Kurikulum Pendidikan Klasik
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Pendidikan Islam sesungguhnya telah tumbuh dan
berkembang sejalan dengan adanya dakwah Islam yang telah
dilakukan Nabi Muhammad saw. Berkaitan dengan itu pula pendidikan
Islam memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sejalan dengan
upaya pembaharuan yang dilakukan secara terus – menerus pascagenerasi
nabi, sehingga dalam perjalanan selanjutnya pendidikan
Islam terus mengalami perubahan dari segi kurikulum (mata pelajaran).
Secara eksplisit, pendidikan mempunyai nilai yang
strategis dan urgen dalam pembentukan suatu bangsa. Untuk
menjadikan pendidikan yang berarti harus menyediakan kurikulum
pendidikan yang baik tentunya kepada peserta didik. Hari ini
kurikulum pendidikan di Indonesia dapat kita katakan sudah
berjalan dengan baik, dan langsung dikelola oleh departemen
pendidikan.
Sebagaimana halnya dengan faktor-faktor pendidikan
lainnya, maka kurikulum pun memainkan peranan penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Kurikulum mengalami perkembangan mengikuti perkembangan kebudayaan dan peradaban masyarakat. Dalam perkembangannya, tentu saja kurikulum mengalami pembaruan
dalam isinya, sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.1
Munculnya pendidikan Islam bersamaan dengan lahirnya
Islam itu sendiri. Pendidikan pada awalnya dilakukan dari rumah ke rumah, di masjid-masjid dan sebagainya. Ini dilakukan dengan peralatan yang sederhana sekali. Pendidikan Islam sebagai suatu sistem merupakan sistem tersendiri di antara sistem pendidikan di dunia ini, kendatipun memiliki banyak persamaan. Dikatakan sistem tersendiri karena cakupannya dan kesadarannya terhadap detak jantung, karsa dan karya manusia.
1 Abd. Mukti, Konstruksi Pendidikan Islam; Belajar dari Kejayaan
Madrasah Nizhamiyah Dinasti Saljuq, (Bandung: Citapustaka Media, 2007),
h. 215.
Kurikulum pendidikan Islam klasik merupakan suatu
sistem pendidikan klasik yang berbeda dengan sistem
pendidikan Islam yang ada pada saat ini. Kalau ditinjau dari aspek
tujuan, guru, murid, kurikulum, metode, fasilitas, dan sarana prasarana,
jelas terlihat perbedaannya. Sudah banyak terjadi
perkembangan-perkembangan dalam dunia pendidikan Islam.
Istilah pendidikan Islam klasik dalam tulisan ini
adalah suatu proses kegiatan belajar mengajar yang dilakukan
individu, kelompok tertentu atau pemerintah/lembaga pemerintah, formal
atau non- formal dalam periode tertentu pada masa pertumbuhan
dan perkembangan Islam. Kegiatan itu dilakukan di rumah-rumah, majlis, masjid/halaqah dengan jenjang pendidikan dasar (kuttab), menengah (masjid/masjid khan, zawiyah) sampai tingkat tinggi (madrasah/al- Jamiah).
B. RUMUSAN MASALAH
Berangkat
dari latar belakang masalah-masalah tersebut diatas, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :
- Bagaimana pengertian Kurikulum
Pendidikan Islam Klasik.
- Perkembangan Kurikulum
Pendidikan Islam Klasik menurut jenjangnya.
C. TUJUAN PEMBAHASAN
Bertitik tolak dari rumusan masalah diatas, maka
tujuan pembahasan dari makalah ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
- Untuk mengetahui pengertian
Kurikulum Pendidikan Islam Klasik.
- Untuk mengetahui perkembangan Kurikulum
Pendidikan Islam Klasik menurut jenjangnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kurikulum Pendidikan Islam Klasik
Yang dimaksud dengan kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh
siswa dalam suatu
periode tertentu. Dalam arti yang lebih luas, kurikulum sebenarnya bukan hanya sekadar rencana pelajaran, tapi
semua yang secara nyata terjadi dalam
proses pendidikan di sekolah.2
Dengan kata lain, kurikulum mencakup baik kegiatan
yang dilakukan pada jam belajar maupun di
luar jam belajar, sepanjang hal itu berlangsung di lembaga pendidikan. Karena itu ada istilah ekstra- kurikuler, yaitu berbagai kegiatan yang dilakukan di
luar jam tatap muka di
ruangan kelas. Akan tetapi, tentu saja kurikulum dalam pengertian seperti itu baru dikenal pada sistem
pendidikan modern, baik sekolah
maupun madrasah. Pada masa sebelumnya, meskipun sudah dikenal, muatan kurikulum tidak seketat
pengertian tersebut.
