Pendidikan Jaman Jepang


BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan faktor penting yang mempunyai andil besar dalam memajukan suatu bangsa, bahkan peradaban manusia. Tujuan pendidikan itu merupakan tujuan dari negara itu sendiri. Pendidikan yang rendah dan berkualitas akan terus mengundang para penjajah, baik penjajahan secara fisik maupun non fisik, seperti penjajahan intelektual, pemikiran, ekonomi, sosial, politik dan agama. Hal ini senada dengan ungkapan “kebodohan bukanlah karena penjajahan tetapi, kebodohanlah yang mengundang penjajah”.
Bangsa Indonesia merdeka setelah proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan ialah terbebasnya suatu bangsa dari belenggu penjajahan. Bangsa yang sudah merdeka dapat leluasa mengatur laju bangsa dan pemerintahan untuk mencapai tujuannya. Benarkah demikian?
Kemerdekaan tidak sepenuhnya menyelesaikan berbagai persoalan negara. Kemerdekaan politik sesudah masa penjajahan oleh pemerintah Jepang dan Belanda itu lebih mudah dicapai dibandingkan dengan rekonstruksi kultural masyarakat dan renovasi system pendidikan kita, khususnya pendidikan Islam.
Mengamati perjalanan sejarah pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda dan Jepang sungguh menarik dan memiliki proses yang amat panjang. Belanda yang menduduki Indonesia selama 3 ½ abad dan Jepang selama 3 ½ tahun meninggalkan kesengsaraan, mental dan kondisi psikologis yang lemah.
Dengan misi gold, glory dan gospelnya mereka mempengaruhi pemikiran dan iedeologi dengan doktrin-doktrin Barat. Akan tetapi kita sepatutnya bangga dengan perjuangan para tokoh Muslim pada masa itu yang berupaya sekuat tenaga untuk mengajarkan Islam dengan cara mendirikan lembaga – lembaga pendidikan Islam seperti madrasah, pesantren, majlis taklim dan sebagainya. Dari lembaga inilah kemudian lahir tokoh- tokoh muslim yang berperan besar dalam mewujudkan kemerdekaan dan membela risalah Islam. Materi yang dipelajari menggunakan referensi dan kitab-kitab kuning berbahasa Arab seperti Safinah, Bulughul Marom, dan sebagainya selain itu ilmu jiwa, ilmu hitung pun dipelajari. Pada saat itu disamping menuntut ilmu mereka harus berjuang melawan penjajah.
Itulah sekilas tentang pendidikan Islam pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Setelah merdeka, bangsa Indonesia merasa mampu menghirup angin segar di negerinya sendiri karena telah terlepas dari penjajahan. Akan tetapi, sikap, watak dan mental bangsa yang terjajah akan menjadi kendala tersendiri bagi perkembangan negara, khususnya pendidikan Islam di Indonesia.

Pendidikan Islam pada masa Kemerdekaan ini dapat kita bagi menjadi beberapa periode:
1.      Pendidikan Islam Pada Masa Orde Lama
2.      Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru
3.      Pendidikan Islam Pada Masa Reformasi
4.      Pendidikan Islam Masa depan
Seiring dengan perkembangan zaman, persoalan persoalan yang dihadapi pun semakin bertambah seperti sistem pendidikan yang sesuai dengan tujuan, visi dan misi negara itu. Masuknya pemikiran-pemikiran barat yang secara tidak langsung meracuni pemikiran-pemikiran Islam dan berbagai krisis yang melanda negeri ini menjadi bagian dari polemik dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam saat ini.


























