Kurikulum Pendidikan Klasik
KURIKULUM PENDIDIKAN
ISLAM KLASIK
Oleh : KAHFI NURUDDUDJA
A. Pendahuluan.
Pendidikan Islam sesungguhnya telah tumbuh dan
berkembang sejalan dengan adanya dakwah Islam yang telah
dilakukan Nabi Muhammad saw. Berkaitan dengan itu pula
pendidikan Islam memiliki corak dan karakteristik yang
berbeda sejalan dengan upaya pembaharuan yang dilakukan
secara terus – meneruskan pascagenerasi nabi, sehingga
dalam perjalanan selanjutnya pendidikan Islam terus
mengalami perubahan baik dari segi kurikulum (mata
pelajaran).
Secara eksplisit, pendidikan mempunyai nilai
yang strategis dan urgen dalam pembentukan suatu bangsa.
Untuk menjadikan pendidikan yang berarti harus
menyediakan kurikulum pendidikan yang baik tentunya
kepada peserta didik. Hari ini kurikulum pendidikan di
Indonesia dapat kita katakan sudah berjalan dengan baik,
dan langsung dikelola oleh departemen pendidikan.
Sebagaimana halnya dengan faktor-faktor
pendidikan lainnya, maka kurikulum pun memainkan peranan
penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Kurikulum
mengalami perkembangan mengikuti perkembangan kebudayaan
dan peradaban masyarakat. Dalam perkembangannya, tentu
saja kurikulum mengalami pembaruan dalam isinya, sesuai
dengan kebutuhan masyarakatnya.[1]
Munculnya pendidikan Islam bersamaan dengan
lahirnya Islam itu sendiri. Pendidikan pada awalnya
dilakukan dari rumah ke rumah, di masjid-masjid dan
sebagainya. Ini dilakukan dengan peralatan yang sederhana sekali.
Pendidikan Islam sebagai suatu sistem merupakan sistem
tersendiri di antara sistem pendidikan di dunia ini, kendatipun
memiliki banyak persamaan. Dikatakan sistem tersendiri karena
cakupannya dan kesadarannya terhadap detak jantung, karsa dan karya manusia.
Kurikulum pendidikan Islam klasik merupakan
suatu sistem pendidikan klasik yang berbeda dengan sistem
pendidikan Islam yang ada pada saat ini. Kalau ditinjau
dari aspek tujuan, guru, murid, kurikulum, metode,
fasilitas, dan sarana prasarana, jelas terlihat perbedaannya.
Sudah banyak terjadi perkembangan-perkembangan dalam
dunia pendidikan Islam.
Istilah pendidikan Islam klasik dalam tulisan
ini adalah suatu proses kegiatan belajar mengajar yang
dilakukan individu, kelompok tertentu atau
pemerintah/lembaga pemerintah, formal atau non- formal
dalam periode tertentu pada masa pertumbuhan dan perkembangan
Islam. Kegiatan itu dilakukan di rumah-rumah, majlis, masjid/halaqah
dengan jenjang pendidikan dasar (kuttab), menengah (masjid/masjid
khan, zawiyah) sampai tingkat tinggi (madrasah/al- Jamiah).
B. Kurikulum Pendidikan Islam Klasik
Yang dimaksud dengan kurikulum adalah sejumlah
mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh
siswa dalam suatu periode tertentu. Dalam arti yang lebih
luas, kurikulum sebenarnya bukan hanya sekadar rencana
pelajaran, tapi semua yang secara nyata terjadi dalam proses
pendidikan di sekolah.[2]
Dengan kata lain, kurikulum mencakup baik
kegiatan yang dilakukan pada jam belajar maupun di luar
jam belajar, sepanjang hal itu berlangsung di lembaga
pendidikan. Karena itu ada istilah ekstra- kurikuler,
yaitu berbagai kegiatan yang dilakukan di luar jam tatap muka
di ruangan kelas. Akan tetapi, tentu saja kurikulum dalam pengertian seperti itu baru dikenal pada sistem pendidikan modern,
baik sekolah maupun madrasah. Pada masa sebelumnya, meskipun
sudah dikenal, muatan kurikulum tidak seketat pengertian
tersebut.
