-Hujurat: 13)
Jadi
pendidikan Islam adalah pendidikan kemanusiaan yang berdiri di atas
persaudaraan seiman (tidak ada beda antara orang Arab atau orang ‘Ajam kecuali
karena taqwa). Pendidikan Islam adalah pendidikan universal yang diperuntukkan
kepada umat manusia seluruhnya.[17]
Pendidikan
Islam menginginkan adanya egalitereanisme baik dalam penyelenggaraannya, proses
pembelajaran ataupun didalam menerima peserta didik. Didalam pendidkan Islam
semua peserta didik sama kedudukannya kecuali taqwa disisi Allah. Masyarakat
sebagai kelompok sosial harus mampu menjadi kontrol penyelenggaraan pendidikan
di lembagai sekolah. Pendidikan menjadi entitas yang seakan tidak berdiri
sendiri. Ia senantiasa berkelindan dan berdialektika dengan dengan konteks
sosial masyarakat dan negara. Standart keberhasilan juga tidak akan pernah
lepas dari kontribusi kongkrit pendidikan terhadap proyek kebudayaan dan
perhelatan akbar sebuah peradaban.
Tidak
heran apabila Ahmad Tafsir mengatakan bahwa sekolah adalah miniatur masyarakat
atau masyarakat dalam bentuk mini. Jika orang ingin meneropong
masyarakat teroponglah sekolahnya. Bila sekolah penuh disiplin, maka
masyarakatnya tak jauh beda, dan jika sekolah penuh dengan penipuan, maka
penipuan itu juga terjadi dalam masyarakat.[18] Lembaga pendidikan dalam
kontek ini seakan menjadi cermin dari sebuah kehidupan masyarakat. Ketika
sekolah sudah acuh dengan orang miskin, kaum difabel, maka dapat disimpulkan
masyaraktnyapun lebih parah.
Akan
tetapi pendidikan Islam menginginkan masyarakat menjadi kontrol terhap
penyelenggaraan pendidikan, apakah yang dipraktikkan di sekolah masih sesuai
dengan ajarang Islam, jiwa kemanusiaan, dan konsep Baldatun Thayyibatun
Warabbun Ghafur.
Pendidikan
Islam memandang bahwa masyarakat muslim itu satu ikatan dan satu kehidupan. Ini
didasarkan pada hadis Rasulullah yang artinya:“engkau melihat orang-orang
mukmin dalam hal saling mencintai dan menyayanginya seperti satu tubuh; jika
salah satu anggotanya terserang penyakit maka seluruh tubuh akan tidak dapat
tidun dan merasa deman”[19]
Hadits
ini mengabarkan kepada sesama umat muslim untuk saling membantu. Implikasi
edukatifnya mewajibkan masyarakan untuk membantu saudara seagama yang miskin
agar bisa mengenyam pendidikan juga. Bukan sebaliknya, malah melecehka mereka
dan memandang mereka sebelah mata.
Disamping
sabda Rasul, Allah berfirman di dalam al-qur’an: “…
dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada
mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah
kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (Q.S
al-Maidah: 2)
Berdasarkan
ayat di atas, pendidikan Islam hendak mengenyampingkan rasa egois dan acuh
terhadap kaum lemah. Pendidikan bukan hanya milik mereka yang kaya, yang ber IQ
tinggi melainkan juga milik segenap manusia. Konsep pendidiakan Islam
selanjutanya adalah tolong menologn antara sesama manusia. Mereka yang terpuruk
pendidikan lantaran persoalan ekonomi harus diangkis bareng-bareng oleh
masyarakat yang lebih mampu. Sesuai dengan ayat di atas pendidikan Islam hanya
mengajarkan kebaikan kepada semua manusia tanpa memandang status sosial.
Konsep
keterbukaan dan humanisasi dalam pendidikan Islam senada dengan nafas sosiologi
profetik. Sosiologi profetik senapas dengan kecenderungan ilmu sosial kritis
yang memberi pemihakan pada transformasi sosial dan pemberdayaan masyarakat.
Transformasi dan humanisme teosentrisme yang mengangkat kembali martabat
manusia. Dengan cara ini, manusia memusatkan perhatian pada Tuhan, tetapi
tujuannya untuk kepentingan manusia.[20] Humanisasi
diperlukan karena masyaraka sedang berada dalam tiga keadaan akut, yaitu
dehumanisasi (obyektivasi teknologis, ekonomis, budaya, dan negara),
agresivitas (agresivitas kolektif dan kriminalitas), dan loneliness (privatisasi,
individualisasi).[21]
Kebiasaan
hidup sendiri, kapitalisme pendidikan, kriminalitas sudah menjangkit lembaga
pendidikan. Banyak lembaga pendidikan yang membuka jurasan baru dan menaikkan
biaya pendidikan hanya menuruti kepentingan pasar dan ekonomi. Pendidikan Islam
sangat membenci praktik seperti itu, masyarakat diharapkan mampu menjadi
kontrol yang kuat terhadap lembaga pendidikan. Dalam proses penyadaran para
praktisi pendidikan, masyarakat dapat membuka ruang dialekatika dengan mereka.