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pendidikan Islam Pada Masa Orde Lama (1945-1965)
Revolusi nasional meletus pada tanggal 17 Agustus 1945 dalam bentuk proklamasi kemerdekaan. Dengan ini tercapailah kemerdekaan yang diidam-idamkan oleh rakyat Indonesia. Proklamasi mematahkan belenggu penjajahan dan menciptakan hidup baru di berbagai bidang, terutama di bidang pendidikan dirasakan perlu mengubah sistem pendidikan yang sesuai dengan suasana baru. Pada bulan Oktober 1945 para ulama di Jawa memproklamasikan perang jihad fisabilillah terhadap Belanda / sekutu. Hal ini berarti memberikan fatwa kepastian hukum terhadap perjuangan umat Islam. Isi fatwa tersebut adalah sebagi berikut:
  1. Kemerdekaan Indonesia wajib dipertahankan.
  2. Pemerintah RI adalah satu-satunya pemerintah sah yang wajib dibela dan diselamatkan.
  3. Musuh- musuh RI (belanda / sekutu), pasti kan menjajah kembali bangsa Indonesia. Karena itu, kita wajib mengangkat senjata terhadap mereka.
  4. Kewajiban-kewajiban tersebut diatas adalah jihad fisabilillah.
Ditinjau dari segi pendidikan rakyat maka fatwa ulama tersebut besar sekali artinya fatwa tersebut memberikan faedah sebagai berikut:
1.      Para ulama dan santri-santri dapat mempraktekan ajaran jihad fisabilillah yang sudah dikaji bertahun-tahun dalam pengajian kitab suci Fikih di pondok atau di madrasah.
2.      Pertanggung jawaban mempertahankan kemerdekaan tanah air itu menjadi sempurna terhadap sesama manusia dan terhadap Tuhan Yang Mahaesa.
Di tengah-tengah berkobarnya revolusi fisik , pemerintah RI tetap membina pendidikan agama pada khususnya. Pembinaan pendidikan agama itu secara formal institusional dipercayakan kepada Departemen Agama dan Departeman P&K (Depdikbud), oleh karena itu dikeluarkanlah peraturan-peraturan bersama antara kedua departemen tersebut untuk mengelola pendidikan agama di sekolah-sekolah umum (negeri dan swasta). Adapun pendidikan-pendidikan agama di sekolah agama ditangani oleh Departemen Agama. Pendidikan agama Islam untuk sekolah umum mulai diatur secara resmi oleh pemerintah pada bulan Desember 1946. Sebelum itu, pendidikan agama sebagai pengganti pendidikan budi pekerti yang sudah ada sejak zaman Jepang, berjalan sendiri-sendiri di masing-masing daerah.
Pada tahun 1950 ketika kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh wilayah Indonesia, maka rencana pendidikan makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin oleh professor Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi dari departemen P&K hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari 1951 isinya ialah:
  1. Pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar)
Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat misalnya di Sumatera, Kalimantan maka pendidikan Agama diberikan mulai kelas 1 SR dengan catatan bahwa mutu pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah yang lain yang pendidikan agamanya diberikan muali kelas IV.
  1. Di sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Tingkat Atas (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.
  2. Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sebanyak 10 orang dalam 1 kelas dan mendapat izin dari orang tua dan walinya.
  3. Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama dan menteri pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.
Pada periode orde lama ini, berbagai peristiwa dialami oleh bangsa Indonesia dalam dunia pendidikan yaitu:
  1. Dari tahun 1945-1950 landasan idiel pendidikan ialah UUD 1945 dan falsafah pancasila.
  2. Pada permulaan tahun 1949 dengan terbentuknya negara Republik Indonesia Serikat (RIS), di negara bagian Timur dianut suatu sistem pendidikan yang diwarisi dari zaman pemerintahan Belanda.
  3. Pada tanggal 17 agustus 1950 dengan terbentuknya kembali negara kesatuan RI landasan idiil pendidikan UUDS RI.
  4. Pada tahun 1959 Presiden mendekritkan RI kembali ke UUD 1945 dan menetapkan manifesto politik RI menjadi haluan negara.
  5. Pada tahun 1945, sesudah G 30 S/PKI kita kembali lagi melaksanakan pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen.
Di dalam pancasila terdapat sila Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam pelaksanaan pendidikan tentu ia akan diberikan kepada siswa ataupun mahasiswa sebagai pelajaran pokok, sila pertama ini terdapat butir-butir pancasila yang mesti diamalkan. Di sekolah-sekolah didirikan pendidikan moral Pancasila dan salah satu butir sila pertama ini adalah percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan ajaran masing-masing. Akan tetapi jika kita cermati sejarah tercetusnya Pancasila khususnya sila pertama ini memiliki sejarah yang merugikan umat Islam dengan dihilangkannya 7 kata pada sila pertama yaitu dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya. Akibatnya pengajaran Islam dan penerapan ajaran dan syariat tidak begitu berkembang secara pesat.
B.     PENDIDIKAN DIMASA BELANDA
Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial.