Hasan Asari memberikan penjelasan tentang kurikulum madrasah dengan konsep awal klasifikasi ilmu
pengetahuan yang diajarkan di
madrasah. Untuk memahami kurikulum madrasah secara lebih luas, menurutnya, perlu memahami perkembangan
ilmu pengetahuan dan peradaban Islam yang
dikembangkan para ulama dan ilmuwan
Muslim. la mengutip pendapat Ibn Buthlan (w. 460/1068), seorang ahli kedokteran, berdasarkan
riwayat Ibn Abi Ushaybi'ah,
yang engelompokkan
2 Ahmad
Tafsir, Ilmu
Pendidikan dalam Persfektif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1992), h. 53.
ulama
yang wafat pada sekitar pertengahan abad ke-5/11 ke dalam tiga kelompok
berdasarkan cabang ilmu yang ditekuni yaitu: 1) ilmu-ilmu
keagamaan (al-‘ulum al-syar’iyyah); 2) ilmu-ilmu klasik (‘ulum al-qudama’ =
(filsafat Yunani, filsafat Timur) Persia dan
sebagainya, yang disebutawa'il)., dan 3) ilmu-ilmu sastra (al-‘ulum al-adabiyah).3
Hasan Asari juga mengutip pendapat Ibn Buthlan yang merupakan suatu klasifikasi yang detail; namun ini
memadai untuk tujuan kita
sekarang ini. Klasifikasi yang lebih lengkap dan detail dapat dilihat dalam beberapa karya Abad Pertengahan
yang lain. Perumusan
klasifikasi ilmu
pengetahuan menjadi satu bidang penting dan mendapat perhatian serius para
ilmuan muslim.4
Pada hakikatnya kurikulum pendidikan Islam klasik
berbeda- beda menurut
wilayah masing-masing. Tidak ada pembakuan kurikulum yang dilakukan oleh Negara. Perbedaan
kurikulum antara tempat yang
satu dengan tempat lainnya bukan didasarkan daerahnya akan tetapi perbedaan tersebut didasarkan
kepada guru yang memberikannya.
Di Mesir misalnya kurikulum dititik beratkan kepada fiqh, sedangkan di Madinah lebih menitik
beratkan kepada kajian
hadis.
Meskipun perbedaan kurikulum berbeda dengan tempat
yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi disepakati bahwa kitab suci al- Qur’an dijadikan sebagai sumber pokok ilmu-ilmu agama dan umum. Pada awalnya kurikulum yang diajarkan berkisar pada belajar membaca al-Qur’an, menulis, keimanan, ibadah, akhlak, dasar-dasar ekonomi dan politik yang semuanya bersumber kepada al-Qur’an.5
Penentuan
kurikulum adalah terletak pada ulama, kelompok orang-orang berpengetahuan dan diterima sebagai
otoratif dalam soal agama
dan hukum. Sebagai persiapan untuk belajar ilmu-ilmu agama dan fiqh, seseorang mempelajari bahasa Arab
mencakup gramatika
dan komposisi serta pengenalan dasar-dasar prosa dan puisi. Makdisi mengatakan bahwa Nahwi, grammar was
always an important
part of education. It learned especially in order the better to understand
scripture.6 Studi-studi pendahuluan ini dapat ditempuh dengan tutor pribadi atau dengan menghadirihalaqah dalam bahasa Arab. Pedagogi muslim menerima pandangan
Yunani yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir logis dan jelas memiliki korelasi langsung dengan kemampuan berbicara dan
menulis secara
3 Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam (Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 105.
4 Ibid., h. 106.
5 Ali Al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 58.
6 Geogre Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam And The West (Edinburgh University Press, 1981), h. 214.
tepat.