Hasan Asari memberikan penjelasan tentang
kurikulum madrasah dengan konsep awal klasifikasi ilmu
pengetahuan yang diajarkan di madrasah. Untuk memahami
kurikulum madrasah secara lebih luas, menurutnya, perlu
memahami perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban
Islam yang dikembangkan para ulama dan ilmuwan Muslim. la
mengutip pendapat Ibn Buthlan (w. 460/1068), seorang ahli
kedokteran, berdasarkan riwayat Ibn Abi Ushaybi'ah, yang
mengelompokkan ulama yang wafat pada sekitar pertengahan
abad ke-5/11 ke dalam tiga kelompok berdasarkan cabang
ilmu yang ditekuni yaitu: 1) ilmu-ilmu keagamaan (al-‘ulum al-syar’iyyah); 2) ilmu-ilmu klasik (‘ulum al-qudama’ = (filsafat Yunani, filsafat Timur) Persia dan sebagainya,
yang disebutawa'il)., dan 3) ilmu-ilmu sastra (al-‘ulum al-adabiyah).[3]
Hasan Asari juga mengutip pendapat Ibn Buthlan
yang merupakan suatu klasifikasi yang detail; namun ini
memadai untuk tujuan kita sekarang ini. Klasifikasi yang
lebih lengkap dan detail dapat dilihat dalam beberapa
karya Abad Pertengahan yang lain. Perumusan klasifikasi
ilmu pengetahuan menjadi satu bidang penting dan mendapat perhatian serius para
ilmuan muslim.[4]
Pada hakikatnya kurikulum pendidikan Islam
klasik berbeda- beda menurut wilayah masing-masing. Tidak
ada pembakuan kurikulum yang dilakukan oleh Negara.
Perbedaan kurikulum antara tempat yang satu dengan tempat
lainnya bukan didasarkan daerahnya akan tetapi perbedaan
tersebut didasarkan kepada guru yang memberikannya. Di
Mesir misalnya kurikulum dititik beratkan kepada fiqh,
sedangkan di Madinah lebih menitik beratkan kepada kajian
hadis.
Meskipun perbedaan kurikulum berbeda dengan
tempat yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi
disepakati bahwa kitab suci al- Qur’an dijadikan sebagai
sumber pokok ilmu-ilmu agama dan umum. Pada awalnya
kurikulum yang diajarkan berkisar pada belajar membaca
al-Qur’an, menulis, keimanan, ibadah, akhlak, dasar-dasar ekonomi dan politik yang semuanya bersumber kepada al-Qur’an.[5]
Penentuan kurikulum adalah terletak pada
ulama, kelompok orang-orang berpengetahuan dan diterima
sebagai otoratif dalam soal agama dan hukum. Sebagai
persiapan untuk belajar ilmu-ilmu agama dan fiqh,
seseorang mempelajari bahasa Arab mencakup gramatika dan
komposisi serta pengenalan dasar-dasar prosa dan puisi.
Makdisi mengatakan bahwa Nahwi, “grammar was always an important part of education. It learned
especially in order the better to understand scripture”.[6] Studi-studi pendahuluan ini dapat ditempuh dengan tutor
pribadi atau dengan menghadirihalaqah dalam bahasa Arab.
Pedagogi muslim menerima pandangan Yunani yang menyatakan bahwa
kemampuan berpikir logis dan jelas memiliki korelasi
langsung dengan kemampuan berbicara dan menulis secara tepat.
Karena itu para tutor sangat menekankan latihan-latihan yang membantu perkembangan kemahiran berbahasa.[7]
Pada perkembangan berikutnya kurikulum
pendidikan Islam merujuk kepada al-Qur’an dan hadis.