Kondisi pendidikan di zaman VOC juga tidak melebihi perkembangan pendidikan di zaman Portugis atau Spanyol. Pendidikan diadakan untuk memenuhi kebutuhan para pegawai VOC dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah terlatih dari kalangan penduduk pribumi. VOC memang mendirikan sekolah-sekolah baru selain mengambil alih lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya berstatus milik penguasa kolonial Portugis atau gereja Katholik Roma. Secara geografis, pusat pendidikan yang dikelola VOC juga relative terbatas di daerah Maluku dan sekitarnya. Di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, VOC memilih untuk tidak melakukan kontak langsung dengan penduduk, tetapi mempergunakan mediasi para penguasa lokal pribumi. Jikalaupun ada, itu hanya berada di pusat konsentrasi pendudukannya yang ditujukan bagi para pegawai dan keluarganya.
Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
(1)   Pendidikan Dasar
Berdasar peraturan tahun 1778, dibagi kedalam 3 kelas berdasar rankingnya. Kelas 1 (tertinggi) diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi dan berhitung. Kelas 2 mata pelajarannya tidak termasuk berhitung. Sedangkan kelas 3 (terendah) materi pelajaran fokus pada alphabet dan mengeja kata-kata. Proses kenaikan kelas tidak jelas disebutkan, hanya didasarkan pada kemampuan secara individual. Pendidikan dasar ini berupaya untuk mendidik para murid-muridnya dengan budi pekerti. Contoh pendidikan dasar ini antara lain Batavische school (Sekolah Betawi, berdiri tahun 1622); Burgerschool (Sekolah Warga-negara, berdiri tahun 1630); Dll.
(2)   Sekolah Latin
Diawali dengan sistem numpang-tinggal (in de kost) di rumah pendeta tahun 1642. Sesuai namanya, selain bahasa Belanda dan materi agama, mata pelajaran utamanya adalah bahasa Latin. Setelah mengalami buka-tutup, akhirnya sekolah ini secara permanent ditutup tahun 1670.
(3)   Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
Sekolah untuk mendidik calon-calon pendeta, yang didirikan pertama kali oleh Gubernur Jenderal van Imhoff tahun 1745 di Jakarta. Sekolah dibagi menjadi 4 kelas secara berjenjang. Kelas 1 belajar membaca, menulis, bahasa Belanda, Melayu dan Portugis serta materi dasar-dasar agama. Kelas 2 pelajarannya ditambah bahasa Latin. Kelas 3 ditambah materi bahasa Yunani dan Yahudi, filsafat, sejarah, arkeologi dan lainnya. Untuk kelas 4 materinya pendalaman yang diasuh langsung oleh kepala sekolahnya. Sistem pendidikannya asrama dengan durasi studi 5,5 jam sehari dan Sekolah ini hanya bertahan selama 10 tahun.
(4)   Academie der Marine (Akademi Pelayanan)
Berdiri tahun 1743, dimaksudkan untuk mendidik calon perwira pelayaran dengan lama studi 6 tahun. Materi pelajarannya meliputi matematika, bahasa Latin, bahasa ketimuran (Melayu, Malabar dan Persia), navigasi, menulis, menggambar, agama, keterampilan naik kuda, anggar, dan dansa. Tetapi iapun akhirnya ditutup tahun 1755.
(5)   Sekolah Cina
didirikan untuk keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat vakum karena peristiwa de Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740. selanjutnya, sekolah ini berdiri kembali secara swadaya dari masyarakat keturunan Cina sekitar tahun 1753 dan 1787.
(6)   Pendidikan Islam
Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya.
Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain:
(1) Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu; (2) Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial; (3) Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.; (4) Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia.
C.    PENDIDIKAN MASA JEPANG
Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya.
Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain: (1) Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda; (2) Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial dh era penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda. (2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. (3) Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. (4) Pendidikan Tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain: (1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu; (2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang; (3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang; (4) Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta (5) Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini: (1) Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi; (2) Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi; (3) setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; (4) Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang; (5) Melakukan latihan-latihan fisik dan militer; (7) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang; (3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin; (4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (4) Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan (5) Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.