Karena itu para tutor sangat menekankan latihan- latihan yang membantu perkembangan kemahiran berbahasa.7
B.
PERKEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM KLASIK MENURUT JENJANGNYA.
Pada perkembangan berikutnya kurikulum pendidikan
Islam merujuk kepada al-Qur’an dan hadis.
Secara umum materi yang diajarkan
adalah ilmu naqliyah dan aqliyah. Maka kurikulum pendidikan Islam klasik cukup variatif berdasarkan
jenjang pendidikannya.
Berikut perkembangan kurikulum menurut jenjangnya :
1. Kurikulum tingkat rendah
Kurikulum tingkat rendah meliputi al-Qur’an dan agama, membaca, menulis, sya’ir, dan sebagian prinsip-prinsip
pokok agama dan ditambah juga dengan
nahwu, cerita dan berenang. Untuk putra-putri raja dan penguasa ditegaskan pentingnya pelajaran khitabah (pidato), ilmu sejarah, cerita
perang, cara-cara pergaulan,
di samping ilmu-ilmu pokok seperti al-Qur’an, sya’ir dan fiqh.8 Penekanan kurikulum berbeda antara negara yang satu dengan yang lainnya. Di Andalusia misalnya, untuk
tingkat rendah diajarkan
al-Qur’an, dan dimasukkan materi lain seperti riwayat sya’ir-sya’ir, prosa, berhitung, dan pembelaan negara
sehingga kemampuan
anak-anak dalam tulis menulis dan khat sangat menonjol. Kemudian kemampuan menemukan (discovery)
serta kemampuan menghubungkan
cabang-cabang ilmu dalam mengintegrasikan antara ilmu-ilmu naqli dan aqli lebih unggul dibandingkan negeri Islam yang lain.9
2. Kurikulum tingkat atas
Al-Chawarizani dalam Mafatih al-Ulm, sebagaimana yang dikutip al-Jumbulati menyebutkan kurikulum pendidikan
tingkat atas
meliputi ilmu fiqih, nahwu, ilmu kalam, aljabar dan ilmu hitung.10 Namun sama halnya dengan tingkat rendah, kurikulum tingkat atas tidak sama antara negara yang satu dengan
yang lainnya. Setiap negara mempunyai
kurikulum yang khas dalam pendidikannya. Namun para pelajar tidak terikat untuk kurikulumnya, dan guru-gurunya
7 Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam: Sejarah dan Peranannya Dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan. Terj. H. Afandi dan Hasan Asari (Jakarta: Logos Publishing House, 1994), h. 52.
8 Hasan Langgulung, Azas-Azas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka al- Husna, 1992), h. 118.
9 Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Terj. Mukhtar Yahya dan Sanusi Latief (Jakarta: Bulan Bintang,1973),h.300.
10 Ali Al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan...., h. 68.
juga tidak
terikat dengan kurikulum
yang ditentukan untuk dijadikan sumbur pegangan dalam pengajarannya.11
Kemudian di masjid Kfah dan Ba¡rah yang menonjol adalah ilmu-ilmu bahasa. Maka muncul Nahwu Arab Kfah yang menekankan pada qiyas. Perbedaan ini membawa perkembangan yang pesat pada Nahwu Arab.12 Walaupun ilmu-ilmu naqliyah cukup
menonjol, namun ilmu-ilmu aqliyah mempunyai peranan penting. Ini
terlihat dalam hubungan yang kokoh antara ilmu-ilmu keagamaan dengan
ilmu-ilmu bahasa, kebudayaan sampai kepada abad ke 2 hijriyah.
Dan menurut Makdisi tentang kurikulum pendidikan,
Makdisi menggambarkan secara garis besar tentang kurikulum itu
sendiri yang diajarkan dimadrasah. Ilmu-ilmu agama jelas
mendominasi
madrasah, seperti juga lembaga-lembaga sebelumnya, masjid dan masjid-khan. Sejauh pengetahuan kita sekarang, tidak ada dokumen tertulis yang
berisi rincian kurikulum satu madrasah. Hal ini
memang sulit untuk diharapkan mengingat sifat-sifat dasar madrasah. Pertama, tidak
adanya ikatan organisatoris antara satumadrasah dengan yang lain. Setiap madrasah bebas menentukan materi dan sistem
pengajarannya sendiri sesuai dengan keinginan pemberi wakaf (waqif) yang mendukung operasinya. Kedua, setiap syaikh atau mudarris bebas memilih bidang yang dia ajarkan; sekali
lagi, dia hanya terikat denganwaqfiyyah dari lembaga tempatnya mengajar.