Selain itu, jika terbuka oknum pendidikan sudah melupakan ajaran Islan,
kemanusiaan maka harus disangsi secara moral sebagai cambukan agar tidak
diulangi dan teruskan.
3.
Peran
Sekolah Dalam Pendidikan Islam
Hasan
Langgulung memandang bahwa pendidikan dewasa ini berada dalam kondisi yang
sangat memprihatinkan. Untuk itu, ia menawarkan bahwa tindakan yang perlu
diambil ialah dengan memformat kurikulum pendidikan Islam dengan format yang
lebih integralistik dan bersifat universal. Hasan Langgulung menjabarkan
beberapa aspek yang termasuk dalam dasar-dasar pokok pendidikan Islam, yaitu:
a.
Keutuhan
(syumuliyah)
Pendidikan
Islam haruslah bersifat utuh, artinya memperhatikan segala aspek manusia:
badan, jiwa, akal dan rohnya. Pendidikan dalam rangka pengembangan SDM,
ditemukan al-Qur.an, menghadapi peserta didiknya dengan seluruh totalitas
unsur-unsurnya. Al-Qur.an tidak memisahkan unsur jasmani dan rohani tetapi
merangkaikan pembinaan jiwa dan pembinaan akal, sekaligus tidak mengabaikan
jasmaninya. Karena itu, seringkali ditemukan uraian-uraiannya disajikan dengan
argumentasi logika, disertai sentuhan-sentuhan kepada kalbu. Hal ini merupakan
salah satu prinsip utama dalam pengembangan kualitas.
Diharapkan
dengan melaksanakan prinsip ini, bukan hanya kesucian jiwa yang diperoleh,
tetapi juga pengetahuan yang merangsang kepada daya cipta, karena daya ini
dapat lahir dari penyajian materi secara rasional, serta rangsangan
pertanyaan-pertanyaan melalui diskusi timbal balik.[22]
b.
Kesinambungan
/ Keseimbangan
Pendidikan
Islam haruslah bersifat kesinambungan dan tidak terpisah-pisah dengan
memperhatikan aspek-aspek berikut: 1) Sistem pendidikan itu perlu memberi peluang
belajar pada tiap tingkat umur, tingkat persekolahan dan setiap suasana. Dalam
Islam tidak boleh ada halangan dari segi umur, pekerjaan, kedudukan, dan
lain-lain. 2) Sistem pendidikan Islam itu selalu memperbaharui diri atau
dinamis dengan perubahan yang terjadi. Sayyidina Ali r.a. pernah memberikan
nasehat: .Ajarkan anak-anakmu ilmu lain dari yang kamu pelajari, sebab mereka
diciptakan bagi zaman bukan zamanmu..
c.
Keaslian
Pendidikan
Islam haruslah orisinil berdasarkan ajaran Islam seperti yang disimpulkan
berikut ini: 1) Pendidikan Islam harus mengambil komponen-komponen,
tujuan-tujuan, materi dan metode dalam kurikulumnya dari peninggalan Islam
sendiri sebelum ia menyempurnakannya dengan unsur-unsur dari peradaban lain. 2)
Haruslah memberi prioritas kepada pendidikan kerohanian yang diajarkan oleh
Islam. 3) Pendidikan kerohanian Islam sejati menghendaki agar kita menguasai
bahasa Arab, yaitu bahasa al-Qur.an dan Sunnah. 4) Keaslian ini menghendaki
juga pengajaran sains dan seni modern dalam suasana perkembangan dimana yang
menjadi pedoman adalah aqidah Islam.
d.
Bersifat
Ilmiah
Pendidikan
Islam haruslah memandang sains dan teknologi sebagai komponen terpenting dari
peradaban modern, dan mempelajari sains dan teknologi itu merupakan suatu
keniscayaan yang mendesak bagi dunia Islam jika tidak mau ketinggalan .kereta
api.. Selanjutnya memberi perhatian khusus ke berbagai sains dan teknik modern
dalam kurikulum dan berbagai aktivitas pendidikan, hanya ia harus sejalan
dengan semangat Islam.
e.