D.    Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru (1966-1998)
Sejak ditumpasnya G 30 S/PKI pada tanggal 1 oktober 1965 bangsa Indonesia telah memasuki pase baru yang diberi nama Orde Baru. Perubahan Orde Lama menjadi Orde Baru berlangsung melalui kerjasama erat antara pihak ABRI atau tentara dan gerakan-gerakan pemuda yang disebut angkatan 1966. Sejak tahun 1966 para pemuda dam mahasiswa melakukan demontrasi dijalan-jalan sebagian secara spontan sebagian lagi atas perencanaan pihak lain mula-mula memprotes segala macam penyalahgunaan kekuasaan sampai protes terhadap Soekarno.
Sebagaimana dikemukakan diatas MPRS pada tahun 1966 telah bersidang. Pada waktu itu sedang dilakukan upaya untuk membersihkan sisa-sisa mental G 30 S/ PKI. Dalam keputusannya bidang pendidikan agama telah mengalami kemajuan. Dengan demikian sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Umum Negeri di seluruh Indonesia.
Sejak tahun 1966 telah terjadi perubahan besar pada bangsa Indonesia, baik menyangkut kehidupan sosial, agama maupun politik. Periode ini disebut zaman Orde Baru dan zaman munculnya angkatan baru yang disebut angkatan 66. pemerintah Orde Baru bertekad sepenuhnya untuk kembali kepada UUD 1945 dan melaksanakannya secara murni dan konsekuen. Pemerintah dan rakyat membangun manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya. Berdasarkan tekad dan semangat tersebut, kehidupan beragama dan pendidikan agama khususnya, makin memperoleh tempat yang kuat dalam struktur organisasi pemerintahan dan dalam masyarakat pada umumnya. Dalam sidang-sidang MPR yang menyusun GBHN sejak tahun 1973 hingga sekrang, selalu ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah negeri dalam semua jenjang pendidikan, bahkan pendidikan agama sudah dikembangkan sejak Taman Kanak-Kanak (Bab V pasal 9 ayat 1 PP Nomor 2 Tahun 1989).
Pembangunan nasional memang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Hal ini berarti adanya keserasian keseimbangan dan keselarasan antara pembangunan bidang jasmani dan rohani, antara bidang material dan spiritual, antara bekal keduniaan dan ingin berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama manusia dan dengan lingkungan hidupnya secara seimbang. Pembangunan seperti ini menjadi pangkal tolak pembangunan bidang agama.
Sasaran pembangunan jangka panjang dalam bidang agama adalah terbinanya keimanan bangsa Indonesia kepad Tuhan Yang Maha Esa, dalam kehidupan yang selaras, seimbang dan serasi antara lahiriah dan rohaniah, mempunyai jiwa yang dinamis dan semangat gotong-royong, sehingga bangsa Indonesia sanggup meneruskan perjuangan untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasional.
Ringkasnya bahwa ditinjau dari segi falsafah negara Pancasila dari konstitusi UUD 1945, dan dari keputusan-keputusan MPR tentang GBHN, maka kehidupan beragama dalam pendidikan agama di Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945 sampai berakhirnya pelaksanaan Pembangunan Jangka Panjang Tahap 1 dan memasuki PJP II semakin mantap.
Begitu juga teknik pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum mengalami perubahan-perubahan tertentu, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sistem proses belajar mengajar, misalnya tentang materi pendidikan agama diadakan pengintegrasian dan pengelompokan, yang tampaknya lebih terpadu dan diadakan pengurangan alokasi waktu.
E.     Pendidikan Islam Pada Masa Reformasi