Secara umum materi yang diajarkan adalah ilmu naqliyah
dan aqliyah. Maka kurikulum pendidikan Islam klasik cukup
variatif berdasarkan jenjang pendidikannya. Berikut
perkembangan kurikulum menurut jenjangnya :
1. Kurikulum
tingkat rendah
Kurikulum tingkat rendah meliputi
al-Qur’an dan agama, membaca, menulis, sya’ir, dan
sebagian prinsip-prinsip pokok agama dan ditambah juga
dengan nahwu, cerita dan berenang. Untuk putra-putri raja
dan penguasa ditegaskan pentingnya pelajaran khitabah
(pidato), ilmu sejarah, cerita perang, cara-cara pergaulan,
di samping ilmu-ilmu pokok seperti al-Qur’an, sya’ir dan
fiqh.[8]
Penekanan kurikulum berbeda antara
negara yang satu dengan yang lainnya. Di Andalusia
misalnya, untuk tingkat rendah diajarkan al-Qur’an, dan
dimasukkan materi lain seperti riwayat sya’ir-sya’ir,
prosa, berhitung, dan pembelaan negara sehingga kemampuan
anak-anak dalam tulis menulis dan khat sangat menonjol.
Kemudian kemampuan menemukan (discovery) serta kemampuan menghubungkan cabang-cabang
ilmu dalam mengintegrasikan antara ilmu-ilmu naqli dan
aqli lebih unggul dibandingkan negeri Islam yang lain.[9]
2. Kurikulum tingkat atas
Al-Chawarizani dalam
Maf±ti¥ al-Ulm, sebagaimana yang dikutip
al-Jumbul±ti menyebutkan kurikulum pendidikan tingkat atas
meliputi ilmu fiqih, nahwu, ilmu kalam, aljabar dan ilmu hitung.[10] Namun sama halnya dengan tingkat rendah, kurikulum tingkat atas tidak sama antara negara yang satu dengan yang lainnya. Setiap negara mempunyai kurikulum yang khas dalam pendidikannya. Namun para pelajar tidak terikat untuk kurikulumnya, dan guru-gurunya juga tidak terikat dengan kurikulum yang ditentukan untuk dijadikan sumbur pegangan dalam pengajarannya.[11]
Kemudian di masjid Kfah dan Ba¡rah yang
menonjol adalah ilmu-ilmu bahasa. Maka muncul Nahwu Arab
Kfah yang menekankan pada qiyas. Perbedaan ini membawa
perkembangan yang pesat pada Nahwu Arab.[12] Walaupun ilmu-ilmu naqliyah cukup menonjol, namun ilmu-ilmu aqliyah mempunyai peranan penting. Ini terlihat dalam
hubungan yang kokoh antara ilmu-ilmu keagamaan dengan ilmu-ilmu
bahasa, kebudayaan sampai kepada abad ke 2 hijriyah.
Dan menurut Makdisi tentang kurikulum
pendidikan, Makdisi menggambarkan secara garis besar
tentang kurikulum itu sendiri yang diajarkan dimadrasah. Ilmu-ilmu agama jelas mendominasi
madrasah, seperti juga lembaga-lembaga sebelumnya, masjid dan masjid-khan. Sejauh
pengetahuan kita sekarang, tidak ada dokumen tertulis yang berisi rincian kurikulum satumadrasah.
Hal ini memang sulit
untuk diharapkan mengingat sifat-sifat dasarmadrasah. Pertama, tidak adanya ikatan
organisatoris antara satumadrasah dengan yang lain. Setiapmadrasah
bebas menentukan materi dan sistem pengajarannya sendiri sesuai dengan keinginan pemberi wakaf (waqif) yang mendukung operasinya. Kedua, setiapsyaikh ataumudarris
bebas memilih bidang yang dia ajarkan; sekali lagi, dia hanya terikat denganwaqfiyyah
dari lembaga tempatnya mengajar.
Jadi apa yang dikatakan adalah suatu
kesimpulan umum – yang tingkat kebenarannya pasti akan
sangat bervariasi dari satu kasus ke kasus yang lain –
yaitu bahwa kurikulummadrasah
terdiri dari:[13]
a.
Ilmu-ilmu agama semacam: ilmu al-Qur’an,
hadis, tafsir, fiqih, ushul fiqih, ilmukalam, dan disiplin-disiplin lain yang
tergolong dalam kelompok ini. Meskipun deskripsimadrasah-madra sah menunjukkan adanya variasi
dalam hal penekanan dan porsi yang ditempati dalam
kurikulum, secara umum kelompok ilmu ini adalah bagian
inti dari kurikulum semuamadrasah.
b.