Bersifat
Praktikal
Kurikulum
pendidikan Islam tidak hanya bisa bicara secara teoritis saja, namun ia harus
bisa dipraktekkan. Karena ilmu tak akan berhasil jika tidak dipraktekkan atau
realita. Pendidikan Islam hendaknya memperhitungkan bahwa kerja itu adalah
komponen terpenting dalam kehidupan sehari-hari. Kerja itu dianggap ibadah.
Jadi pendidikan Islam itu membentuk manusia yang beriman kepada ajaran Islam,
melaksanakan dan membelanya, dan agar ia membentuk pekerja produktif dalam
bidang ekonomi dan individu yang aktif di masyarakat
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat
disimpulkan
1.
Keluarga
adalah wadah yang sangat penting di antara individu dan
group, dan merupakan kelompok sosial yang pertama di mana anak-anak menjadi
anggotanya.
Masyarakat adalah kesatuan
hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu
yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama dan sekolah adalah sebuah
lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa (atau “murid”) di bawah pengawasan
guru
2.
Konsepsi tripusat pendidikan mencakup pendidikan keluarga,
masyarakat dan sekolah
3.
Peningkatan kontribusi dalam perannya masing
masing, Keluarga, sekolah, dan masyarakat terhadap perkembangan peserta didik,
diprasyaratkan pula keserasian kontribusi ini, serta kerjasama yang erat dan
harmonis antar ketiga pusat pendidikan anak tersebut. Berbagai upaya harus
dilakukan, program pendidikan dari setiap unsur sumber pendidikan yaitu
keluarga, sekolah dan masyarakat diharapkan dapat saling mendukung dan memperkuat
antara satu dengan yang lainnya. Dengan masing masing peran
yang dilakukan dengan baik oleh keluarga, sekolah maupun masyarakat dalam
pendidikan, yang saling memperkuat dan saling melengkapi antara ketiga pusat
itu, akan memberi peluang besar mewujudkan sumber daya manusia terdidik yang
bermutu dan insan shaleh
DAFTAR PUSTAKA
Adurrahman an-Nawawi, Prinsip-Prinsip
dan Metode Pendidikan Islam: Dalam Keluarga, Di Sekolah dan Di Masyarakat,(Bandung:
CV.
Dipenogoro,1989) cet. Pertama
Abu Ahmadi, Sosiologi
Pendidikan, (Jakarta:Rineka Cipta,2004) , Cet, Kedua
Abd. Rachman Assegaf, ‘Membangun
Format Pendidikan Islam di Era Globalisasi’, dalam Imam Machali dan
Musthofa (Ed.), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2004), Cet. I
Diktat Kuliah Filsafat Pendidikan
Islam, yang diampuh oleh H. Maragustam Siregar, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2010
Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter:
Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta:Grasindo,2007)
Heri Noer Ali, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1999)
Imam Barnadib, Pemikiran
Tentang Pendidikan Baru, (Yogyakarta:Penerbit Andi Offiset, 1983)
Kitab B. Marom yang dikutib oleh
Zuhairi, dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:Bumi Aksara, 1992)
Khairuddin, Sosiologi Keluarga,
(Yogyakarta: Nur Cahaya,1985)
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Antropologi, (Jakarta:Aksara Baru,1980)
Musthafa. Fahri, Kesehatan
Jiwa Dalam Keluarga, sekolah, dan Masyarakat, (Jakarta: Bulan
Bintang), jilid I
M. Quraish
Shihab, .Prinsip-prinsip Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Pandangan
Islam., dalam Majalah Triwulan Mimbar Ilmiah, Universitas Islam
Djakarta, Tahun IV No. 13, Januari 1994
Kuntowijoyom, Paradigma
Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandugn: Mizan, 1991)
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid:
Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme
Transsindental, (Bandung: Mizan, 2001)
Pengantar editor pada Tim Peneliti, Potret
Ujian Nasional di Indonesia: Antara Harapan dan Realita,
(Yogyakarta:Program DPP Fak. Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga,2009)
Shahih Bukharim Vol.IV, p. 37, al-Mathba’ah
al-Ustsmaniyah, Mesir, 1351 H
Soerjono Soekanro, Sosiologi Keluarga:
Tantangan Ikhwal Keluarga Remaja dan Anak, (Jakarta:PT Rineka
Cipta,1992),
Cet, kedua
Tim Dosen IKIP Malang, Pengantar
Dasar-Dasar Pendidikan,(Surabaya,Usaha Nasional, 2003)
Undang – Undang RI. No. 20 Tahun 2003, Tentang Sisdiknas, (Jakarta:Depag,2006)
[1]Undang – Undang RI. No. 20 Tahun
2003, Tentang Sisdiknas,
(Jakarta:Depag,2006), hlm.46
[2]Pengantar editor pada Tim
Peneliti, Potret Ujian Nasional di Indonesia: Antara Harapan dan
Realita, (Yogyakarta:Program DPP Fak. Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga,2009), hlm. vii.