Program peningkatan mutu pendidikan yang ditargetkan oleh pemerintah Orde Baru akan mulai berlangsung pada Pelita VII terpaksa gagal, krisis ekonomi yang berlangsung sejak medio Juli 1997 telah mengubah konstelasi politik maupun ekonomi nasional. Secara politik, Orde Baru berakhir dan digantikan oleh rezim yang menamakan diri sebagai “Reformasi Pembangunan” meskipun demikian sebagian besar roh Orde Reformasi masih tetap berasal dari rezim Orde Baru, tapi ada sedikit perubahan, berupa adanya kebebasan pers dan multi partai.
Dalam bidang pendidikan kabinet reformasi hanya melanjutkan program wajib belajar 9 tahun yang sudah dimulai sejak tahun 1994 serta melakukan perbaikan sistem pendidikan agar lebih demokratis. Tugas jangka pendek Kabinet Reformasi yang paling pokok adalah bagaimana menjaga agar tingkat partisipasi pendidikan masyarakat tetap tinggi dan tidak banyak yang mengalami putus sekolah.
Dalam bidang ekonomi, terjadi krisis yang berkepanjangan, beban pemerintah menjadi sangat berat. Sehingga terpaksa harus memangkas program termasuk didalamnya program penyetaraan guru-guru dan mentolerir terjadinya kemunduran penyelesaian program wajib belajar 9 tahun. Sekolah sendiri mengalami masalah berat sehubungan dengan naiknya biaya operasional di suatu pihak dan makin menurunnya jumlah masukan dari siswa. Pembangunan di bidang pendidikan pun mengalami kemunduran.
Beberapa hal yang menyebabkan program pembangunan pemerintah dalam sektor pendidikan terpenuhi secara maksimal.
  1. Distribusi pembangunan sektor pendidikan kurang menyentuh lapisan sosial kelas bawah.
  2. Kecenderungan yang kuat pada wilayah pembangunan yang bersifat fisik material, sedangkan masalah-masalah kognitif spiritual belum mendapatkan pos yang strategis.
  3. Munculnya sektor industri yang membengkak, cukup menjadikan agenda yang serius bagi pendidikan Islam di Indonesia pada masa pembangunan ini.
  4. Perubahan-perubahan sosial yang berjalan tidak berurutan secara tertib, bahkan terkadang eksklusif dalam dialektik pembangunan sebagaimana tersebut di atas.
Semua hal diatas adalah faktor penyebab dari tidak terpenuhinya beberapa maksud pemerintah dalam menjalankan pembangunan dalam sektor pendidikan agama khususnya bagi Islam. Semua itu sangat memprihatinkan apalagi jika dibiarkan begitu saja tanpa upaya retrospeksi atas kegagalan tersebut.
Yang harus disadari adalah lembaga pendidikan Islam adalah lembaga pendidikan Islam memiliki potensi yang sangat besar bagi jalannya pembagunan di negeri ini terlepas dari berbagai anggapan tentang pendidikan yang ada sekarang, harus diingat bahwa pendidikan Islam di Indonesia telah banyak melahirkan putera puteri bangsa yang berkualitas.
HM. Yusuf Hasyim mengungkapkan betapa besarnya pendidikan Islam di Indonesia hanya dengan menunjukkan salah satu sampelnya yaitu pesantren. Sebagai lembaga pendidikan Islam pesantren dan madrasah-madrasah bertanggungjawab terhadap proses pencerdasan bangsa secara keseluruhan. Sedangkan secara khusus pendidikan Islam bertanggungjawab terhadap kelangsungan tradisi keislaman dalam arti yang seluas-luasnya. Dari titik pandang ini pendidikan Islam, baik secara kelembagaan maupun inspiratif, memilih model yang dirasakan mendukung secara penuh tujuan dan hakikat pendidikan manusia itu sendiri, yaitu membentuk manusia mukmin yang sejati, mempunyai kualitas moral dan intelektual.
Selama ini banyak dijumpai pesantren-pesantren yang tersebar dipelosok tanah air, terlalu kuat mempertahankan model tradisi yang dirasakan klasik, sebagai awal dari system pendidikan itu sendiri. Tapi, pada saat ini sudah banyak pesantren dan madrasah yang modern dengan mengacu kepada tujuan muslim dan memperhatikan tujuan makro dan mikro pendidikan nasional Indonesia, maka penndidikan pesantren akan memadukan produk santri untuk memiliki outputnya (lulusan) agar memiliki 3 tipe lulusan yang terdiri dari:
a.    Religius skillfull people yaitu insan muslim yang akan menjadi tenaga-tenaga terampil, ikhlas, cerdas, mandiri, iman yang tangguh sehingga religius dalam tingkah dan prilaku, yang akan mengisi kehidupan tenaga kerja didalam berbagai sector pembangunan.
b.    Religius Community leader, yaitu insane Indonesia yang ikhlas, cerdas dan mandiri akan menjadi penggerak yang dinamis dalam transformasi sosial dan budaya dan mampu melakukan pengendalian sosial (sosial control).
c.    Religius intelektual, yaitu mempunyai integritas kukuh serta cakap melakukan analisa ilmiah dan concern terhadap masalah-masalah ilmiah.
F.     Pendidikan Islam Masa Depan
Prospek pendidikan Islam pada masa mendatang, harus pula dikaji dan diteropong melalui lensa realitas pendidikan islam di Indonesia yang ada pada hari ini. Melihat kendala yang dihadapi oleh pendidikan nasional, minimal telah terpantul sinar yang juga menggambarkan tentang kondisi pendidikan Islam di Indonesia pada masa kini.
Adapun kendala tersebut berupa:
  1. Kurikulum yang belum mantap, terlihat dari beragamnya jumlah presentasi untuk pelajaran umum dan agama pada berbagai sekolah yang berlogo Islam.
  2. Kurang berkualitasnya guru, yang dimaksud disini adalah kurang kesadaran professional, kurang inofatif, kurang berperan dalam pengembangan pendidikan, kurang terpantau.
  3. Belum adanya sentralisasi dan disentralisasi.
  4. Dualisme pengelolaan pendidikan yaitu antara Depag dan Depdikbud.
  5. Sisa-sisa pendidikan penjajahan yang masih ditiru seperti penjurusan dan pemberian gelar.
  6. Kendali yang terlalu ketat pada pendidikan tinggi.
  7. Minimnya persamaan hak dengan pendidikan umum.
  8. Minimnya peminat sekolah agama karena dipandang prospeknya tidak jelas.
Beberapa strategi yang perlu dicanangkan untuk memprediksi pendidikan Islam masa depan adalah sebagai berikut:
  1. Strategi sosial politik
Menekankan diperlukannya merinci butir-butir pokok formalisasi ajaran Islam di lembaga-lembaga negara melalui upaya legal formalitas yang terus menerus oleh gerakan Islam terutama melalui sebuah partai secara eklusif khusus bagi umat Islam termasuk kontrol terhadap aparatur pemerintah. Umat Islam sendiri harus mendidik dengan moralitas Islam yang benar dan menjalankan kehidupan islami baik secara individu maupun masyarakat.
  1. Strategi Kultural
Dirancang untuk kematangan kepribadian kaum muslimin dengan memperluas cakrawala pemikiran, cakupan komitmen dan kesadaran mereka tentang kompleksnya lingkungan manusia.
  1. Strategi Sosio cultural
Diperlukan upaya untuk mengembangkan kerangka kemasyarakatan yang menggunakan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam.
G.    Tujuan Pendidikan Agama Islam Berdasarkan Jenjang Pendidikan
  1. Tujuan untuk jenjang pendidikan MI /SD dan MTS / SLTP meliputi;
1)      Tumbuhnya keimanan dan ketaqwaan dengan mulai belajar Al-Qur’an dan praktek-praktek ibadah secara verbalistik dalam rangka pembiasaan dan upaya penerapannya.
2)      Tumbuhnya sikap beretika melalui keteladanan dan penanaman motifasi.
3)      Tumbuhnya penalaran (mau belajar, ingin tahu senang membaca, memiliki inofasi, dan berinisiatif dan bertanggung jawab).
4)      Tumbuhnya kemampun berkomunikasi sosial.
5)      Tumbuh kesadaran untuk menjaga kesehatan.