Ilmu-ilmu sastra yang dibutuhkan untuk
mendukung kajian ilmu-ilmu agama juga diajarkan dimadrasah, tetapi bukan menjadi
bagian utama dari kurikulum. Deskripsimadrasah terdahulu menunjukkan bahwa ahli gramtika bahasa Arab (nahwi) adalah merupakan
bagian dari staf beberapa madrasah; namun posisinya
jelas tidak sepenting posisi mudarris yang mengajarkan ilmu-ilmu agama.
Pada perkembangan
berikutnya kurikulum berhubungan dengan tatanan sosial suatu masyarakat.
Ini terlihat dari klasifikasi ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada tiga
kriteria :[14]
1.
Berdasarkan tingkat kewajibannya.
2.
Berdasarkan sumbernya.
3.
Berdasarkan fungsi sosialnya.
Ad.1. Klasifikasi ilmu pengetahuan
berdasarkan tingkat kewajibannya.
Pendidikan dimata al-Gaz±li merupakan suatu
kewajiban untuk mempelajarinya. Makanya tidak
mengherankan kalau kurikulum pendidikan Islam menurut
Imam al-Gazāli terdiri dari :
a. Ilmu far«u ‘ain (wajib
dipelajari) yakni ilmu agama yang bersumber dari al-Qur’an, hadis, fiqih, dan
tafsir.
b. Ilmu far«u kifāyah yakni
metafisika, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian, dan industri.[15]
Perhatian al-Gazali terhadap
kurikulum menitik beratkan pada aspek manfaatnya bagi
manusia, baik akhirat maupun dunia.[16]
Ad.2. Klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan sumbernya.
Menurut sumber ada dua kategori pengetahuan, yaitu
pengetahuansyari’ah dan pengetahuan
ghairu syari’ah. Pengetahuan syari’ah bersumber pada
pemberitaan para nabi, bukan pada petunjuk akal. Ilmu yang termasuk di
dalamnya adalah :
a. Ushul (pokok) yang
terdiri dari pengetahuan al-Qur’an, sunnah Rasulullah, ijma’ dan atsar sahabat.
b. Furu’ (cabang) yang terdiri dari ilmu fiqih, akhlak dan etika
Islam.
c. Muqaddimah (pendahuluan) yang terdiri dari
ilmu bahasa dan nahwu.
d. Mutammimat (penyempurnaan/pelengkap) yang
terdiri dari qiraat al-Qur’an
dan makhrajnya, tafsir, ushul fiqh,
ilmu hadis dan ilmu-ilmu yang melengkapi atsar
dan akhbar.[17]
Sedangkan pengetahuan
ghairu syari’ah adalah pengetahuan yang
bersumber dari akal pikiran, eksperimen, akulturasi yang menitik
beratkan kepada aspek manfaatnya bagi manusia baik di dunia
maupun di akhirat.[18]
Ad.3. Klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan fungsi sosialnya.
Berdasarkan fungsi sosialnya pengetahuan pada
intinya mengarah kepada pembentukan kepribadian dalam
mengabdikan diri kepada sesama manusia. Dalam hal ini
al-Gazali membagi kepada dua kategori :
a. Ilmu pengetahuan yang terpuji adalah pengetahuan yang bermanfaat dan kepada pengetahuan ini
aktifitas manusia bergantung seperti
ilmu kedokteran dan berhitung.
b. Ilmu pengetahuan yang terkutuk adalah
pengetahuan yang merusak dan merugikan manusia seperti ilmu magis, azimat-azimat dan astrologi.[19]
Sepanjang masa
pendidikan klasik Islam, penentuan pengembangan pendidikan dasar, menengah dan tinggi berada di tangan ulama kelompok orang-orang berpengetahuan dan diterima secara otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum. Keyakinan mereka berakar pada konservatisme agama dan keyakinan kokoh terhadap wahyu sebagai inti dari semua pengetahuan. Mengikuti arus
penolakan atas aliran yang diilhami filsafat Yunani terutama
pasca al- Ghazali, kurikulum pendidikan belum terbentuk
secara baku dalam bentuk peraturan, tetapi kurikulum dan
metode di masjid, akademi dan madrasah mengikuti
pola-pola yang dikembangkan dari majlis dan
halaqah-halaqah ilmiah. Dengan demikian, yang dibicarakan dalam pengembangan madrasah lebih difokuskan pada kurikulum dan metode pengajaran saja.