Jadi apa yang dikatakan adalah suatu kesimpulan umum –
yang tingkat kebenarannya pasti akan sangat bervariasi dari satu kasus ke kasus yang lain – yaitu bahwa kurikulum madrasah terdiri dari:13
1. Ilmu-ilmu agama semacam: ilmu
al-Qur’an, hadis, tafsir, fiqih, ushul fiqih, ilmukalam, dan disiplin-disiplin lain yang tergolong dalam kelompok ini. Meskipun deskripsi madrasah-madrasah
11 Ibid., h. 64.
12 Moh. Abd. Rahim Ghunaimah, Tar³kh Al-Jami’ah al-Kubra (Ta¯wan: Dar al-°ibah al-Magribiyyah, 1953), h. 228.
13 Hasan Asari, Menyingkap Zaman, h. 109-110.
menunjukkan
adanya variasi dalam hal penekanan dan porsi yang
ditempati dalam kurikulum, secara umum kelompok ilmu ini adalah
bagian inti dari kurikulum semuamadrasah.
2. Ilmu-ilmu sastra yang dibutuhkan untuk mendukung
kajian ilmu-ilmu agama juga diajarkan dimadrasah, tetapi
bukan menjadi bagian utama dari kurikulum. Deskripsimadrasah terdahulu
menunjukkan bahwa ahli gramtika bahasa Arab (nahwi)
adalah merupakan bagian dari staf beberapa
madrasah; namun posisinya jelas tidak sepenting posisi mudarris yang mengajarkan ilmu-ilmu agama. Pada perkembangan
berikutnya kurikulum berhubungan dengan tatanan sosial suatu masyarakat.
Ini terlihat dari klasifikasi ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada tiga
kriteria14 :
1. Berdasarkan tingkat kewajibannya.
2. Berdasarkan sumbernya.
3. Berdasarkan fungsi sosialnya.
Ad.1. Klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan tingkat kewajibannya.
Pendidikan dimata al-Gazali merupakan suatu kewajiban untuk mempelajarinya. Makanya tidak mengherankan kalau
kurikulum pendidikan
Islam menurut Imam al-Gazāli terdiri dari :
a.Ilmu far«u ‘ain (wajib dipelajari) yakni ilmu agama yang bersumber dari al-Qur’an, hadis, fiqih, dan tafsir.
b.Ilmu far«u kifāyah yakni metafisika, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian, dan industri.15 Perhatian al-Gazali terhadap kurikulum menitik beratkan pada aspek
manfaatnya bagi
manusia, baik akhirat maupun dunia.16
Ad.2. Klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan sumbernya.
Menurut
sumber ada dua kategori pengetahuan, yaitu pengetahuansyari’ah dan pengetahuan ghairu syari’ah. Pengetahuan syari’ah bersumber pada pemberitaan para nabi, bukan pada petunjuk akal. Ilmu yang termasuk di dalamnya adalah
:
a.Ushul (pokok)
yang terdiri dari pengetahuan al-Qur’an, sunnah Rasulullah
14 Zainuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Gazali (Jakarta: Bumi Akasara, 1991), h. 34.
15 Arifin, Pendidikan Islam Dalam Arus Dinamika Masyarakat; Suatu Pendekatan Filosofis, Pedagogis, Psikologis, dan
Kultural (Jakarta:
Golden Terryon Press, 1994), h. 190.
16 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), h. 172.
b.Furu’ (cabang) yang terdiri dari ilmu fiqih, akhlak dan etika Islam.
c.Muqaddimah (pendahuluan) yang terdiri dari ilmu bahasa dan nahwu.
d.Mutammimat (penyempurnaan/pelengkap) yang terdiri dari qiraat al-Qur’an dan makhrajnya, tafsir, u¡l fiqh, ilmu hadis dan ilmu-ilmu
yang melengkapiā £ar danakhbar.17
Sedangkan pengetahuan ghairu syari’ah adalah
pengetahuan yang bersumber dari akal pikiran, eksperimen,
akulturasi yang menitik beratkan kepada aspek manfaatnya bagi manusia
baik di dunia maupun di akhirat.18
Ad.3.
Klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan fungsi sosialnya.
Berdasarkan fungsi sosialnya pengetahuan pada intinya mengarah kepada pembentukan kepribadian dalam mengabdikan diri kepada sesama manusia. Dalam hal ini al-Gazali membagi kepada dua kategori :
a.Ilmu pengetahuan yang terpuji adalah
pengetahuan yang bermanfaat dan kepada pengetahuan ini aktifitas
manusia bergantung seperti ilmu kedokteran dan berhitung.
b.Ilmu pengetahuan yang terkutuk adalah pengetahuan yang merusak dan merugikan manusia seperti ilmu magis, azimat-azimat dan astrologi.19
Sepanjang masa pendidikan klasik Islam, penentuan pengembangan pendidikan dasar, menengah dan tinggi
berada di tangan ulama
kelompok orang-orang berpengetahuan dan diterima secara otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum.
Keyakinan mereka
berakar pada konservatisme agama dan keyakinan kokoh terhadap wahyu sebagai inti dari semua pengetahuan.
Mengikuti arus penolakan
atas aliran yang diilhami filsafatYunani terutama pasca al- Ghazali, kurikulum pendidikan belum terbentuk secara
baku dalam bentuk
peraturan, tetapi kurikulum dan metode di masjid, akademi dan madrasah mengikuti pola-pola yang dikembangkan
dari majlis dan
halaqah-halaqah ilmiah. Dengan demikian, yang dibicarakan dalam pengembangan madrasah lebih difokuskan pada
kurikulum dan metode
pengajaran saja.
17Ibid., h. 171.
18 Zainuddin, Seluk Beluk..., h. 37
19 Abū Ham³d al-Ghazali, Ihya ‘Ulūm al-D³n (Semarang: Thoha Putra, tt), juz 1, h. 18-19
Di dalam pengembangan kurikulum khususnya pelajaran
agama, madrasah mempunyai satu persoalan yaitu mengenai
pelajaran Kalam. Para ahli menyebutkan bahwa Ilmu Kalam tidak
mendapat tempat dalam kurikulum madrasah. Sementara, yang lain, berpendapat bahwa Ilmu Kalam mendapat tempat pada kurikulum madrasah. Untuk soal pertama, George Makdisi menulis bahwa madrasah bukanlah lembaga pengajaran Kalam tetapi lembaga pengajaran fiqih (hukum). Kemenangan aliran Asy'ariyah atas Muktazilah tidak ada hubungan dengan pembangunan madrasah Nizhamiyah dan madrasah tersebut bukanlah lembaga resmi pemerintah, tetapi lembaga yang dibangun oleh wazir Nizham al- Mulk karena kapasitasnya sebagai pribadi muslim. Makdisi menulis:
Madrasah adalah lembaga pendidikan tinggi (colleges) hukum, dengan beberapa kajian tambahan. Staf pengajarannya tidak mencakup ahli kalam. Pengajar yang mendapat gelar guru besar (professor) adalah pengajar hukum. Mungkin saja ia juga sebagai ahli kalam, tetapi kapasitasnya lebih kepada ahli hukum (guru besar hukum). Di Madrasah tidak ada posisi untuk mengajarkan kalam.20
Sisi lain dari tesis Makdisi adalah melibatkan satu
argumen linguistik berkaitan dengan satu istilah teknis yang
secara luas dipakai dalam dunia pendidikan Islam pra-modern,
sebagaimana terlihat dari sumber-sumber sejarah yang ada. Argumen
linguistik ini mencakup semua istilah paedagogis yang berasal dari
akar kata "d-r- s". Argumen ini, terutama digunakan oleh Makdisi
untuk mendukung pernyataannya bahwa madrasah (salah satu kata jadian
d-r-s) adalah lembaga pendidikan fiqih. Makdisi menjelaskan:
Justifikasi penerjemahan kata [madrasah] ini menjadi
lembaga pendidika tinggi hukum [college of law] dapat ditemukan
dalam arti teknis kata jadian dari akar kata d-r-s. Istilah untuk hukum adalah fiqih. Sebuah pelajaran fiqih disebut dengan dars; seorang guru besar fiqih adalah mudarris; dan darrasa, dalam penggunaannya bila tidak dikaitkan dengan ilmu tertentu, berarti mengajarkan fiqih,..... darrasa dan tadris, secara berturut, berarti mengajarkan hukum dan hal-hal yang berhubungan dengan pengajaran
hukum.21
Keterangan
di atas cukup menggambarkan secara garis besar kurikulum pendidikan yang diajarkan dimadrasah.