  1. Tujuan pendidikan pada jenjang MA/SLTA meliputi:
1)      Tumbuhnya keimanaan dan ketaqwaan dengan memiliki kemampuan baca tulis Al-qur’an dan praktek-praktek ibadah dengan kesadaran dan keikhasan sendiri.
2)      Memiliki etika.
3)      Memiliki penalaran yang baik.
4)      Memiliki kemampuan berkomunikasi sosial.
5)      Dapat mengurus dirinya sendiri.
  1. Tujuan Pendidikan Tingkat Tinggi didalam penguasaan ilmu pendidikan dan kehidupan praktek ibadahnya bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi telah memiliki kemampuan untuk menyebarkan kepada masyarakat dan menjadi teladan bagi mereka.
























BAB III
KESIMPULAN

Bangsa Indonesia merdeka setelah proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan ialah terbebasnya suatu bangsa dari belenggu penjajahan. Bangsa yang sudah merdeka dapat leluasa mengatur laju bangsa dan pemerintahan untuk mencapai tujuannya. Kemerdekaan tidak sepenuhnya menyelesaikan berbagai persoalan negara. Kemerdekaan politik sesudah masa penjajahan oleh pemerintah Jepang dan Belanda itu lebih mudah dicapai dibandingkan dengan rekonstruksi kultural masyarakat dan renovasi system pendidikan kita, khususnya pendidikan Islam.
Pendidikan Islam pada masa Kemerdekaan ini dapat kita bagi menjadi beberapa periode:
  1. Pendidikan Islam Pada Masa Orde Lama.
  2. Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru.
  3. Pendidikan Islam Pada Masa Reformasi.
  4. Pendidikan Islam Masa depan
Harus disadari bahwa lembaga pendidikan Islam adalah lembaga pendidikan memiliki potensi yang sangat besar bagi jalannya pembagunan di negeri ini terlepas dari berbagai anggapan tentang pendidikan yang ada sekarang, harus diingat bahwa pendidikan Islam di Indonesia telah banyak melahirkan putera puteri bangsa yang berkualitas.
Pendidikan Agama sangat diperlukan sekali, oleh karena itu upaya untuk memajukan dan mengembangkannya menjadi suatuhal yang wajib. Mengingat pendidikan agama merupakan jalan menuju pembentukan pribadi yang beriman dan bertakwa serta berkualitas ilmu pengetahuannya.














DAFTAR PUSTAKA

Darmaningtyas. 1999. Pendidikan Pada dan Setelah Krisis; Lembaga Pengembangan Inisiatif Strategis untuk Transformasi. Pustaka Pelajar; Yogyakarta.

Fathurrahman, Pupuh. 2000. Alternatif Sistem Pendidikan Terpadu. Tunas Nusantara; Bandung.

Jalaludin dan Abbdullah Iddi. 1997. Filsafat Kependidikan Islam. Gaya Media Pratama: Jakarta.

Kartono, Kartini. 1997. Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional. PT. Anem Kosong Anem: Jakarta.

Mustafa, H. Adalah dan Abdullah Aly. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. CV. Pustaka Setia; Bandung.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Landasan Religius Pendidikan

PARADIGMA PENDIDIKAN

Teknik-teknik supervisi pendidikan