Di dalam pengembangan kurikulum
khususnya pelajaran agama, madrasah mempunyai satu
persoalan yaitu mengenai pelajaran Kalam. Para ahli
menyebutkan bahwa Ilmu Kalam tidak mendapat tempat dalam
kurikulum madrasah. Sementara, yang lain, berpendapat
bahwa Ilmu Kalam mendapat tempat pada kurikulum madrasah.
Untuk soal pertama, George Makdisi menulis bahwa madrasah
bukanlah lembaga pengajaran Kalam tetapi lembaga pengajaran
fiqih (hukum). Kemenangan aliran Asy'ariyah atas Muktazilah
tidak ada hubungan dengan pembangunan madrasah Nizhamiyah dan madrasah tersebut
bukanlah lembaga resmi pemerintah, tetapi lembaga yang
dibangun oleh wazir Nizham al- Mulk karena kapasitasnya
sebagai pribadi muslim. Makdisi menulis: Madrasah adalah
lembaga pendidikan tinggi (colleges)
hukum, dengan beberapa kajian tambahan. Staf
pengajarannya tidak mencakup ahli kalam. Pengajar yang
mendapat gelar guru besar (professor) adalah pengajar
hukum. Mungkin saja ia juga sebagai ahli kalam, tetapi kapasitasnya lebih
kepada ahli hukum (guru besar hukum). Di Madrasah tidak
ada posisi untuk mengajarkan kalam.[20]
Sisi lain dari tesis Makdisi adalah
melibatkan satu argumen linguistik berkaitan dengan satu
istilah teknis yang secara luas dipakai dalam dunia
pendidikan Islam pra-modern, sebagaimana terlihat dari
sumber-sumber sejarah yang ada. Argumen linguistik ini mencakup
semua istilah paedagogis yang berasal dari akar kata "d-r- s". Argumen ini, terutama digunakan oleh Makdisi untuk mendukung
pernyataannya bahwa madrasah (salah satu kata jadian d-r-s)
adalah lembaga pendidikan fiqih. Makdisi menjelaskan:
Justifikasi penerjemahan
kata [madrasah] ini menjadi lembaga pendidika tinggi
hukum [college of law] dapat ditemukan dalam arti teknis kata jadian dari akar kata d-r-s. Istilah untuk hukum
adalah fiqih. Sebuah pelajaran fiqih disebut dengan dars;
seorang guru besar fiqih adalah mudarris; dan darrasa, dalam
penggunaannya bila tidak dikaitkan dengan ilmu tertentu, berarti
mengajarkan fiqih,..... darrasa dan tadris, secara berturut,
berarti mengajarkan hukum dan hal-hal yang berhubungan
dengan pengajaran hukum.[21]
Keterangan di atas cukup menggambarkan
secara garis besar kurikulum pendidikan yang diajarkan dimadrasah. Ilmu-ilmu agama sangat jelas mendominasimadrasah, seperti juga di lembaga masjid atau masjidkhan. Sejauh pengalaman ahli sejarah pendidikan
Islam, belum ada rincian yang jelas tentang kurikulum
satumadrasah. Hal- hal ini dianggap sulit apabila dihubungkan dengan sifat-sifat
madrasah. Pertama, tidak adanya ikatan organisatoris antara
satu madrasah dengan yang lain. Setiap madrasah bebas menentukan materi dan bentuk pengajarannya sendiri
sesuai dengan keinginan pemberi waqaf (waqif) yang
mendukung operasinya. Kedua, setiap syaikhatau mudarris bebas memilih bidang yang diajarkan.