Ilmu-ilmu agama sangat jelas
mendominasimadrasah, seperti juga di lembaga masjid atau masjidkhan. Sejauh pengalaman ahli sejarah
pendidikan Islam, belum ada
rincian yang jelas tentang kurikulum satumadrasah. Hal- hal ini dianggap sulit apabila dihubungkan dengan
sifat-sifat
madrasah. Pertama, tidak adanya ikatan organisatoris antara
satu madrasah dengan yang lain.
20 Hasan Asari, Menyingkap Zaman,....hal. 114
21Ibid, h. 114
Setiap madrasah bebas menentukan materi dan bentuk pengajarannya sendiri sesuai dengan
keinginan pemberi waqaf (waqif) yang mendukung operasinya. Kedua, setiap syaikhatau mudarris bebas memilih bidang yang diajarkan.
Jadi, sebagai kesimpulan umum, kurikulummadrasah
terdiri dari ilmu-ilmu agama seperti: ilmu al-Qur’an, hadist, tafsir,
ushul fiqh, ilmu kalam dan lain-lain yang tergolong kelompok
ilmu-ilmu keagamaan Islam ini. Ilmu-ilmu sastra yang dibutuhkan
untuk mendukung ilmu-ilmu agama juga diajarkan dimadrasah, tetapi tidak menjadi bagian utama dari kurikulum. Deskripsimadrasah terdahulu menunjukkan bahwa ahli bahasa arab (nahwi) adalah bagian dari staf di beberapamadrasah, namun posisinya jelas tidak sepenting posisi
mudarrisyang
mengajar ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu klasik belum
diajarkan
kecuali Filsafat, Kedokteran dan Astronomi, tetapi tidak begitu
dominan, karena pelajaran ini memiliki lembaga pengajaran tersendiri
(khusus).
Tanpa bermaksud menghentikan konflik pendapat
tersebut, ada baiknya pembicaraan ini dikembangkan pada perkembangan kurikulum madrasah selanjutnya. Ilmu-ilmu agama memang mendominasi
kurikulum lembaga pendidikan formal. Disiplin-disiplin yang perlu
untuk memahami dan menjelaskan makna Al-Quran rumbuh
menjadi inti dari pengajaran yaitu hadits dan tafsir. Seni berpidato
juga merupakan bagian penting dari pendidikan ilmu-ilmu agama, sebab
kemampuan untuk menyampaikan ceramah yang menggugah dan ceramah ilmiah adalah
salah satu peran inti seorang ulama dalam pendidikan dan kehidupan
keagamaan di masyarakat. Kemahiran berbicara di tengah publik
mengandung semua aspek pendidikan dan pengalaman.
Kurikulum ini dianggap sebagai kurikulum madrasah
tinggi, karena sudah mengenalkan begitu banyak pelajaran umum.
Tetapi, studi ilmu-ilmu asing itu tidak semua diajarkan
mendetail pada
tingkat
madrasah umum atau khusus. Ada di antara ilmu-ilmu itu yang
diajarkan pada tataran dasarnya saja, dan tempatnya pun tidak harus di lembaga formal seperti madrasah. Di rumah, di istana wazir dan pejabat negara, pelajaran-pelajaran ini lebih kental dikenalkan dan didalami.