[3]Doni Koesoema A, Pendidikan
Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta:Grasindo,2007),
hlm. 312
[5]Abd.
Rachman Assegaf, ‘Membangun Format Pendidikan
Islam di Era Globalisasi’, dalam Imam Machali dan
Musthofa (Ed.), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2004), Cet. I, hlm.
8-9
[8]Diktat Kuliah Filsafat
Pendidikan Islam, yang diampuh oleh H. Maragustam Siregar, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2010, hlm. 154
[10]Soerjono Soekanro, Sosiologi
Keluarga: Tantangan Ikhwal Keluarga Remaja dan Anak, (Jakarta:PT Rineka
Cipta,1992),
Cet, kedua, hlm. 6-7
7Heri Noer Ali, Ilmu Pendidikan
Islam (Jakarta:Logos Wacana
Ilmu,1999), hlm. 86-88
8Kitab B. Marom yang dikutib oleh
Zuhairi, dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:Bumi Aksara, 1992), hlm.
177
9 Tim Dosen IAIN Malang, Dasar-dasar
Kependidikan (Surabaya:Karya Aditama,1996), 202
10 Zuhairi,dkk, Filsafat
Pendidikan, hlm. 179
11Tim Dosen IAIN Malang, Dasar-dasar
Kependidikan ,….. hlm. 218
[13]Adurrahman an-Nawawi, Prinsip-Prinsip
dan Metode Pendidikan Islam: Dalam Keluarga, Di Sekolah dan Di Masyarakat,(Bandung:
CV.
Dipenogoro,1989) cet. Pertama, hlm. 201
[14]Musthafa.
Fahri, Kesehatan Jiwa Dalam Keluarga, sekolah, dan Masyarakat, (Jakarta:
Bulan Bintang), jilid I. hlm,
54-66
[15]Imam
Barnadib, Pemikiran Tentang Pendidikan Baru, (Yogyakarta:Penerbit
Andi Offiset, 1983), hlm. 129-130
[16]Proses bimbingan individu
ke dalam dunia sosial disebut sosialisasi. Sosialisasi dilakukan dengan
mendidik individu tentang kebudayaan yang harus dimiliki dan diikutinya, agai
ia menjadi anggota masyarkat yang baik. Sosialisasi dianggap sama dengan
pendidikan. Oleh karena itu, sosialisasi adalah soal belajar. Dalam proses
sosialisasi, individu belajar tingkah laku, kebiasaan, serta pola-polakebudayaan
lainnyaseperti keterampilan sosial yang mencakup berbahasa, berpakaian,
bergaul, cara makan,dan sebagainya. Secara sadar, apa yang dipelajari oleh
orang tua, saudara-saudara, anggota keluarga lainnya, dan di skolah yang
diajarkan oleh guru merupakan proses sosialisasi. Dengan tidak sadar, ia
belajar dengan mendapatkan informasi secara insidental dengan berbagai situasi,
seperti sambil mengamati orang lai, membaca buku, menonton tv, mendengar
percakapan orang lai, dan sebagainya. Seluruh proses sosialisasi berlangsung
dalam interkasi individu dengan lingkungannya. S. Nasution,Sosiologi
Pendidika, (Jakarta:Bumi Aksara, 1999), hlm.
126
[18]Ahmad Tafsir, Filsafat
pendidikan, (Bandung, Rosda Karya, 1992), Lihat juga Agus salim
Dkk, Indonesia Belajarlah (Yogyakarta, Tiara Wacana; 2007 )
memetakan secara lebih tegas ihwal peran pendidikan sebagai penguatan basis
negara, pendidikan sebagai penguatan basis masyarakat, pendidikan sebagai
penguatan basis agama, pendidikan sebagai penguatan basis ekonomi dan budaya
[21]Kuntowijoyo, Muslim
Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme
Transsindental, (Bandung: Mizan, 2001), hlm.
366-369
[22]M. Quraish
Shihab, .Prinsip-prinsip Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Pandangan
Islam., dalam Majalah Triwulan Mimbar Ilmiah, Universitas Islam
Djakarta, Tahun IV No. 13, Januari 1994, hlm. 5
kelinci99
BalasHapusTogel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
yukk daftar di www.kelinci99.casino