Jadi, sebagai kesimpulan umum,
kurikulummadrasah terdiri dari
ilmu-ilmu agama seperti: ilmu al-Qur’an, hadist, tafsir, ushul
fiqh, ilmu kalam dan lain-lain yang tergolong kelompok
ilmu-ilmu keagamaan Islam ini. Ilmu-ilmu sastra yang
dibutuhkan untuk mendukung ilmu-ilmu agama juga diajarkan
dimadrasah, tetapi tidak menjadi bagian utama dari kurikulum. Deskripsimadrasah terdahulu menunjukkan bahwa ahli bahasa arab (nahwi) adalah bagian dari staf di beberapamadrasah,
namun posisinya jelas tidak sepenting posisi mudarrisyang
mengajar ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu klasik belum diajarkan
kecuali Filsafat, Kedokteran dan Astronomi, tetapi tidak begitu
dominan, karena pelajaran ini memiliki lembaga pengajaran tersendiri (khusus).
Tanpa bermaksud menghentikan konflik
pendapat tersebut, ada baiknya pembicaraan ini
dikembangkan pada perkembangan kurikulum madrasah
selanjutnya. Ilmu-ilmu agama memang mendominasi kurikulum
lembaga pendidikan formal. Disiplin-disiplin yang perlu
untuk memahami dan menjelaskan makna Al-Quran rumbuh
menjadi inti dari pengajaran yaitu hadits dan tafsir. Seni berpidato juga merupakan bagian penting dari pendidikan ilmu-ilmu
agama, sebab kemampuan untuk menyampaikan ceramah yang menggugah dan ceramah ilmiah adalah salah satu peran inti seorang
ulama dalam pendidikan dan kehidupan keagamaan di masyarakat.
Kemahiran berbicara di tengah publik mengandung semua aspek
pendidikan dan pengalaman.
Kurikulum ini dianggap sebagai
kurikulum madrasah tinggi, karena sudah mengenalkan
begitu banyak pelajaran umum. Tetapi, studi ilmu-ilmu
asing itu tidak semua diajarkan mendetail pada tingkat madrasah umum atau
khusus. Ada di antara ilmu-ilmu itu yang diajarkan pada
tataran dasarnya saja, dan tempatnya pun tidak harus di
lembaga formal seperti madrasah. Di rumah, di istana wazir dan pejabat negara, pelajaran-pelajaran ini lebih kental dikenalkan
dan didalami.
Secara umum bentuk kurikulum madrasah pada masa
pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam klasik menggunakan tiga bentuk
kurikulum yaitu Subject
Curriculum, Correlated
Curriculumdan Integrated Curriculum.
Ketiganya disesuaikan dengan perkembangan madrasah pada periode-periode
tertentu.
Subject
Curriculum difokuskan pada materi pelajaran yang diberikan berdiri sendiri, tidak berhubungan dengan pelajaran yang
lain. Dalam subject curriculum, mata pelajaran diajarkan secara
mandiri, dikembangkan berdasarkan keluasan pelajaran tersebut
terhadap ilmu pengetahuannya. Bentuk kurikulum ini biasanya
terdapat pada pelajaran utama, seperti al-Qur'an,Tafsir, Fiqh
dan lain- alin. Kemudian pelajaran non-agama seperti
fisika, biologi, ilmu berhitung, kedokteran dsb. Subject Curriculum dikembangkan pada masa awal berdirinya madrasah dan pertumbuhan pendidikan Islam klasik.
Correlated
Curricullum difokuskan pada satu materi pelajaran yang dihubungkan dengan materi pelajaran yang lain. Contohnya, materi tafsir dihubungkan dengan hadits, pelajaran fiqih dihubungkan
dengan hadits dsb. Bentuk kurikulum seperti ini mendominasi pada
masa akhir pendidikan Islam klasik, yaitu ketika ilmu
pengetahuan sudah berkembang dan mengalami renaissance.
Integrated Curriculum yaitu perpaduan
antara materi satu dengan yang lain dan saling berkaitan,
sehingga penyajian bahan pelajaran itu dalam bentuk unit.