Secara umum bentuk
kurikulum madrasah pada masa pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam
klasik menggunakan tiga bentuk kurikulum yaitu Subject Curriculum, Correlated Curriculumdan Integrated Curriculum. Ketiganya disesuaikan dengan perkembangan madrasah pada periode-periode
tertentu. Subject Curriculum difokuskan pada materi pelajaran yang diberikan berdiri sendiri, tidak berhubungan dengan
pelajaran yang lain. Dalam
subject curriculum, mata pelajaran diajarkan secara mandiri, dikembangkan berdasarkan keluasan pelajaran
tersebut terhadap
ilmu pengetahuannya. Bentuk kurikulum ini biasanya terdapat pada pelajaran utama, seperti
al-Qur'an,Tafsir, Fiqh dan lain- alin. Kemudian pelajaran non-agama seperti fisika, biologi, ilmu berhitung, kedokteran dsb. Subject Curriculum
dikembangkan pada masa awal
berdirinya madrasah dan pertumbuhan pendidikan Islam klasik.
Correlated
Curricullum difokuskan pada satu materi pelajaran yang dihubungkan dengan materi pelajaran yang lain.
Contohnya, materi
tafsir dihubungkan dengan hadits, pelajaran fiqih dihubungkan dengan hadits dsb. Bentuk kurikulum seperti ini
mendominasi pada masa akhir
pendidikan Islam klasik, yaitu ketika ilmu pengetahuan sudah berkembang dan mengalami renaissance.
Integrated
Curriculum yaitu perpaduan antara materi satu dengan yang lain dan saling berkaitan, sehingga penyajian bahan pelajaran itu dalam bentuk unit. Kurikulum ini
dilaksanakan dalam pengajaran
unit, yaitu satu unit mempunyai tujuan yang bermakna bagi mahasiswa madrasah. Kurikulum ini diberikan di dalam pelajaran retorika (dakwah) pada masa Madrasah
Nizhamiyah sampai pada
perkembangan madrasah selanjutnya.
BAB III
Penutup
A. KESIMPULAN
Kurikulum pada zaman klasik secara garis besar sudah
ada walau tidak ada bukti tertulis tentang kurikulum tersebut, nyatanya yang lebih mendominasi pada sebuahmadrasah adalah kurikulum yang didalamnya adalah muatan tentang agama. Dan biasa yang menentukan kurikulum adalah orang-orang yang mempunyai otoritas atau penyusun perencanaan mata pelajaran pendidikan Islam klasik adalah ulama yang menguasai bidangnya masing-masing.
B. SARAN
Penulis menyadari dalam penulisan
makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk itu kami harapkan kepada pembaca
untuk memberikan masukan dan kritikan demi sempurnanya makalah ini, sehingga
dalam pembuatan makalah selanjutnya akan menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Mukti,
Konstruksi Pendidikan Islam; Belajar dari Kejayaan Madrasah Nizhamiyah Dinasti Saljuq, Bandung: Citapustaka Media, 2007
Abū Ham³d al-Ghazali, Ihya ‘Ulūm al-D³n, Semarang: Thoha Putra, tt), juz 1
Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan dalam Persfektif Islam, Bandung: Rosdakarya, 1992
Ahmad Syalabi,
Sejarah Pendidikan Islam, Terj.
Mukhtar Yahya dan Sanusi Latief, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Ali Al-Jumbulati,
Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta:
Rineka Cipta, 1994
Arifin,
Pendidikan Islam Dalam Arus Dinamika Masyarakat; Suatu Pendekatan Filosofis, Pedagogis, Psikologis, dan Kultural,Jakarta: Golden Terryon Press, 1994
Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Dalam Islam: Sejarah dan Peranannya Dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan. Terj. Afandi dan Hasan Asari, Jakarta: Logos Publishing House, 1994
Hasan Asari,
Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Bandung:
Citapustaka Media, 2007
Hasan Langgulung,
Azas-Azas Pendidikan Islam, Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1992
Hery Noer Aly, Ilmu
Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999
Geogre Makdisi, The
Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam And The West,
Edinburgh University Press, 1981
Moh. Abd. Rahim Ghunaimah, Tar³kh Al-Jami’ah al-Kubra, Ta¯wan: Dar
al- °ibah al-Magribiyyah, 1953
Zainuddin dkk,
Seluk Beluk Pendidikan dari al-Gazali,
Jakarta: Bumi Akasara, 1991
Komentar
Posting Komentar