Kurikulum ini dilaksanakan dalam pengajaran unit, yaitu
satu unit mempunyai tujuan yang bermakna bagi mahasiswa
madrasah. Kurikulum ini diberikan di dalam pelajaran
retorika (dakwah) pada masa Madrasah Nizhamiyah sampai pada
perkembangan madrasah selanjutnya.
C. Penutup
Kurikulum pada zaman klasik secara garis besar
sudah ada walau tidak ada bukti tertulis tentang
kurikulum tersebut, nyatanya yang lebih mendominasi pada
sebuahmadrasah adalah kurikulum
yang didalamnya adalah muatan tentang agama. Dan biasa yang
menentukan kurikulum adalah orang-orang yang mempunyai otoritas
atau penyusun perencanaan mata pelajaran pendidikan Islam klasik
adalah ulama yang menguasai bidangnya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Mukti, Konstruksi Pendidikan Islam;
Belajar dari Kejayaan Madrasah
Nizhamiyah Dinasti Saljuq, Bandung: Citapustaka Media, 2007
Abū Hamid
al-Ghazli, Iya ‘Ulūm
al-Din, Semarang: Thoha Putra, tt), juz 1
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam
Persfektif Islam, Bandung: Rosdakarya, 1992
Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam,
Terj. Mukhtar Yahya dan Sanusi Latief, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Ali
Al-Jumbulati, Perbandingan
Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1994
Arifin, Pendidikan Islam Dalam Arus
Dinamika Masyarakat; Suatu
Pendekatan Filosofis, Pedagogis, Psikologis, dan Kultural,Jakarta:
Golden Terryon Press, 1994
Charles Michael
Stanton, Pendidikan
Tinggi Dalam Islam: Sejarah dan
Peranannya Dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan. Terj. Afandi
dan Hasan Asari, Jakarta: Logos Publishing House, 1994
Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan
Islam, Bandung: Citapustaka Media, 2007
Hasan
Langgulung, Azas-Azas
Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999
Geogre Makdisi, The Rise of Colleges:
Institutions of Learning in Islam And The West, Edinburgh University Press, 1981
Moh. Abd. Rahim
Ghunaimah, Tarikh
Al-Jami’ah al-Kubra,
Ta¯wan: Dar al- ‘ibah al-Magribiyyah, 1953
Zainuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari
al-Gazly, Jakarta: Bumi Akasara, 1991
[1]Abd. Mukti, Konstruksi Pendidikan Islam; Belajar dari Kejayaan Madrasah
Nizhamiyah Dinasti Saljuq, (Bandung: Citapustaka
Media, 2007), h. 215.
[2]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 1992), h. 53
[3]Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Bandung: Citapustaka
Media, 2007), h. 105.
[6]Geogre Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam And The West, (Edinburgh
University Press, 1981), h. 214
[8]Hasan Langgulung, Azas-Azas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al- Husna,
1992), h. 118.
[9]Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Terj. Mukhtar Yahya dan Sanusi
Latief Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 300.
[10]Ali Al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan...., h. 68.
[12]Moh. Abd. Rahim Ghunaimah, Tirikh Al-Jami’ah al-Kubra (Ta¯wan: Dar al-‘ibah al-Magribiyyah,
1953), h. 228.
[13]Hasan Asari, Menyingkap Zaman,
h. 109-110.
[14]Zainuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan
dari al-Gaz±li (Jakarta: Bumi Akasara, 1991), h. 34.
[15]Arifin, Pendidikan Islam Dalam Arus Dinamika Masyarakat; Suatu Pendekatan Filosofis, Pedagogis,
Psikologis, dan Kultural (Jakarta: Golden Terryon
Press, 1994), h. 190.
[16]Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), h. 172.
[18]Zainuddin, Seluk Beluk..., h.
37
[19]Abū Ham³d al-Ghazali, Ihya ‘Ulūm al-Din (Semarang:
Thoha Putra, tt), juz 1, h. 18-19
[20]Hasan Asari, Menyingkap Zaman,....h. 114
[21]Ibid, h. 114
Komentar
Posting Komentar